KABAR angin itu bertiup kencang pekan lalu: Menpen Harmoko ko~~non gusar pada Menko Polkam Sudomo. Gara-garanya, Sudomo bicara soal SIUPP, hal yang selama ini dianggap menjadi kompetensi Menteri Penerangan. Tapi gosip itu ditepis Harmoko. "Ah, siapa bilang saya marah," ujarnya santai. Dan dia pun berniat tak akan memperpanjang polemik itu. "Sesuai dengan petunjuk Presiden, masalah SIUPP itu ditutup," tuturnya. Di pihak lain, Sudomo sendiri harus mundur dari arena polemik: dia ke luar negeri untuk berbulan madu bersama istri barunya, Siska. Silang pendapat itu tersulut dua pekan lalu. Seusai rapat Polkam, menjelang tengah malam, Sudomo berbicara kepada wartawan. "Kami berdiskusi dan mencari jalan agar tak ada lagi pembatalan SIUPP," ujarnya. Rapat yang cuma dihadiri dua pejabat setingkat menteri, Sudomo dan Jaksa Agung Singgih, itu kabarnya bermula soal keterbukaan, lalu ke soal kebebasan berbicara. Lantas pembicaraan pun merembet lagi ke masalah kebebasan pers. Di situlah Sudomo sampai pada kesimpulan bahwa ada soal besar yang mengganjal pers, yaitu soal SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Selama ini kalangan pers memang selalu khawatir, sewaktu-waktu SIUPP-nya bisa dicabut oleh Deppen jika dianggap kelewat nakal. Maka, pemberitaan pers pun harus ekstrahati-hati. Ketakutan semacam itu yang hendak dicairkan Sudomo. Maka, secara lugas dia katakan, "Pembatalan SIUPP itu tidak mendidik dan membuat masyarakat pers takut untuk menyampaikan informasi." Kalaupun ada pemberitaan bohong, menghasut, atau mengganggu stabilitas, kata Sudomo, bukan SI~UPP-nya yang dicabut. "Penanggung jawabnyalah yang harus bertanggung jawab, dan itu bisa dituntut oleh Jaksa Agung," kata Sudomo. Ketentuan SIUPP muncul bersamaan dengan pemberlakuan UU Pokok Pers 1982. Dalam UU itu soal SIUPP hanya disinggung dalam satu ayat, yang mengatakan bahwa perusahaan pers memerlukan sebuah SIUPP. Pencabutan SIUPP tak disebut-sebut. Bahkan pada UU yang sama bisa ditemui pasal: "Pers Nasional tak dikenai sensor dan pembredelan." Ada sederet daftar "dosa" penerbitan pers yang bisa dikenai sanksi berat itu. Di antaranya, perusahaan itu diketahui dimodali oleh pihak asing, atau tak membagikan saham 20~ kepada karyawannya. Tapi yang membuat ngeri insan pers adalah tuduhan sebagai pers yang tidak bertanggung jawab. Vonis terakhir inilah yang membuat tewas harian Sinar Harapan (1986) dan Prioritas (1987) tewas. Maka, pernyataan Sudomo itu mendapatkan dukungan dari pelbagai penjuru. "Kami setuju dengan pendapat Pak Domo," kata Marzuki Darusman, tokoh Fraksi Karya Pembangunan di DPR RI. Suara-suara dari F-PDI dan F PP pun hampir senada. "Mudah-mudahan omongan Pak Domo itu bisa jadi kenyataan. Yang penting, ide itu jangan sampai tenggelam," ujar Ketua FPDI, Fatimah Achmad. Kalangan pers tentu saja menyambut gembira gagasan Sudomo. Harian Media Indonesia (yang dianggap penerus Prioritas), misalnya, pekan lalu menurunkan editorial yang menggebu-gebu. Selama ini, kata MI, ketentuan pers bebas dan bertanggung jawab terlalu membingungkan. Pers seperti dituntut memberi tekanan yang berlebihan terhadap kata "bertanggung jawab". "Kebebasan pun menjadi semu, pers harus menyensor diri, dan cenderung menutupi fakta," tulis MI. Harmoko sendiri baru sempat mengeluarkan suara tandingan pekan lalu, setiba dari Havana untuk menghadiri konperensi menteri-menteri penerangan negara nonblok. Di Bandara Soekarno-Hatta, Harmoko menegaskan bahwa pencabutan SIUPP akan tetap diberlakukan kepada penerbitan yang dianggap kelewatan. Pencabutan SIUPP, kata Harmoko, dibenarkan oleh UU Pokok Pers. Ia tegas menolak kemungkinan Kejaksaan Agung mengambil alih seluruhnya soal pelanggaran pers. "UU Pokok Pers mengatur bahwa masalah pers ditangani Departemen Penerangan. Kita mau berjalan dengan landasan undang-undang atau tidak," ujarnya. Mencabut SIUPP, kata Harmoko, adalah salah satu amanat UU Pokok Pers. Namun, jawaban Harmoko itu tampaknya tak menggoyahkan Sudomo. Di depan wartawan di Bina Graha, menjelang sidang kabinet, esok harinya, Sudomo malah mempertajam gagasannya: pencabutan SIUPP itu tak diatur dalam UU Pokok Pers. "Soal itu hanya ada di peraturan menteri," ujarnya santai. Presiden sendiri, menurut Sudomo, berkehendak membangkitkan atmosfer keterbukaan. "Jadi, ya nggak bener kalau ada peraturan yang justru membuat orang ketakutan," tambahnya. Lepas dari soal SIUPP itu, silang pendapat antara Sudomo dan Harmoko ini seperti memberikan contoh kongkret tentang keabsahan perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat, seperti disebut dalam pidato Presiden 16 Agustus lalu di depan sidang DPR RI, harus dipandang sebagai penggerak dalam dinamika kehidupan. Memang ada pula saatnya, menurut Presiden, kita harus khawatir terhadap perbedaan pendapat, yaitu di saat masyarakat masih bersimpang ideologinya. "Keadaan yang demikian sudah mulai lewat," begitu kata Kepala Negara. Linda Dj~alil, Sri Pud~yastuti, dan Putut Tri Husodo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini