Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah lawatan di musim gugur

Presiden soeharto berkunjung ke cina diterima presiden yang shangkun, 83. kerjama bisnis ri-rrc ditingkatkan. indonesia berniat mencoba roket cina untuk peluncuran satelit palapa b-4.

24 November 1990 | 00.00 WIB

Sebuah lawatan di musim gugur
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
MUSIM gugur hampir berlalu. Cuaca dingin diperkirakan bakal menyambut Presiden Soeharto beserta rombongan di bandar udara internasional Beijing, Rabu pekan lalu. Namun, ketika pesawat DC-10 Garuda yang membawa Presiden mendarat, cuaca berubah sejuk, suhu 14 C. Lalu, di bawah sinar matahari lembut pukul 3 sore, Presiden menuruni tangga pesawat, disambut Duta Besar RI untuk Beijing, Abdurahman Gunadirja, dan pejabat Departemen Luar Negeri Cina. Tanpa prosesi macam-macam, Presiden Soeharto bersama Ny. Tien langsung meluncur ke jantung Kota Beijing, dengan sebuah Mercedes limusin warna hitam. Suasana tampak lengang, ketika iring-iringan panjang Kepala Negara menyusuri Jalan Don Ying yang menjadi penghubung bandar udara tua itu dengan Beijing, kota berpenduduk 11 juta. Di sepanjang jalan, tampak rumah-rumah penduduk berderet, terbuat dari bata tanpa plester. Daun-daun berguguran, berserakan di atas tanah merah kecokelatan lahan perkebunan. Sepeda dikayuh beriringan, teratur. Semuanya tampak bersahaja. Namun, suasana segera berubah ketika rombongan memasuki jantung Beijing. Gedung-gedung perkantoran, rumah susun, yang dibangun di zaman "Orba", mulai bermunculan berdampingan dengan bangunan lama peninggalan zaman Mao. Wajah Beijing telah berubah. Tak ada lagi lukisan potret besar untuk menyambut tamu-tamu negara. Poster-poster raksasa yang menggambarkan kekarnya otot kaum buruh pun telah menyingkir. Zaman realisme sosial telah usai. Seperti Indonesia, Cina kini lebih suka memajang poster-poster pembangunan, dan itu pun tak banyak. Lepas pukul 4 sore, limusin hitam yang membawa Presiden Soeharto merapat di pelataran Gedung Kongres Rakyat (Great Hall of the People), bangunan tua yang letaknya bersebelahan dengan Lapangan Tiananmen. Peristiwa ini bertepatan dengan penduduk Beijing yang pulang kantor. Tak syak lagi, massa merapatkan sepedanya di ujung trotoar, berkerumun, dan menonton tamu dari Jakarta. Lepas dari mobil, Presiden disambut "sikap sempurna" dari sekitar tiga kompi pasukan. Mereka berbaris dengan senapan dan sangkur terhunus. Rapi. Tak lama kemudian, dentuman meriam terdengar 21 kali dari sudut Lapangan Tiananmen. Pak Harto diterima oleh Presiden Yang Shangkun. Kemudian, lagu Ind-onesia Raya berkumandang khidmat dari bangunan tua itu. "Penyambutan terbaik untuk tamu negara," ujar seorang petugas protokol Departemen Luar Negeri Cina. Tibalah saatnya, Presiden Yang memberikan kata sambutan. "Marilah kita lupakan luka-luka lama," kata Yang, yang hari itu mengenakan setelan jas warna gelap. "Marilah kita menatap masa depan, dengan semangat dan tujuan zaman baru," tambahnya. Dalam usianya yang 83 tahun, Presiden Yang masih tampak segar kendati belum lama ini dia dirawat di rumah sakit. Ajakan itu diterima oleh Presiden Soeharto. Dalam pembicaraannya dengan Yang, Pak Harto menyatakan pentingnya pengembangan hubungan bilateral RI-RRC, setelah 23 tahun membeku. Memang hubungan baik RI-RRC tak cuma bisa membawa keuntungan kedua negara, tetapi bermanfaat untuk membangun stabilitas di kawasan Indocina dan ASEAN. Tak lupa pula, pada kesempatan itu Pak Harto mengundang Presiden Yang untuk berkunjung ke Indonesia. Hubungan politik RI-RRC tampaknya sudah pulih. Namun, Duta Besar RI di Beijing, Abdurahman Gunadirja, masih harus bekerja keras untuk mendorong kerja sama bisnis, terutama di sektor swasta. Sebab, pada kenyataannya, lahan bisnis itu belum banyak terjamah. Kalau sektor ini tak secepatnya digarap, "saya khawatir, kita akan lebih jauh tertinggal dari Singapura atau Muangthai," ujar seorang pengusaha Indonesia di Hotel Shangrilla, Beijing. Ucapan pengusaha ini bukan main-main. Kenyataannya, Muangthai dan Singapura pagi-pagi telah membuka hubungan dagang dan menanam modal, tak berapa lama setelah berlangsung era reformasi di Cina. Belakangan ini Malaysia juga masuk. "Apa lagi yang kita tunggu?" tambah pengusaha tadi. Hotel Shangrilla sendiri, yang berdiri megah 4 lantai, adalah contoh investasi asing di Cina -- tentu saja harus berkongsi dengan perusahaan negara setempat. Hotel itu berinduk pada sebuah konglomerat di Hong Kong, dan baru dibuka empat tahun lalu. Komunikasi ke luar negeri sekalipun bisa berlangsung lancar dari hotel ini. Siaran TV Amerika CNN dan film-film Barat menjadi menu sehari-harinya. Namun, Shangrilla Beijing itu masih belum bisa dibilang laris. "Kamar-kamar masih banyak yang kosong," kata seorang petugas hotel. Baru bulan November ini banyak pengunjung. "Terutama, setelah kedatangan tamu-tamu dari Indonesia," tambah petugas hotel itu. Memang, para wartawan, sebagian pejabat, dan para awak Garuda yang menyertai Presiden selama di Beijing menginap di Shangrilla. Wajah multinasional tampak dari tenaga-tenaga asing yang dipekerjakan di Shangrilla. Mereka dari Ingggris, Singapura, dan Jepang. Melengkapi kesan internasional, hotel itu juga memiliki sebuah diskotek, Xanadu namanya, tempat mangkal anak-anak diplomat asing. Hadirnya hotel-hotel berbintang itu menunjukkan bahwa Cina siap untuk menampung tamu-tamu asing, baik untuk urusan bisnis maupun wisata. Sebagai negeri penghasil minyak, komoditi yang diperlukan Cina, tak mengherankan jika Indonesia "mendaftarkan" diri sebagai salah satu tamu untuk urusan dagang. Kunjungan Pak Harto, seperti dikatakan Menteri Ali Alatas yang menyertainya ke Beijing, memberikan bobot besar bagi urusan perdagangan antara kedua negara. Hasilnya sudah mulai kelihatan. Selama di Beijing, Menteri Koordinator Ekuin Radius Prawiro, bersama Menteri Perdagangan Cina Zheng Tuobin, menandatangani sebuah kesepakatan dasar (memory of understanding) tentang kerja sama perdagangan dan teknik. Selanjutnya, notulen perundingan (agreed minutes) diteken pula oleh Direktur Jenderal Hubungan Ekonomi Luar Negeri RI Pudji Kuntarto dan rekannya dari Cina. Realisasi rencana hubungan dagang itu tampaknya tidak perlu makan waktu lama. "Kita akan mengimpor semen dari Cina," kata Radius Prawiro, seusai berunding dengan Menteri Zheng di vila nomor 8, di kompleks wisma negara, tempat Presiden dan para menteri menginap. Berapa banyak? "Paling sedikit 500 ribu ton," tambah Radius. Pengiriman semen RRC ke Indonesia direncanakan akan terjadi tahun 1991. Menurut perkiraan, Indonesia memang akan kekurangan semen. Tahun 1991 defisit semen nasional sekitar 500 ribu ton, dan meningkat menjadi 1-1,5 juta ton pada 1992. Di pihak lain, RRC terkenal sebagai tukang bikin semen. Produksinya mencapai 203 juta ton setahun. Sebaliknya, Cina tengah mengambil ancang-ancang untuk mengimpor pupuk dari Indonesia. Cara-cara pembayarannya pun disinggung. RRC kabarnya menawarkan agar transaksi pembayaran dilakukan secara barter, alias imbal beli (counter trade). Kalaupun nanti "pertukaran" semen dengan pupuk itu terlaksana, perjanjiannya pun "sekali tembak" (eenmalig), bukan kontrak berjangka panjang. Dari pembicaraan bisnis itu, pemerintah RI konon berniat pula membeli truk-truk sedang (berdaya angkut 2,5-5 ton) buatan sebuah pabrik di Kota Harbin, Manchuria. Selain dikenal kuat, truk-truk keluaran Harbin tadi miring harganya. Sebagai ancer-ancer, pihak Indonesia menyebut angka tiga ribu unit. Pembeliannya akan dilakukan PT Pantja Niaga, sebuah BUMN yang berada di bawah Departemen Perdagangan. Dari pembicaraan soal keinginan kerja sama ekonomi itu bisa dibuat tabel panjang. Yang menarik adalah soal yang satu ini: Indonesia berminat mencoba roket Long March buatan Cina untuk peluncuran satelit Palapa B-4. Yang sudah-sudah, Palapa diantar ke orbitnya oleh roket Delta buatan perusahaan Hughes Amerika, atau dengan pesawat ulang-alik. Namun, agaknya China Greatwall Industry, produsen Long March, yang mangkal di pinggiran Beijing itu, menawarkan jasa peluncuran satelit dengan harga bersaing. "Kita bisa menghemat US$ 17 juta," ujar Menteri Radius Prawiro. Di sela-sela kesibukannya bertemu dengan pemimpin Cina, Presiden Soeharto sempat mengunjungi pabrik roket itu, dan dielu-elukan oleh karyawan di sana. Pada kesempatan itu, Presiden menyaksikan roket Long March seri 2E yang sedang dirakit. Pemakaian jasa Long March untuk Palapa B-4, menurut Kepala Negara, bukan hal yang tidak mungkin. Kendati satelit itu buatan Amerika, "Indonesia bebas menentukan negara mana yang akan meluncurkannya," kata Pak Harto. Namun, ada syaratnya: asal murah, keselamatan satelit terjamin, dan pihak Indonesia diberi kesempatan mempelajari serta menguasai teknologi peluncuran itu sendiri. Kunjungan Pak Harto ke Beijing ini merupakan bagian dari lawatannya ke tiga negara. Sebelum tiba di Beijing, Kepala Negara terbang ke Tokyo menghadiri upacara penobatan Kaisar Akihito. Presiden Soeharto bertolak ke Beijing setelah menginap tiga malam di Jepang. Selain menghadiri upacara kerajaan, selama di Tokyo, Pak Harto sempat pula mengadakan pertemuan dengan Presiden Rumania Ion Illiescu, Presiden Pakistan Ghulam Ishak Khan, PM Prancis Michel Rocard, PM Tunisia Hamid Karuoi, dan PM Korea Selatan Kang Young Hoon. Selama di Cina, acara Kepala Negara tak kalah padatnya. Hari pertama di Beijing, Kepala Negara bertemu dengan Yang Shangkun, dan diakhiri jamuan makan malam bersama kepala negara Cina itu. Lantas hari kedua, Pak Harto berbicara dengan PM Li Peng, mengunjungi Monumen Pahlawan Rakyat, melihat museum "Kota Terlarang", dan ditutup dengan jamuan makan malam bersama PM Li Peng. Hari ketiga, Presiden mengunjungi Tembok Besar, bersama Ny. Tien dan kedua putri yang menyertainya: Ny. Siti Hardiyanti Rukmana, dan Ny. Titik Prabowo. Pada hari itu, Presiden sempat menjalankan salat Jumat di Masjid Dongsi di Beijing, bertemu dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina Ziang Zhemin, dan Pangeran Norodom Sih-anouk, bekas pemimpin Kamboja yang kini menyingkir di Beijing. Sabtu pagi, hari keempat, Presiden bersama rombongan meninggalkan Beijing, terbang ke Xian, ibu kota Provinsi Shanxi. Di kota itu Pak Harto menginap semalam, dan mengunjungi Museum Terra Cotta, yang berisi patung-patung tanah liat peninggalan abad ke-3 SM. Kemudian, hari Minggu Presiden mengunjungi Shen Zhen, kota industri Cina yang berhadapan dengan Hong Kong. Kota ini sering disebut-sebut sebagai pintu gerbang perdagangan Cina. Shen Zhen, luasnya 327,5 km, memang merupakan kota industri khusus. Di situ investor diundang, dengan iming-iming bebas bea masuk untuk segala macam bahan baku. Para pengusaha pun mendapat insentif istimewa, berupa keringanan pajak penghasilan sampai 50% untuk dua tahun pertama. Besarnya pajak pendapatan itu sendiri ditetapkan 15%. Dalam kunjungan singkat di Shen Zhen, Pak Harto menyaksikan pameran industri. Pelbagai macam barang hasil industri digelar: mesin, tekstil, elektronik, petrokimia, farmasi, makanan, minuman, sepeda. Lewat kegiatan di Shen Zhen itu, dunia bisa melihat bahwa RRC adalah raksasa tidur yang mulai menggerakkan tangan, kaki, dan kepalanya, bersiap bangun. Sebelum kembali ke Tanah Air, Presiden singgah ke Hanoi untuk kunjungan resmi. Kunjungan Presiden Soeharto ke Beijing merupakan puncak kedua dari upaya pemulihan hubungan RI-Cina yang retak sejak 1967. Puncak yang pertama adalah kunjungan PM Li Peng ke Jakarta, awal Agustus lalu. Kenyataan ini mengundang spekulasi bahwa perdamaian di bumi Indocina akan lebih cepat tercapai karena Beijing dan Jakarta akan bahu-membahu mencari jalan penyelesaian atas konflik Kamboja secara damai. Melihat hangatnya sambutan pemerintah Cina, tampaknya Beijing memang sangat berusaha merebut hati Indonesia. Mereka tampaknya juga berusaha meredam kekhawatiran -- hingga kini masih mencekam sebagian golongan di Indonesia -- bahwa Beijing bukanlah ancaman bagi keamanan Indonesia. Untuk itu, janji Menlu Qian Qichen, tatkala tahun silam menemui Presiden Soeharto di Tokyo, pekan lalu diulang oleh Sekretaris Jenderal PKC Ziang Zhemin di hadapan Presiden Soeharto di Beijing. Partai Komunis Cina, kata Ziang, tak akan campur tangan lagi dalam urusan dalam negeri Indonesia. Pembuktian janji itu mungkin perlu waktu. Trauma yang telah berlangsung seperempat abad mungkin tidak bisa begitu saja dihilangkan. Toh semua ini mungkin saja merupakan awal suatu babak baru hubungan kedua negara. Fikri Jufri dan Linda Djalil (Beijing)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus