Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukan Jaminan Bersih Korupsi

5 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Mulyani meninggalkan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jakarta, 19 Mei lalu, dengan senyum merekah. Satu jam sebelum Menteri Keuangan ini menyampaikan kerangka ekonomi makro 2018, dalam rapat paripurna DPR hari itu, Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan Laporan Hasil Pemeriksaan Keuangan Pemerintah Pusat 2016.

Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir, BPK menyampaikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan pemerintah pusat. "Ini hasil yang sangat baik," ujar Sri Mulyani seusai rapat paripurna tersebut.

Opini WTP merupakan predikat terbaik laporan keuangan dari BPK. Sebelumnya, sejak 2004 sampai 2009, pemerintah pusat selalu mendapatkan opini disclaimer dari BPK. Lalu, mulai 2010 sampai 2015, BPK memberikan opini wajar dengan pengecualian (WDP).

Ketua BPK Moerhamadi Soerja Djanegara mengatakan opini WTP diberikan karena semua aspek material dalam laporan keuangan pemerintah pusat sesuai dengan standar akuntansi. Artinya, kata dia, pemerintah pusat telah memperbaiki semua temuan lembaga auditor negara tahun lalu. Berdasarkan data BPK, 84 persen laporan keuangan kementerian atau lembaga pemerintah mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian.

Menurut Moerhamadi, ada empat kriteria yang ditetapkan BPK agar laporan keuangan pemerintah meraih opini WTP. Pertama, laporan keuangan harus sesuai dengan standar yang ditentukan. Kedua, laporan dilengkapi bukti yang memadai. Ketiga, laporan disertai pengendalian internal yang baik. Terakhir, penyusunan laporan harus sesuai dengan undang-undang. "Pemerintah sekarang sudah paham soal itu," katanya.

Meski merupakan predikat terbaik, opini WTP bukan jaminan bahwa kementerian atau lembaga yang diaudit bebas dari korupsi. Menurut anggota BPK, Bahrullah Akbar, opini WTP hanya menunjukkan kewajaran catatan laporan keuangan. Opini WTP tak membedah penyimpangan transaksi dan rekayasa bukti laporan keuangan. "Untuk melihat indikasi kerugian negara harus melalui audit investigasi," katanya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang mengatakan hal senada. Di balik opini WTP, menurut dia, bisa jadi masih ada kerugian negara. Tapi siapa yang menikmati keuntungan dari kerugian itu tak tampak. "Perlu waktu untuk membuktikannya," ujar Saut. Opini WTP juga bisa diperoleh lewat kongkalikong antara auditor BPK dan lembaga yang diaudit. Opini WTP pun kadang berujung pada penyuapan. "Makanya WTP itu jangan diobral," ucap Saut.

Karena itu, KPK masih memantau kementerian atau pemerintah daerah yang menerima opini WTP. Apalagi beberapa daerah yang tak pantas menerima opini WTP malah mendapatkannya. Pada 2010, misalnya, KPK menangkap auditor BPK yang menerima sogokan Rp 200 juta. Suap itu untuk membuat laporan keuangan Kota Bekasi berstatus WTP.

Paling mutakhir adalah kasus suap yang melibatkan Sugito, Inspektur Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sugito menyuap pejabat eselon I BPK, Rochmadi, dan auditor BPK, Ali Sadli, agar laporan keuangan Kementerian Desa 2016 meraih opini WTP.

Kasus suap di Kementerian Desa itu terjadi satu pekan setelah BPK mengumumkan status opini WTP bagi laporan keuangan pemerintah pusat. Sri Mulyani pun meradang ketika ditanyai soal itu. "Saya kecewa kalau seperti ini," ujarnya.

Anton Aprianto, Gadi Makitan, Angelina Anjar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus