PEMBREDELAN pers Indonesia ternyata sudah ada sejak zaman VOC. Pada 1745, di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Van Imhoff Bataviaasche Nouvelles en Politique Raisonnementen dilarang terbit. Ketika VOC tamat (1799) dan digantikan pemerintah Hindia Belanda, sikap otokratis itu masih keterusan. Pada 1856, pemerintah kolonial mengumumkan Drukpers Reglement, dan pada 1931 peraturan yang menyensor barang-barang cetakan itu dilengkapi dengan lahirnya Persbreidel Ordonnantie. Pada 1933, "ranjau" itu minta korban pertama: Soeara Oemoem, koran kaum pergerakan yang terbit di Surabaya dan dipimpin dr. Soetomo. Proklamasi kemerdekaan ternyata tidak berarti lahir pula kemerdekaan berpendapat dan kebebasan pers. Pada 1957, ketika negara dinyatakan dalam "keadaan darurat perang", pihak militer rupanya tidak ingin konflik daerah dan pusat, yang ketika itu tengah berkecamuk, diberitakan. Dalam keadaan "darurat" itulah sejumlah koran diberangus: Suara Maluku (Ambon), Suara Andalas (Medan), Keng Po, Pedoman, Indonesia Raya, Bintang Minggu, kantor berita PIA (Jakarta), Tegas (Kutaraja), dan Baru (Makassar). Pada tahun yang sama, penguasa perang daerah Jakarta Raya menutup 10 surat kabar dan tiga kantor berita secara serempak. Korban-korban itu ialah: Indonesia Raya, Harian Rakyat, Bintang Timur, Pemuda, Djiwa Baru, Merdeka, Pedoman, Abadi, Keng Po, Java Bode, serta tiga kantor berita: PIA, Antara, dan INPPS (Indonesian National Press and Publicity Service). Untung, hanya selama 23 jam. Lebih kurang setahun setelah itu, 1 Oktober 1958, penguasa militer daerah Jakarta Raya menentuk~an: ~setiap penerbitan harus memiliki SIT (surat izin terbit). Ketentuan itu belakangan berkembang menjadi SIT yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan, dilengkapi surat izin cetak (SIC) yang diterbitkan oleh penguasa perang daerah. Menjelang runtuhnya Orde Lama pada pertengahan 1965, ketika sejumlah koran terlibat dalam polemik mengenai "Badan Pendukung Soekarnoisme" (BPS), sejumlah penerbitan -- yang mendukung BPS -- secara masal dibungkam. Yang pertama (24 Februari 1965) menimpa sejumlah surat kabar: Merdeka, Indonesian Observer, Berita Indonesia, Berita Indonesia Sport & Film, Revolusioner, Warta Berita, Semesta, Garuda, Karyawan, Suluh Minggu, Gelora Minggu (Jakarta) Waspada, Mimbar Umum, Bintang Indonesia, Suluh Massa, Indonesia Baru Resopim, Tjerdas Baru, Genta Revolusi, Mimbar Taruna, Duta Minggu (Medan). Pada gelombang kedua (23 Maret 1965) delapan harian dan mingguan jadi korban: Mingguan Film (Jakarta), Aman Makmur (Padang), Pembangunan, Mingguan Film, Sjarahan Minggu, Wasoada Teruna, Siaran Minggu (Medan), Pos Minggu (Semarang). Ketika G30S meletus dan gagal, ganti koran-koran kiri diganyang: Harian Rakyat, Bintang Timur, Warta Bhakti (Jakarta), Terompet Masyarakat (Surabaya), Koran Minggu (Semarang), Warta Minggu (Solo), dan lain-lain. Pada 1966 lahir UU Pokok Pers (1966) yang menegaskan ~"terhadap pers nasional tidak dikenal sensor dan pembredelan". Celakanya, "janji keramat" itu tidak dengan sendirinya menafikan bredel. Ketika meletus "Peristiwa Malari" pada 15 Januari 1974, lagi-lagi sejumlah koran jadi korban: Nusantara, Kami, Indonesia Raya, Abadi, Jakarta Times, Pedoman, mingguan Wenang, Pemuda Indonesia, Ekspres, serta Suluh Berita (Surabaya), Mahasiswa Indonesia (Bandung), Indonesia Pos (Ujungpandang). Berikutnya, ketika pada 1978, di tengah suasana Sidang Umum MPR, demonstrasi besar meletus, tujuh koran Ibu Kota dibredel: Kompas, Sinar Harapan, Merdeka, Pelita, Indonesian Times, Sinar Pagi, Pos Sore. Begitu pula beberapa penerbitan mahasiswa: Salemba dan Tridharma (Jakarta), Kampus, Integritas, Berita ITB (Bandung), Muhibbah (Yogyakarta), Aspirasi (Palembang). Majalah TEMPO juga kena bredel selama dua bulan. Pada awal 1985, SIT diganti dengan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Tapi, adanya SIUPP ternyata tak menjamin amannya sebuah penerbitan. Koran sore Sinar Harapan adalah korban pertama setelah SIUPP diberlakukan. Alasan pembredelan pada 1986 itu, karena SH "menyiarkan berita atau pendapat yang tidak hanya spekulatif tapi juga menggelisahkan dan meresahkan masyarakat." Beberapa hari sebelumnya SH memang memuat esei bekas Menteri P dan K Daoed Joesoef yang mengkritik kebijaksanaan Pemerintah mengenai devaluasi, kemudian memberitakan pendapat ekonom Soeharsono Sagir yang menyarankan pembekuan deposito berjangka pendek yang jatuh tempo, lalu berita mengenai rencana pencabutan 44 SK tata niaga ekspor. Menurut Menpen Harmoko, alasan pencabutan SIUPP SH itu kumulatif. Sembilan bulan setelah SH ambruk, giliran Prioritas digebuk. Alasannya, karena koran itu "sering memuat berita-berita yang tidak berdasarkan fakta, bersifat sinis, insinuatif, dan tendensius". Menurut Nasruddin Hars, pemimpin redaksinya ketika itu, ia hanya menerima peringatan tertulis sekali dan langsung vonis -- sekalipun sebelumnya "diperingatkan" secara lisan. Bekas pemimpin umum Prioritas, Surya Paloh, juga menyesalkan proses yang "luar biasa" itu. Bahkan ia kini terheran-heran, karena usahanya untuk memperoleh kembali itu SIUPP -- setelah masa persiapan selama setahun -- tidak juga kunjung diizinkan. Alasannya, konon, karena pasar sudah jenuh. Bisa dipahami bila Surya, yang kini mengelola puluhan penerbitan itu, mempertanyakan "solidaritas pers". "Mana itu idealisme SPS, Dewan Pers, dan PWI dalam memperjuangkan keberadaan pers?" tanyanya. ~~~Budiman S. Hartoyo dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini