Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WARGA Desa Rancaekek Wetan pernah heboh. Tiba-tiba saja Wakil Presiden Hamzah Haz datang ke sebuah makam di desa yang masuk Kabupaten Bandung itu. Ia dikawal ketat oleh pasukan peng-amanan. Para pejabat daerah, mulai bupati, camat, sampai kepala desa, ikut mendampingi. Seorang pengurus majelis ulama setempat memandu prosesi ziarah. Hamzah, yang mengenakan sarung dan kopiah yang rada miring, tampak khusyuk berdoa di depan makam.
Ziarah kubur ini jelas tak ada kaitannya dengan urusan negara. Berkaitan dengan kepentingan desa juga tidak. Tapi iring-iringan mobil yang masuk desa saat itu begitu panjang. Masyarakat setempat menyambut hangat acara yang berlangsung pada 17 Desember tahun lalu itu. Ternyata Hamzah?didampingi istri keduanya, Titin Kartini?cuma berziarah ke makam mertuanya, Nyonya Salamah binti Wiratmadja. Dari Jakarta, Wakil Presiden bahkan menumpang kereta api khusus yang dicarter dari PT Kereta Api Indonesia.
Perkara kunjungan Hamzah ke daerah kembali mencuat dan jadi buah bibir di Istana Wakil Presiden. Bujet acara yang selama ini serba tertutup itu terungkap ketika salah seorang staf khususnya, Lukman Hakim, bicara kepada Koran Tempo pekan lalu. Ia tak menampik jika biaya kunjungan petinggi memang mahal, bisa mencapai Rp 1 miliar untuk sekali jalan. Lukman tidak merinci buat apa saja duit negara sebesar itu. Yang pasti, dalam setiap lawatan Wakil Presiden ke daerah selalu diperlukan biaya penerbangan dan biaya pengawalan.
Ada berbagai kegiatan yang mesti dipersiapkan. Beberapa hari sebelumnya, tim pendahulu dari pasukan pengamanan harus pula melakukan survei dan "pembersihan" di lokasi. Berbagai peralatan pengamanan, termasuk mobil Mercedes Benz B-2 antipeluru yang akan dipakai Wakil Presiden, mesti pula dikirim lebih dulu pakai Hercules TNI-AU. Koordinasi dengan pemerintah daerah juga dilakukan melalui serangkaian pertemuan di Jakarta.
Biaya kadang juga ditimpakan pada pemerintah daerah. Menurut sumber TEMPO di Sekretariat Wakil Presiden, gubernur atau bupati biasanya ketiban kewajiban membiayai pengamanan yang dilakukan kepolisian di daerah. Acara penyambutan biasanya juga disokong Pak Gub atau Pak Bup. Besarnya bisa Rp 50 juta sampai 75 juta. Apabila petinggi negara itu berkunjung ke sebuah perusahaan, biayanya biasanya ditanggung oleh perusahaan tersebut.
Sejak tampil menjadi wakil presiden tujuh bulan silam, Hamzah, yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan atau PPP ini, terbilang rajin berkunjung ke daerah. Ia pernah mudik ke kampungnya di Ketapang, Kalimantan Barat. Wakil Presiden juga pernah melawat ke Banda Aceh, pernah pula menilik sebuah pesantren di Jombang, Jawa Timur, dan juga terbang ke Makassar.
Senyampang melawat, Hamzah kerap menyempatkan diri bertemu dengan kader partainya. "Tapi itu cuma acara tambahan," kata Zuhad Mahja, Sekretaris Jenderal PPP. Biayanya ditanggung negara. "Kalau sifatnya cuma mampir, kenapa partai harus membiayai," tanya Zuhad. Tapi kunjungan ke Surabaya untuk peringatan ulang tahun PPP belum lama ini jelas merupakan acara pokok. Fasilitas negara dipakai untuk kepentingan partai itu.
Tindakan inilah yang dipersoalkan pengamat politik Arbi Sanit. Sekecil apa pun duit negara tidak bisa dipakai untuk kepentingan partai. Biaya untuk acara kenegaraan dan acara partai mesti dipisah secara jelas. Di Amerika Serikat, menurut Arbi, seorang presiden yang melakukan kampanye harus cuti. "Kalau dicampur aduk," katanya kepada TEMPO, "itu namanya korupsi."
Memisahkan kepentingan negara dari kepentingan partai tak gampang, memang. Apalagi jika presiden, atau wakilnya, menghadiri acara partai, bahkan silaturahmi keluarga, ia harus dikawal pasukan pengamanan yang berlapis. "Itu memang prosedur yang berlaku di negara mana pun," kata Rizal Mallarangeng, pengamat politik yang dekat dengan Istana Presiden. Rangkap jabatan presiden dan wakil presiden yang juga ketua umum partai juga jadi masalah. "Mereka tetap bisa melakukan kampanye terselubung di balik lawatan dinas," kata Rizal.
Sejumlah tokoh yang dikontak TEMPO mengusulkan agar soal tetek-bengek ini dimasukkan dalam draf RUU Kepresidenan. Menurut Yasril Ananta Baharuddin dari Komisi I DPR, dokumen itu masih disimpan di laci para bos di badan legislatif. "Entah mengapa tidak se-gara dilimpahkan kepada kami," kata Yasril. Padahal, aturan main ini mendesak dikonsep. Kalau diabaikan, bukan cuma tidak adil bagi partai lain, tapi juga bagi rakyat yang telah bersusah-payah membayar pajak buat negara.
Gendur Sudarsono, Levi Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo