Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin berkelakar ketika merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jawaban Cak Imin sama ketika ditanya soal rapat Badan Legislasi DPR untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 atau RUU Pilkada pada Agustus 2024 lalu. Cak Imin menjawab tidak tahu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya engga tahu, saya engga dikasih tahu dan saya juga bertanya-bertanya kenapa saya engga dikasih tahu. Padahal saya juga ingin tahu," kata Cak Imin kepada awak media di Istana Bogor pada Jumat, 3 Januari 2024.
Cak Imin kala itu masih menjadi wakil ketua DPR periode 2019-2024. Dia menanggapi Baleg DPR yang ingin mengubah revisi UU Pilkada tanpa mengikuti putusan MK mengenai melonggarkan ambang batas pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik peserta pemilu.
Cak Imin lantas merespons serius putusan MK yang menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden. Menurut Cak Imin, semua orang harus tunduk terhadap putusan MK. Namun, dia menekankan, putusan ambang batas tergantung pada pembuat undang-undang, yaitu DPR.
"Problemnya adalah ada satu bab. Di situ dari keputusan itu, mengembalikan kepada pembuat UU. Nanti ya tergantung fraksi-fraksi di DPR," kata Cak Imin.
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat ini mengatakan, putusan MK tersebut juga memberikan peluang partainya untuk mengusung kader untuk maju pada pilpres mendatang. Namun, dia khawatir, putusan ini membuat banyak calon.
"Semua menyambut cairnya demokrasi, tapi kita juga punya pengalaman kalau terlampau banyak calon enggak realistis," kata Cak Imin.
Adapun MK mengabulkan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berkaitan dengan syarat persentase presidential threshold.
Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Saldi Isra mengatakan syarat presidential threshold berapa pun besaran persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Menurut Mahkamah, mempertahankan ketentuan ambang batas tersebut hanya akan memberikan dampak terbatasnya calon presiden dan wakil presiden yang bisa diusulkan. Apabila dibiarkan, kemungkinan potensi pemilu diikuti calon tunggal juga amat besar.
Sehingga, kata Saldi, jika hak tersebut terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.
"Agar pelaksanaan kedaulatan rakyat dan partisipasinya meluas sesuai perkembangan demokrasi," ujar Saldi.