Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sang imigran

Kisah imigran cina ke indonesia. mereka datang dan bermukim di sini berabad-abad yang lalu, jauh sebelum orang eropa datang. di antara mereka banyak yang berhasil jadi pengusaha.

24 November 1990 | 00.00 WIB

Sang imigran
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SEKITAR 1858, di pelabuhan Semarang, Jawa Tengah, mendaratlah seorang pemuda Cina, Oei Tjien Sien. Ia berusia 23 tahun waktu itu, dan berasal dari Provinsi Fujian. Sebagai seorang pelarian dari Cina, yang terlibat dalam pemberontakan Taiping yang gagal melawan kekuasaan Manchu, ia hanya membawa pakaian yang melekat di badannya. Ia mula-mula bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Semarang waktu itu memang sedang tumbuh sebagai kota dagang terbesar di Jawa. Berangsur-angsur, pemuda Oei dapat meningkatkan hidupnya. Ia kemudian bisa membeli barang pecah-belah, yang kemudian dipikul dan dijajakannya keliling kampung. Lalu ia bisa membayar seorang kuli untuk mengangkat dagangannya. Lalu ia menikah dan membuka warung di daerah Pecinan. Lalu anak pertama lahir, Oei Tiong Tjhian. Kemudian yang kedua, Oei Tiong Ham. Keluarga Oei amat hemat. Mereka hanya makan nasi dan minum teh selama bertahun-tahun. Setelah simpanan mereka cukup, Oei bisa "membeli" pengampunan dari pemerintah Manchu yang menghapus statusnya sebagai pemberontak. Dengan begitu, pada 1873, Oei Tjien Sien sekeluarga bisa kembali ke Cina untuk melaksanakan tradisi leluhurnya: menyerahkan anak lelakinya yang pertama kepada orangtuanya sebelum mereka meninggal. Setelah itu Oei Tjien Sien kembali ke Semarang untuk meneruskan bisnisnya. Lewat perusahaannya, NV Kian Gwan, yang didirikannya pada 1863, usaha Oei maju pesat. Ia kemudian memiliki sejumlah perkebunan dan pabrik gula. Anaknya yang kedua, Oei Tiong Ham, mengembangkan bisnis ini setelah ayahnya meninggal. Berbeda dengan Oei Tjien Sien yang selalu berpakaian tradisional Cina dan memelihara taucang (rambut panjang), Oei Tiong Ham lebih modern. Ia memotong taucangnya (setelah ayahnya meninggal), memakai minyak rambut, berpakaian "Barat", dan yang lebih pe-ting: mengelola pabrik-pabrik gulanya secara modern. Ia mempekerjakan insinyur dan manajer Belanda. Seperti ditulis oleh Yoshihara Kunio dalam Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Southeast Asia, di bawah pimpinan anak-cucu Oei Tjien Sien, Oei Tiong Ham Concern berkembang menjadi bisnis raksasa yang menjangkau Eropa dan Amerika, meliputi juga usaha pelayaran dan bank. Selama hampir satu abad perusahaan ini berkembang. Namun, perubahan politik di Indonesia, yang berakibat kekayaan Oei Tiong Ham Concern di Semarang disita, menyebabkan perusahaan ini akhirnya ambruk pada 1961. Kisah tadi melukiskan bagaimana perjalanan seorang imigran Cina ke Indonesia untuk mencari hidup yang lebih baik. Mereka telah datang dan bermukim di sini berabad-abad yang lalu, jauh sebelum orang Eropa datang. Pada 1860 ditaksir ada 222.000 orang Cina di Indonesia, dua pertiganya di Jawa. Selama 70 tahun berikutnya, arus kedatangan orang Cina ke sini makin deras, seiring dengan meluasnya kekuasaan Belanda. Pada 1905 jumlahnya mencapai 563.000. Baru sejak 1930 -- saat itu ditaksir ada 1.233.000 Cina di Indonesia -- arus itu melemah. Saat itu, diperkirakan dua pertiga orang Cina yang tinggal di Indonesia dilahirkan di sini. Begitulah, muncul kemudian perbedaan antara Cina totok dan peranakan. Berkat kerja keras, keberanian, keberuntungan, dan kelihaian (ada juga yang menyebut kelicikan), banyak di antara mereka yang berhasil maju. Pengusaha besar Liem Sioe Liong dan Eka Tjipta Widjaja termasuk golongan totok yang berhasil. Seperti juga Oei Tjien Sien, keduanya berasal dari Fujian. Mereka juga datang ke Indonesia selagi muda. Puluhan tahun silam, Chang Pi Shih dan Tjong A Fie, dua imigran Cina yang berhasil menjadi pengusaha besar di Indonesia, secara besar-besaran menanamkan modalnya ke Cina. Kini, Liem Sioe Liong juga melakukan hal yang sama. Ikatan dengan kampung halaman, bagaimanapun, memang selalu punya arti khusus meski seseorang tak lagi jadi warga di sana. Ada jalinan batin. Ada ikatan primordial. Apalagi bila ada bau keuntungan yang menyertainya. Susanto Pudjomartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus