Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Obat Tak Ada Lagi

Pengadaan obat untuk pasien HIV/AIDS gagal lantaran harga yang ditawarkan dua perusahaan peserta lelang dianggap kemahalan. Mulai diusut kejaksaan.

18 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penyandang HIV/AIDS menunjukkan obat antiretroviral (ARV) yang biasa diminum untuk terapi pengobatan di RSUD Kabupaten Tangerang, Banten. ANTARA/Lucky

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK awal Januari lalu, kebiasaan Mas Hamzah Muslik meminum obat berubah. Obat antiretroviral (ARV) fixed-dosed combination (FDC) dari kombinasi tenofovir, lamivudine, dan efavirenz (TLE) yang biasa dia minum satu butir tiap hari tak ada lagi.

Padahal obat untuk penyandang HIV/AIDS itu biasanya dengan mudah dia peroleh di Rumah Sakit Jiwa Menur, Surabaya. Ia pun tak perlu mengeluarkan uang karena obat tersebut gratis. “Karena stoknya kosong, saya jadi harus minum obat lepasan. Tadinya satu butir, sekarang menjadi empat tablet,” kata Hamzah pada Kamis pekan lalu.

Setahun belakangan, setiap hari Hamzah meminum satu tablet ARV FDC jenis TLE. Setelah stok obat itu nihil, ia mengkonsumsi 1 butir tenofovir, 1 butir efavirenz, dan 2 butir lamivudine saban hari, yang juga diperoleh dari rumah sakit pemerintah secara gratis. “Karena lamivudine dosisnya hanya 150 gram, harus dua tablet agar dosisnya sama seperti sebelumnya,” ujar pria 40 tahun itu.

Stok obat ARV FDC jenis TLE kosong karena lelang terbatas yang diikuti PT Kimia- Farma Trading and Distribution dan PT Indofarma Global Medika pada tahun lalu buntu. Sebabnya, harga yang disodorkan dua perusahaan pelat merah itu tak cocok dengan pagu yang dipatok Kementerian Kesehatan. Walhasil, persediaan obat di berbagai rumah sakit terus menipis, bahkan lenyap.

Menurut Hamzah, yang bertugas sebagai petugas ARV Community Support di Koalisi AIDS Indonesia (IAC)—lembaga swadaya pemerhati HIV/AIDS—kekosongan stok juga terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo, Surabaya. Berdasarkan pemantauan lapangan, sejak November tahun lalu pasien di sana mengkonsumsi obat lepasan yang diproduksi PT Kimia Farma.

Dari sekitar 2.000 penyandang HIV/AIDS di Surabaya, hampir separuhnya pasien di rumah sakit milik pemerintah daerah. Karena itu, kata Hamzah, banyak pasien kebingungan ketika harus mengkonsumsi obat lebih banyak.

Kelangkaan obat yang diproduksi perusahaan farmasi asal India ini lebih dulu terjadi di Rumah Sakit Umum Daerah Bekasi. Veronica Febriana—bukan nama sebenarnya—sejak September tahun lalu tak lagi menerima jatah ARV TLE. Menurut perempuan 33 tahun itu, stok obat di rumah sakit tersebut terbatas. “Hanya untuk pasien yang terkena infeksi atau komplikasi penyakit lain,” tuturnya. Penyandang HIV/AIDS di RSUD Bekasi mencapai 1.400 orang. Sedangkan stok obat ARV TLE hanya untuk 600 pasien.

Karena tak masuk golongan pasien tersebut, Veronica mesti meminum obat lepasan yang terdiri atas empat tablet. “Capek minumnya. Sehabis minum banyak obat, kadang suka ngerasa mual dan pusing,” katanya. Veronica mengaku sempat tidak meminum obat. Padahal, menurut Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Daeng Faqih, penyandang HIV/AIDS tak boleh putus dari obat. “Obat itu kan untuk menjaga daya tahan tubuh. Kalau putus, khawatir daya tahan tubuh menurun dan penyakit bisa menyerang,” dia menjelaskan.

Untuk mengatasi kelangkaan obat, Kementerian Kesehatan pada Desember lalu mendatangkan 220 ribu botol ARV FDC jenis TLE melalui donor organisasi nirlaba Global Fund. Direktur Eksekutif IAC Aditya Wardhana mengatakan stok tersebut hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga April mendatang. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, saat ini jumlah penyandang HIV/AIDS yang mengkonsumsi obat ARV TLE mencapai 43.586 atau sekitar 42 persen dari total pasien pengguna ARV. “Kalau pengadaan tidak segera dilakukan, ribuan nyawa bakal terancam,” ujar Aditya.


 

Dari kajian IAC, harga satu botol ARV TLE berdasarkan referensi Global Fund cuma Rp 105.070. Jika ditambah dengan komponen biaya lain seperti distribusi dan margin perusahaan, harganya menjadi Rp 159.129 per botol. Dalam lelang 2016, Kimia Farma menjualnya kepada Kementerian Kesehatan dengan harga Rp 404.370 per botol. Sedangkan PT Indofarma Rp 385 ribu. “Ada selisih yang besar hingga Rp 200 ribu lebih. Ini yang perlu ditelusuri, kenapa kok bisa semahal itu?” ucap Aditya.

 


 

Pemerintah memberikan obat ARV TLE gratis kepada pasien HIV/AIDS sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1190 Tahun 2004. Aditya berharap Presiden Joko Widodo turun tangan mendorong PT Kimia Farma dan PT Indofarma menurunkan harga jual. Sebab, harga yang ditawarkan kedua perusahaan yang telah memiliki izin edar obat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan tersebut berlipat-lipat harga di luar negeri.

Dari kajian IAC, harga satu botol ARV TLE berdasarkan referensi Global Fund cuma Rp 105.070. Jika ditambah dengan komponen biaya lain seperti distribusi dan margin perusahaan, harganya menjadi Rp 159.129 per botol. Dalam lelang 2016, Kimia Farma menjualnya kepada Kementerian Kesehatan dengan harga Rp 404.370 per botol. Sedangkan PT Indofarma Rp 385 ribu. “Ada selisih yang besar hingga Rp 200 ribu lebih. Ini yang perlu ditelusuri, kenapa kok bisa semahal itu?” ucap Aditya.

Pengadaan 2016 itu kini ditelisik Kejaksaan Agung. “Masih dalam penyidikan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri.

Dengan harga jual yang tinggi, Aditya menambahkan, ditengarai terjadi pemborosan uang negara sekitar Rp 210 miliar tiap tahun. Padahal selisih tersebut bisa digunakan untuk membeli lebih banyak obat bagi penyandang HIV/AIDS.

Dibayang-bayangi harga yang kemahalan, anggaran pembelian obat ARV saban tahun justru meningkat. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada 2015 anggarannya Rp 243 miliar dan melonjak menjadi Rp 826 miliar pada 2016. Setahun kemudian, anggaran obat itu Rp 1,1 triliun. Namun pada 2017 pengadaan tidak jadi dilakukan Kementerian Kesehatan lantar-an stok dari 2016 masih mencukupi kebutuhan sepanjang 2017.

Sekretaris Perusahaan Kimia Farma Ganti Winarno menyanggah anggapan bahwa harga yang mereka patok kemahal-an. Ia mengatakan perusahaannya telah mengikuti aturan lelang. “Semua peserta mengikuti persyaratan lelang, sehingga proses pengadaan tidak berdasarkan kesepakatan harga antara panitia dan peserta lelang,” katanya. Sedangkan Sekretaris Perusahaan PT Indofarma Arie Genipa Suhendi enggan menanggapi mahalnya harga obat yang dijual perusahaannya. “Yang jelas kami prihatin atas keterbatasan obat HIV. Kami yakin pemerintah menyiapkan solusi,” katanya.

Dengan obat lepasan, pemerintah sebenarnya menanggung biaya lebih besar. Penyandang HIV/AIDS memperoleh obat lepasan gratis dari rumah sakit. Obat ini dibeli pemerintah jauh lebih mahal ketimbang jenis ARV FDC. Jenis tenofovir atau TDF dihargai sekitar Rp 250 ribu per botol, lamivudine atau 3TC Rp 90 ribu, dan efavirenz atau EVF Rp 190 ribu. Totalnya mencapai Rp 500 ribu.

Maka IAC meminta pengadaan obat dikawal Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Usul dan kajian IAC disampaikan Aditya ke Kantor Staf Presiden pada Selasa pekan lalu.

Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Engko Sosialine mengatakan pengadaan akan dilakukan pada April mendatang melalui sistem e-purchasing. Menurut Engko, stok obat yang diperoleh dari Global Fund pada Desember lalu masih cukup hingga Mei. “Baik yang lepasan maupun FDC, kami ada stoknya,” katanya.

Jika pengadaan tahun ini kembali gagal, Engko menambahkan, instansinya telah mengantisipasi dengan meminta Global Fund mengirimkan 560 ribu botol lagi. “Nanti akan datang pada Mei secara bertahap. Kami jamin dan pastikan stoknya ada,” ujarnya. Dia mengatakan harga referensi Global Fund terbilang murah lantaran lembaga itu membeli dalam volume besar.

DEVY ERNIS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus