Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Senapan di Tangan Kombatan

Senjata Pindad banyak beredar di daerah konflik. Di Poso, penjualnya menjajakan barang seperti salesman.

7 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah papan di Lorong Cendana, Jalan Basuki Rahmat, Poso Selatan itu sarat oleh polisi. Tetangga hanya bisa memandang dari kejauhan.

Di dalam rumah tukang penjual kerupuk itu, polisi sibuk menggali tanah di ruang tengah. Mereka tak sia-sia: setumpuk senapan serbu buatan Amerika Serikat M16, Rusia AK47, serta SS1 produksi PT Pindad ditemukan. Polisi juga mendapat amunisi Pindad di antara tumpukan senjata.

Ini kisah pada April 2003. Si tukang kerupuk adalah Fauzan Arif, anggota Jamaah Islamiyah Mantiqi III yang me lingkupi wilayah Palu. Polisi mengungkap penimbunan senjata itu setelah menangkap Ketua Mantiqi III, Mohammad Nasir Abbas. Setahun setelah penggeledahan itu, Pengadilan Negeri Palu meng hukum Fauzan enam tahun penjara.

Dalam laporan peredaran ilegal senjata api di Sulawesi Tengah, pendiri Yayasan Tanah Merdeka Palu, Arianto Sangadji, menyebutkan para kombatan punya amunisi dari Pindad karena dekat dengan tentara Indonesia. Yayasan Tanah Merdeka adalah lembaga nirlaba di Sulawesi Tengah yang giat meneliti konflik Poso.

Menurut Arianto, tentara dan polisi Indonesia yang bertugas di Poso lemah dalam pengawasan senjata. Meski tahu senjata dan amunisi itu berasal dari Pindad, ”Sama sekali tak ada tindakan konkret,” ujarnya.

Senjata bisa diperoleh melalui perdagangan gelap. Seorang sumber di Poso mengaku pada Maret 2001 pernah ditawari M16A1 dengan harga Rp 7 juta, SS1 Rp 5 juta, dan FN-45 Rp 2,5 juta.

Kalau setuju dengan harga itu, si pe nawar akan menghubungkan kosumennya dengan sumber militer. Sebelum deklarasi Malino pada Desember 2001, ”Si penawar bergerak seperti salesman yang menjajakan barang di Kota Poso,” kata Arianto.

Penjualan amunisi juga pernah di ung kapkan George Junus Aditjondro dalam buku Kayu Hitam, Bisnis Pos Penjagaan, Perdagangan Senjata dan Produksi Modal: Ekonomi Bisnis Mili ter di Sulawesi Bagian Timur. Menurut George, gudang amunisi di Sekolah Polisi Nasional Karombasan Manado menjual amunisi Rp 1.500 per biji kepada agen. Sampai di Poso, harga sebutir pelor bisa melonjak hingga Rp 7.500.

Amunisi Pindad pernah dipakai dalam penyerangan Desa Beteleme, Kecamatan Lembo, Morowali, 10 Oktober 2003. Dua tewas dalam baku tembak itu. Polisi memburu gerombolan penye rang yang dipimpin Muhammadong alias Madong. Di markas Madong, aparat menemukan 2.000 butir peluru kaliber 5,56 milimeter buatan PT Pindad. Adapun Madong tewas dihantam timas panas.

Pertengahan 2004, polisi menyita tiga peti amunisi kaliber 5,56 milimeter buatan Pindad dalam operasi di Kecamatan Poso Kota, Poso Pesisir, Lage, Pamona Utara dan Pamona Selatan. Dalam kesaksian di persidangan, sejumlah kombatan mengatakan mendapat senjata dari Madong. Sumber resmi kepolisian menyatakan pasokan senjata di Poso sebagian besar berasal dari Fi lipina Selatan.

Senjata Pindad juga muncul di Aceh. Bekas juru bicara Gerakan Aceh Merdeka Wilayah Aceh Rayeuk, Muchsalmina, mengatakan tak sulit mendapatkan senjata saat konflik. Menurut dia, senjata dapat dibeli di Jakarta, Thailand, dan pasar gelap di perairan lepas.

Muchsalmina pernah membeli tiga senjata serbu SS1 produksi Pindad di Jakarta. Biasanya sepucuk senjata jenis ini dibeli dengan harga Rp 8 juta hingga 15 juta. ”Saya membeli dari seorang anggota jaringan kami,” ujarnya.

Menurut dia, 10-20 persen senjata yang dipegang kombatan Aceh adalah buatan Pindad. Yang lain memakai AK dan M16. ”Kalau amunisi memang banyak produksi Pindad,” katanya. ”Kami bisa mendapatkan dengan mudah.”

Saat perdamaian Aceh diteken pada 15 Agustus 2005, kepada pemantau independen gerilyawan menyerahkan 840 senjata. Pada Januari-April 2009, polisi masih menemukan senjata di tangan warga sipil. Alat perang itu adalah tujuh senjata AK, 14 magasin, satu pistol, dan tiga senjata rakitan.

Di Papua, produk Pindad muncul dalam beberapa kontak senjata, termasuk penembakan di Freeport Juli lalu. Dari hasil laboratorium forensik, peluru yang ditemukan di Timika itu berkali ber 5,56 milimeter—pelor senjata organik tentara dan polisi.

Kepolisian Daerah Papua sudah meng identifikasi siapa pemasok amunisi yang dipakai kelompok bersenjata itu. ”Kita sudah mengidentifikasi jalur mereka,” kata Kepala Bidang Humas Polisi Papua, Komisaris Besar Polisi Agus Rianto.

Sumber Tempo mengatakan senjata dan amunisi buatan Pindad diselundupkan ke Papua. Sebagian lainnya diperoleh sipil bersenjata melalui aksi penyerangan dan perampasan. Senjata yang banyak beredar adalah M16, AK47 dan SS1.

Sumber itu mengatakan distribusi senjata dan amunisi dilakukan oleh jaringan besar. Namun ia tak menyebut siapa pemain dalam jaringan itu. Menurut dia, senjata biasanya didatangkan melalui jalur laut karena pengawasannya lebih longgar.

Sumber lain dari aktivis pergerakan Papua mengatakan gerilyawan mendapat senjata melalui sejumlah pensiunan tentara yang sekarang bekerja di perusahaan swasta. ”Mereka tahu jalur dan jaringan untuk mendatangkan senjata,” katanya.

Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Djoko Susilo, mengatakan bahwa manajemen pengawasan dan penjualan senjata di Pindad sebetulnya sudah sangat ketat. Menurut dia, kemungkinan bocor dari tentara atau polisi juga sangat kecil. ”Senjata itu seperti nyawa bagi tentara,” ujarnya.

Djoko menduga senjata Pindad diperoleh gerilyawan dari mencuri atau merampok. Polisi seharusnya bisa me lacak senjata berdasarkan nomor seri senjata itu. ”Tapi kita tak pernah mendapatkan informasi bagaimana senjata itu bisa sampai di sana,” ujarnya.

Ahmad Jaelani, Sekretaris Perusahaan PT Pindad, mengatakan pembelian senjata oleh tentara dan polisi selalu terdokumentasi. Semua barang keluar dilengkapi surat resmi dan dicatat komputer. ”Sistem pengawasan kami sangat ketat,” ujarnya.

Ahmad mengatakan, senjata dari Pindad dibawa langsung ke gudang tentara dan polisi setelah selesai produksi. Pengawasan dalam perjalanan me libatkan polisi, tentara, serta personel Pindad.

Menurut Ahmad, senjata Pindad bisa berpindah tangan karena gudang senjata dirampok. Dalam beberapa kasus di Aceh dan Poso, kelompok separa tis mengambil senjata dari tentara atau polisi yang tertembak.

Yandi M.R. (Jakarta), Darlis Muhammad (Palu), Adi Warsidi (Aceh), Tjahjono E.P. (Papua), Alwan Ridha (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus