Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hujan Batu di Kampung Orang

TANGIS Taufiqurrahman pecah ketika dibopong ayahnya, Matsiri, ke kamarnya di lantai empat Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, akhir pekan lalu.

7 Juni 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hujan Batu di Kampung Orang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TANGIS Taufiqurrahman pecah ketika dibopong ayahnya, Matsiri, ke kamarnya di lantai empat Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Jemundo, Sidoarjo, Jawa Timur, akhir pekan lalu. Bayi tiga bulan itu berontak karena kepanasan. Ibunya, Rumsiyah, menyusul ke kamar, lalu membuai si kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matsiri, 46 tahun, menyalakan kipas. Di bawah embusan angin dan dekapan ibunya, barulah Taufiqurrahman anteng. "Tinggal di sini enggak enak," kata Matsiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia tinggal di sepetak ruangan seluas setengah lapangan badminton bersama keluarganya. Matsiri menyekat ruangan itu dengan tripleks tipis. Walhasil, di ruangan itu jadi ada kamar tidur dan ruang tamu sekaligus dapur. Ruang tamu yang tak seberapa besar tersebut makin sempit karena disesaki aneka barang dan perkakas.

Matsiri adalah satu dari 332 penganut Syiah di Sampang, Madura, yang diserang sekelompok orang pada Januari 2012. Rumahnya tandas terbakar. Demikian juga musala. Sejak itu, Matsiri mesti menjauh dari kampungnya di Desa Karanggayam, Omben, Sampang. Ia memulai hidup di Sidoarjo sebagai pengungsi.

Taufiqurrahman lahir di pengungsian sebagai anak bungsu. Kakaknya tiga, yakni Rizal Muhaimin, 16 tahun, Yulianti (13), dan Muhibbul Ulum (8). Tapi anak Matsiri yang tinggal di Rusunawa tinggal Taufiqurrahman dan Muhibbul. Rizal dan Yulianti mondok di sebuah pondok pesantren Syiah di Bandung.

Di kampung, Matsiri meninggalkan empat petak sawah. Lima saudara kandungnya juga berstatus pengungsi. Sawahnya pun terbengkalai karena tak ada yang merawat. Dulu hidupnya tak susah-susah amat. Di musim hujan, ia menanam padi dan palawija. Ketika musim kering, ia menanam tembakau. Di sana, dia cuma perlu membeli lauk. Di sini, Matsiri mengeluh, "Semua serba beli."

Keluarga ini memperoleh jaminan hidup Rp 709 ribu per orang tiap bulan dari pemerintah. Rumsiyah menggunakan uangnya untuk membeli kebutuhan pokok. Sebagian dia kirim untuk dua anaknya yang mondok di Bandung. Untuk menambah penghasilan, Matsiri dan Rumsiyah bekerja sebagai pengupas kelapa di Pasar Induk Puspa Agro di Sidoarjo. Upahnya bisa mencapai Rp 200-300 ribu sepekan, tapi tak menentu. "Selama Ramadan, kami hanya bekerja tiga hari sepekan," tutur Rumsiyah.

Di luar soal hidup yang serba tak pasti, para penganut Syiah juga mengalami masalah saat menjalankan ibadah. Nur Kholis, salah seorang pengungsi, mengatakan mereka harus pergi ke Bangil, Pasuruan, ketika ada peringatan hari raya. Di sebelah Rusunawa sebenarnya ada masjid. Tapi polisi melarang mereka beribadah di sana. "Alasannya keamanan," ujar Nur Kholis.

Pemimpin Syiah Sampang, Tajul Muluk, menyebutkan saat ini persoalan yang menimpa pengungsi tinggal urusan kepulangan. Sebenarnya, kata Tajul, tetangganya di Sampang tak keberatan mereka kembali ke kampung halaman. "Masalahnya ada di elite kiai," ujarnya. Persoalannya, para kiai ini bisa menggerakkan massa.

Dua tahun lalu, para kiai dan ulama di Madura membentuk Aliansi Ulama Madura. Mereka menolak semua aliran keagamaan selain Ahlussunnah Wal Jamaah atau Sunni--termasuk Syiah dan Wahabi. Dulu, para kiai menyilakan warga Syiah pulang kampung dengan syarat menanggalkan keyakinannya. Kini, tak ada lagi syarat itu. "Mau Syiah atau tidak, tidak boleh pulang," kata Tajul.

Nur Hadi (Sidoarjo), Wayan Agus Purnomo (Jakarta)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus