Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Serikat Pekerja Fisipol Universitas Gadjah Mada (SPF UGM) menilai tidak dibayarkan tunjangan kinerja (tukin) untuk dosen berstatus aparatur sipil negara (ASN) secara tebang pilih sebagai sesuatu yang tidak adil. Tidak dibayarkannya tukin kepada dosen ASN di Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) dianggap diskriminatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dosen PTNBH justru dikecualikan dengan alasan bahwa kampus PTNBH mampu membiayai tukin dosen,” kata SPF UGM dalam pernyataan resmi mereka pada Rabu, 12 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut mereka, pemerintah sebetulnya memiliki kewajiban untuk menjamin hak kesejahteraan seluruh tenaga pendidik tanpa diskriminasi. Dosen PTNBH tetap diberikan kewajiban yang sama dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, namun mereka tidak mendapatkan hak yang setara dengan rekan mereka sesame dosen ASN di di satuan kerja (Satker) dan Badan Layanan Umum (BLU).
“Meskipun Dosen PTNBH menerima IBK (Insentif Berbasis Kinerja), tiap PTNBH tidak memiliki kemampuan finansial yang sama untuk membayar remunerasi dosennya,” terang SPF UGM.
Selain itu, adanya kategorisasi dosen remunerasi dan dosen non-remunerasi juga menjadi menjadi salah satu faktor yang membuat para dosen yang terdampak oleh kategorisasi ini sulit untuk berempati satu dengan yang lain. Upaya-upaya memecah belah ini yang harus terus dilawan lewat solidaritas kepada dosen-dosen non remunerasi yang tengah menuntut haknya.
“Kami mendorong menggalang solidaritas segenap civitas akademika dari berbagai institusi pendidikan di Indonesia dan berbagai jejaring organisasi masyarakat sipil lain,” tulisnya.
SPF UGM menilai, pemerintah justru melepaskan tanggung jawab mereka dengan membebankan pembayaran tukin kepada manajemen kampus PTNBH. Akibatnya, kampus harus mencari cara untuk menutupi kebutuhan remunerasi dosen. Termasuk dengan menaikkan besaran uang kuliah tunggal.
Di satu sisi, pemerintah terus menuntut peningkatan kualitas pendidikan dan daya saing global perguruan tinggi. Tetapi di sisi lain tidak memberikan dukungan finansial yang adil bagi dosen di PTNBH. Ketimpangan ini semakin memperburuk kondisi akademisi yang terus berjuang di tengah berbagai tantangan struktural.
“Perguruan tinggi harus menjadi ruang yang terjangkau dan membebaskan, bukan menjadi ladang eksploitasi bagi tenaga pendidik atau semakin mahal bagi mahasiswa,” tambahnya kembali.
SPF UGM menuntut pemerintah dan para pejabatnya untuk membahas isu ini dalam kerangka republik dan kewarganegaraan, bukan feodalisme yang disamarkan. Mereka menilai narasi pengabdian yang disematkan pada para dosen tidak boleh diwajarkan. Dosen sebagai warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai amanat konstitusi.