Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Budaya hidup barat pada era pemerintahan Presiden Sukarno atau orde lama mendapatkan kecaman dari pemerintah kala itu. Bahkan, pemerintah melakukan razia dan pemenjaraan bagi siapa yang mengadopsi gaya hidup kebarat-baratan, termasuk Koes Plus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab, pemerintah saat itu ingin menumbuhkan rasa nasionalis yang kuat dalam diri setiap rakyat Indonesia. Adapun, pelarangan hidup ala barat yang terjadi kala itu sebagai berikut, yaitu:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Musik Ngik Ngak Ngok
Berdasarkan e-Journal Pendidikan Sejarah dalam core.ac.uk, musik ngak ngik ngok adalah istilah Sukarno untuk menyebut musik barat yang dianggap merusak kepribadian bangsa. Musik barat ini adalah jenis musik rock and roll yang berkiblat kepada The Beatles. Aliran musik ini dinilai kontra-revolusioner oleh Soekarno dan pendukungnya, yaitu PKI dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Soekarno menilai aliran musik ini hanya melemahkan semangat dan sikap nasionalis pemuda Indonesia.
Pemerintahan Sukarno memberikan peringatan keras kepada para penyanyi dan band yang memainkan musik ngak ngik ngok. Salah satunya Koes Bersaudara (yeng kemudian bernama Koes Plus) yang para anggotanya dipenjara sejak 1 Juli 1965 karena selalu membawakan lagu-lagu The Beatles. Sebuah tuduhan tanpa dasar hukum dan cenderung mengada-ada, mereka dianggap memainkan musik yang cenderung imperialisme pro-barat anti-nasionalis. Lalu, satu hari sebelum G30S PKI, pada 29 September 1965, mereka dibebaskan tanpa alasan yang jelas.
Rambut Gondrong
Pada awal 1970-an, demam hippies melanda dunia, termasuk Indonesia yang mengadopsi gaya salah satu anggota The Beatles, John Lennon dan istrinya, Yoko Ono.
“Namun, gaya ini dikritik pemerintah sebagai kebarat-baratan,” ungkap Remy Sylado dalam percakapan dengan Tempo, seperti dikutip majalah Tempo Edisi Khusus Malari pada 13 Januari 2014.
Saat itu, pemerintah Orde Baru melarang warga berambut gondrong. Pada 1971, TVRI mencekal para seniman berambut gondrong. Lalu, satu tahun kemudian, Jenderal Soemitro memberlakukan larangan gondrong secara tertulis.
Larangan ini semakin menguat ketika Soeharto mengirimkan radiogram agar anggota ABRI dan karyawan sipil yang bekerja di lingkungan militer serta keluarganya tidak berambut gondrong. Publik pun melakukan protes terhadap pemerintah yang memuncak pada 15 Januari 1974 membuat berjatuhan korban jiwa dan harta benda.
Cekal rambut gondrong kian menghebat ketika pada 15 Januari 1972 Jenderal Soemitro memberlakukan larangan gondrong secara tertulis. Saat itu muncul pula berita penangkapan anggota geng motor berambut gondrong.
Celana Ketat
Pada era orde baru, aparat keamanan dari polisi sampai serdadu turut memperhatikan dandanan anak muda, termasuk celana jin ketat. Jika tidak sesuai aturan, akan ditegur dan diperlakukan kasar. Saat memeriksa keketatan celana, aparat polisi dan ABRI akan meminta para anak muda untuk melepas celananya.
Kemudian, memasukkan botol untuk mengukur keketatan celana jin tersebut. Jika pipa celana itu tidak muat, tentara atau polisi yang merazia akan memotong celana si anak muda sampai selutut. Bahkan, tanpa segan mereka merusak dengan merobek bagian bawah celana tersebut.
Semua larangan yang dilakukan pemerintah Orde Lama dan Orde Baru, mulai dari musik ngik ngak ngok Koes Plus, rambut gondrong, dan celana ketat membataskan kebebasan anak muda dalam mengekspresikan dirinya. Saat ini, kebijakan tersebut sudah dihapuskan, tetapi semangat nasionalisme para pemuda tidak luntur.
Seperti dilansir majalah Tempo tahun itu, di Bandung razia antigondrong dibalas para mahasiswa dengan merazia orang gendut. Menurut Hariman Siregar, aktivis mahasiswa Universitas Indonesia, balasan razia itu dilakukan untuk menyindir Jenderal Soemitro, yang bertubuh tambun. “Reaksi mahasiswa Bandung paling keras,” ujar Hariman.
RACHEL FARAHDIBA R | SDA I TIM TEMPO.CO