TAK banyak kini orang mengenal Mayjen Soetjipto, S.H. Padahal, inilah tokoh yang, menurut Jenderal A.H. Nasution, pertama kali ditunjuki Supersemar oleh Pak Harto. "Ini sudah cukup dipakai untuk membubarkan PKI," kata Soetjipto pada Pak Harto. Maka, rapat di Kostrad waktu itu -- yang, antara lain, memang membicarakan pembubaran PKI -- merasa sudah punya kekuatan, yaitu Supersemar. Dan, Jumat malam 11 Maret 1966 itu juga, berderinglah telepon di Komando Operasi Tertinggi (Koti), di Jalan Medan Merdeka Barat. Yang menelepon Mayjen Soetjipto sendiri, yang kala itu menduduki jabatan G5 Koti (yang menangani masalah hukum sosial, dan politik) dan Kastaf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). Yang menerima telepon adalah Sudharmono, kala itu letnan kolonel, kini Mensesneg. Isinya: Supaya disiapkan rancangan surat keputusan membubarkan PKI. "Hari telah menjelang pukul 24.00 waktu itu," kata Sudharmono kemudian, dalam sarasehan memperingati Supersemar, yang diselenggarakan Yayasan Pembangunan Pemuda Indonesia (YPPI), di Hotel Sari Pacific, dua tahun lampau. Bayangkan, di tengah malam semacam itu, sebagai seorang staf, mendapat perintah membuat naskah surat keputusan yang sangat penting. Sangat penting, karena tuntutan membubarkan PKI, kala itu, seperti diketahui, telah menjadi aspirasi yang meluas. G-30-S itu sendiri secara fisik sudah tertumpas. Tapi PKI, yang merupakan sumber gerakan, tak kunjung ditindak. Adalah Bung Karno, memang, yang tak berkehendak membubarkan partai itu. Ini kian mendorong situasi negara kala itu, dalam krisis yang semakin runcing. Maka, terjadilah perdebatan mendalam, antara Sudharmono dan Moerdiono. "Apa landasan hukumnya?" kata Moerdiono, seperti diceritakan Sudharmono, dalam sarasehan 9 Maret 1984 malam, yang dihadiri, antara lain, oleh Ali Moertopo, Cosmas Batubara, dan sejumlah demonstran 1966. "Saya 'kan S.H.," ujar Sudharmono menjawab Moerdiono. "Pokoknya, bikin saja dulu". Moerdiono, yang kala itu berpangkat letnan, kini Menteri Muda Sekretaris Kabinet, menjawab, "Siap, Overste!" Moerdiono pun pergi ke mesin ketik. Ia, memang punya kebiasaan menyusun konsep langsung di mesin ketik. Tapi, toh, tetap masih masalah: apa yang dapat dijadikan landasan hukum pembubaran PKI itu. Legitimasi politik membubarkan PKI jelas kuat, tapi landasan yuridisnya yang spesifik belum ditemukan. Benar, dengan alasan negara dalam keadaan darurat, salah satu alternatif. Akibatnya, naskah pembubaran PKI itu dirancang, tapi dengan mengosongkan bagian "Mengingat", yang lazimnya tempat cantolan yuridis disebutkan. Soal ini tergolong penting, karena keputusan membubarkan PKI itu adalah keputusan bernilai historis dan, karenanya, mengandung nilai yang jauh ke depan. Tapi, untunglah, menurut Sudharmono, datanglah seorang utusan dari Staf Umum Angkatan Darat (SUAD), yang membawa Supersemar. Orang itu, seingat Moerdiono, adalah Kolonel CPM Boediono, yang kala itu Sekretaris SUAD. Dengan adanya Supersemar itu, kata Sudharmono, sambil bersiulsiul, naskah pembubaran PKI itu dapat diselesaikan. Maka, lahirlah Keputusan Presiden No. 1/3/1966, tanggal 12 Maret 1966 itu yang ditandatangani oleh Pak Harto. "Bukan untuk membanggakan," kata Sudharmono, "Saya ikut mengetik naskah itu, pada sekitar pukul 12 atau setengah satu malam," katanya merendah. Dan bagi Sudharmono pribadi, hari pembubaran PKI itu punya arti tersendiri. "Karena," katanya, "hari itu bertepatan dengan hari lahir saya. Jadi, hari ulang tahun saya waktu itu dirayakan secara meriah oleh rakyat, termasuk mungkin ada di antara Saudara yang menaiki tank-tank." Tepat pukul 06.00 pagi, 12 Maret 1966, RRI mengumumkan pembubaran PKI itu: Sebuah tindakan penting, yang pertama diambil dengan landasan Supersemar. Tindakan penting lainnya, sejumlah menteri, yang menurut penilaian rakyat terlibat G-30-S/ PKI, pun "diamankan". Inilah keputusan-keputusan yang melegakan, seperti dituntut oleh massa, yang saban hari seakan siap membanjir berdemonstrasi. Yang menarik diamati kini ialah, dalam surat keputusan itu tak hanya PKI yang dibubarkan, seperti aspirasi yang menonjol kala itu. Tapi, juga semua organisasi yang bernaung di bawahnya. Padahal, dalam anggaran dasar PKI, vang resmi disebut hanyalah Pemuda Rakyat. Tapi, dengan sangat strategis, surat keputusan pembubaran PKI itu juga menjangkau semua organisasi yang berada di bawah "mantel" PKI. Rumusannya: membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawahnya. Dengan demikian, menyabet semua tempat bernaung kader-kader PKI, seperti BTI, Gerwani, dan lain-lain. Keputusan membubarkan PKI itu tergolong mengagetkan. "Begitu cepat," komentar sebagian demonstran, waktu itu. Masuk akal, karena tuntutan membubarkan PKI itu telah muncul sejak lahirnya Tritura, pada 10 Januari 1966. "Pembubaran PKI harus saya lakukan," kata Pak Harto, ketika memberi penjelasan umum mengenai lahirnya Supersemar, pada tahun 1971. Sebab, keadaan telah menjadi sangat tegang, dan tidak menentu. Ribuan korban jatuh di daerah-daerah karena rakyat bertindak sendiri-sediri. Juga, karena prasangka buruk antargolongan yang selama bertahun-tahun ditanamkan oleh praktek-praktek politik yang sangat sempit. Pertentangan pendapat yang makin tajam antara Presiden Soekarno dan rakyat," ujar Pak Harto, "telah memerosotkan kewibawaan pimpinan tertinggi pemerintahan negara ...." Karena itu, hanya dengan membubarkan PKI, "ketertiban umum dapat dipulihkan, rasa keadilan dapat dipenuhi, dan persatuan rakyat dapat dipulihkan," kata Pak Harto. Dan, situasi konflik yang sangat tajam antara pimpinan Nasional (Bung Karno) dan rakyat yang menuntut pembubaran PKI mereda perlahan-lahan. Dan sejak itu, stabilitas menjadi dasar bergerak. SH Laporan A. Luqman dan dokumentasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini