Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Robohnya Rumah Kami

Diskriminasi terhadap pemeluk agama minoritas berakar jauh ke zaman Sukarno. Disebabkan oleh abainya pemerintah hingga menjadi komoditas politik.

7 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Robohnya Rumah Kami

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUTIAH sedang menunggu bakul sayur datang ketika dua perempuan cekcok di depan rumahnya di Dusun Gerepek, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Sabtu tiga pekan lalu. Dari balik kaca jendela, Mutiah menyaksikan perkelahian dan tak beringsut dari tempatnya berdiri sampai ia menyadari bahaya sedang mengintai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertengkaran tersebut mengundang warga Dusun Gerepek berduyun-duyun ke pekarangan rumah Mutiah. Massa tiba-tiba beringas begitu mengetahui perkelahian itu dipicu olok-olok. Salah seorang ibu yang berduel tak terima anaknya disebut sebagai pengikut Ahmadiyah hanya karena mengaji di rumah Jasman, pemeluk Ahmadiyah di kampung yang terletak di Desa Gereneng itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sadar rumahnya bisa menjadi sasaran amuk, Mutiah, yang juga pemeluk Ahmadiyah, memapah ayahnya yang gering mengungsi ke rumah tetangga. Nalurinya benar. Begitu rumahnya kosong, massa mulai merusak. "Mereka berteriak-teriak dan melempari rumah saya dengan batu," kata Mutiah, Kamis pekan lalu.

Perempuan 30 tahun itu tak kuasa mencegah. Ia cuma bisa mengintip rumahnya porak-poranda dari dalam rumah tetangga yang berseberangan dengan rumahnya. Selain bersama bapaknya yang sakit-sakitan, Mutiah tinggal dengan tiga anaknya yang masih kecil. Jailani, suaminya, menjadi tenaga kerja asing di Malaysia.

Setelah angkara murka reda, Mutiah memboyong keluarganya menyeberangi sungai kecil di belakang dusun, menuju kantor Kepolisian Resor Lombok Timur. Mengungsi sebentar di sana, Mutiah kini menghuni gedung Loka Latihan Kerja, milik Dinas Sosial Kabupaten Lombok Timur, yang berjarak sekitar delapan kilometer dari kampungnya.

Sabtu itu, penyerangan terjadi dua kali. Setelah meremukkan rumah Mutiah pada siang hari, massa kembali mengincar rumah pemeluk Ahmadiyah pada Sabtu malam. Pagi keesokan harinya, mereka kembali. Delapan rumah warga Ahmadiyah rusak. Enam di antaranya porak-parik. Pemiliknya kocar-kacir ke dalam hutan, lalu mengungsi di kantor polisi, sebelum dipindahkan ke gedung Loka Latihan Kerja sebagaimana Mutiah.

Sebelum penyerangan di Dusun Gerepek terjadi, gesekan masyarakat dengan jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur beberapa kali terjadi. Tahun lalu, perkawinan seorang penduduk pemeluk agama mayoritas dengan pemeluk Ahmadiyah memantik kemarahan masyarakat. Pada awal tahun ini, mereka menolak jenazah pemeluk Ahmadiyah disalati di masjid dan dikubur di permakaman desa. Pada 2016, di Desa Bagik Manis, juga di Lombok Timur, warga desa memaksa penganut Ahmadiyah meneken surat keluar dari keyakinannya jika masih ingin tinggal di desa itu.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat ada 97 pengaduan dugaan pelanggaran kebebasan beragama pada 2016. Tahun lalu ada 50 laporan. Tahun ini, hingga semester pertama, terdapat delapan laporan. Menurut Komisioner Komnas HAM Choirul Anam, maraknya diskriminasi terhadap kebebasan beragama antara lain disebabkan oleh kebijakan pemerintah sendiri.

Pada 2008, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri (SKB 3 Menteri). Aturan yang melarang penyebaran dan kegiatan keagamaan jemaah Ahmadiyah itu dijadikan pembenaran oleh kelompok mayoritas dalam menyerang para ahmadi. "Bahkan aparat negara sering kali terlibat," ujar Anam.

Tapi akarnya jauh ke belakang. Pada 27 Januari 1965, Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Aturan tersebut menjadi alas bagi SKB 3 Menteri di kemudian hari. Aturan tersebut juga dipakai untuk menstempel suatu ajaran yang dianggap menyimpang.

Sebelum penyerangan di Dusun Gerepek terjadi, pemeluk Ahmadiyah sebenarnya meminta perlindungan pemerintah terkait dengan sejumlah insiden. Alih-alih memberikan perlindungan, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur malah menggelar rapat pada April 2018, yang hasilnya antara lain meminta jemaah Ahmadiyah mematuhi SKB 3 Menteri.

Pengikut Ahmadiyah juga diminta menyatakan kesediaan kembali ke ajaran Islam dan beribadah bersama masyarakat. Mereka bakal dikenai sanksi hukum bila melanggar kesepakatan tersebut.

Warga Dusun Gerepek menuduh jemaah Ahmadiyah mengingkari kesepakatan yang sudah diteken itu. Menurut Muhdar, warga dusun, kaum ahmadi masih enggan mendirikan salat berjemaah, terutama salat Jumat. "Awalnya mereka mau salat bersama, tapi cuma satu-dua kali, terus hilang lagi," ujar Muhdar, 51 tahun.

Kini jemaah Ahmadiyah di Lombok Timur seperti Mutiah hanya ingin segera mentas dari pengungsian dan kembali ke kampung. "Kami cuma mau pulang dan minta provokator yang merusak rumah diadili," kata Mutiah.

Penjabat Bupati Lombok Timur Ahsanul Khalik menyebutkan permintaan Mutiah tak mudah. Warga Dusun Gerepek masih menolak jemaah Ahmadiyah karena mereka dianggap masih menyebarkan ajaran dan melanggar kesepakatan yang diteken April lalu. "Kalau sudah ada titik temu, pada saatnya saudara kita pemeluk Ahmadiyah bisa dipulangkan," ujar Ahsanul.

Polisi berjanji mengusut perusakan rumah Mutiah. Menurut Kepala Polres Lombok Timur Ajun Komisaris Besar Eka Faturrahman, polisi masih memetakan pelaku perusakan. "Kami masih mempelajari situasi agar penegakan hukum dilakukan seprofesional mungkin," katanya.

l l l

RENTETAN penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat pada 2010 merembet ke Kalimantan Barat. Tahun itu, sekelompok organisasi kemasyarakatan menyatroni Masjid Al-Kautsar di Pontianak yang diurus penganut Ahmadiyah.

Muhammad Isya, 41 tahun, menuturkan waktu itu upaya ormas untuk merangsek ke masjid bisa dicegah polisi. Tapi aparat pemerintah daerah malah meminta papan nama masjid bertulisan "Masjid Ahmadiyah" diturunkan. "Semula mau berdiskusi, lantas ada permintaan papan nama diturunkan," kata Isya, penganut Ahmadiyah di Pontianak.

Bersamaan dengan penurunan paksa plang Masjid Al-Kautsar, jemaah Ahmadiyah di Sintang, juga Kalimantan Barat, dianiaya. Saat itu, seorang mubalig Ahmadiyah tengah bertamu ke rumah seorang penduduk. Tiba-tiba sekelompok orang datang, melempari sang mubalig dengan batu, dan memukulinya.

Dalam keadaan berlumuran darah, penceramah Ahmadiyah itu diselamatkan penduduk. Yaya Subandi, 65 tahun, pemeluk Ahmadiyah di Sintang, mengatakan pernah melaporkan kasus ini ke polisi dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. "Tapi tidak pernah diproses lebih lanjut," ujar Yaya. "Hanya sebatas membuat berita acara di kantor polisi dan pencatatan kronologi oleh Komnas HAM."

Di Pontianak, penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah tak bisa dilepaskan dari peraturan yang diterbitkan Pemerintah Kota Pontianak. Wali Kota Pontianak 2008-2013, Sutarmidji, meneken peraturan wali kota yang melarang aktivitas Ahmadiyah di sana. Ketentuan itu terbit tak lama setelah penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten.

Dalam peraturan itu, pemeluk Ahmadiyah dilarang berkegiatan yang menyimpang dari pokok ajaran Islam. Pemakaian papan nama dan atribut Ahmadiyah juga dilarang. Ini membuat aktivitas ibadah para ahmadi menjadi terbatas.

Manajer Program Wahid Foundation Alamsyah Djafar mengatakan penegakan hukum yang lemah menjadi faktor penyubur diskriminasi dalam beragama. Riset Wahid Foundation pun mendapati pelanggaran kebebasan beragama lebih banyak dilakukan aparat negara ketimbang sipil.

Pada 2016, sebanyak 159 pelanggaran dilakukan aktor "negara", sedangkan aktor "non-negara" melakukan 156 pelanggaran. Setahun sebelumnya, aparat melakukan 130 pelanggaran, berbanding 119 pelanggaran oleh masyarakat. "Manakala pelanggaran oleh aktor negara tinggi, pelanggaran oleh sipil juga tinggi," ujar Alamsyah.

Contoh pelanggaran oleh aparat terlihat dari kasus Nur Kholis, penganut Syiah yang mengungsi di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur. Ia menghuni Rusunawa Jemundo setelah rumahnya bersama puluhan rumah lain di Sampang, Madura, diluluhlantakkan para penolak Syiah pada Agustus 2012.

Selama tinggal di pengungsian, tak sekali pun Nur Kholis bisa menggelar peringatan hari besar keagamaan. Ia dan pemeluk Syiah lainnya harus pergi ke Pasuruan, sekitar satu jam perjalanan dari Sidoarjo, untuk sekadar beribadah.

Di kompleks rumah susun itu memang ada sebuah masjid. Tapi Nur Kholis dan kawan-kawan tak bisa menggunakannya untuk beribadah, apalagi merayakan hari besar keagamaan. "Dua tahun lalu pernah mengajukan acara maulid Nabi di masjid, tapi polisi melarang dengan alasan keamanan," kata Nur Kholis.

Maka pengungsi Syiah di Jemundo memusatkan ibadahnya di salah satu lantai di rumah susun. Sepekan sekali, pemeluk Syiah dewasa menggelar pengajian. Setiap hari, siang dan sore, area yang sama dipakai anak-anak untuk mengaji.

Diskriminasi terhadap penganut agama minoritas juga tak lepas dari situasi politik. Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan penyerangan terhadap Ahmadiyah hampir selalu berdekatan dengan momen politik, seperti pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden. "Tak bisa dimungkiri bahwa isu Ahmadiyah berkelindan dengan isu politik," ujar Anam.

Anam menyebut contohnya. Ketika SKB 3 Menteri diterbitkan pada 2008, pemerintah sedang bersiap menghadapi Pemilihan Umum 2009. Penyerangan Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, pada 2011 hampir bersamaan dengan pemilihan Bupati Pandeglang. Teranyar, di Kabupaten Lombok Timur, akan ada pemilihan bupati pada 27 Juni mendatang.

Pengikut Ahmadiyah di Pontianak merasa isu kelompok agama minoritas baru dilirik menjelang pemilihan umum. Roestandi Hidayatullah, mubalig Ahmadiyah di kota itu, menyebutkan kerap disambangi calon Gubernur Kalimantan Barat yang akan berlaga pada pemilihan kepala daerah 2018. "Mereka berusaha menjaring suara," katanya.

Raymundus Rikang (Jakarta), Abdul Latief Apriaman (Lombok), Aseanty Pahlevi (Pontianak), Nur Hadi (Sidoarjo)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus