Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu hari, dua rapat, dua tempat. Kamis pekan lalu menjadi hari yang padat buat Yunus Saefulhaq. Pagi hari, Yunus ikut rapat di kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta. Siang, dia balik ke kantornya di Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Tebet, Jakarta. “Ini langsung mau kirim surat ke PT Vale Indonesia Tbk (INCO),” ucap Yunus, Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi, Kamis sore pekan lalu. “Biar mereka jelaskan lebih detail rencana divestasinya.”
Yunus ingin tahu, sudah sampai mana Vale menyiapkan pelepasan saham yang menjadi kewajiban mereka. Sebuah badan usaha milik negara, kata Yunus, berencana mengambil 20 persen saham PT Vale Indonesia. Pemegang kontrak karya tambang nikel di Sorowako, Sulawesi Selatan, ini mayoritas sahamnya dikuasai raksasa tambang asal Brasil, Vale SA. “Biar ada percepatan. Kita ingin ini cepet selesai juga.”
Kabar divestasi Vale menggelinding cepat sejak awal Januari 2019. Ini adalah divestasi perusahaan tambang dengan profil besar setelah PT Freeport Indonesia. Divestasi Freeport sendiri baru kelar pada 21 Desember 2018. PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) telah melunasi biaya divestasi sebesar US$ 3,85 miliar agar dapat menguasai 51 persen saham Freeport.
Divestasi Vale cukup strategis. Per 2017, cadangan bijih nikel dalam kontrak karya Vale Indonesia 95,1 juta ton. Cadangan itu terdiri atas 82,7 juta ton cadangan terbukti dan 12,4 juta ton cadangan terkira. Cadangan tersebut membuat Vale menjadi salah satu pemegang tambang nikel terbesar nasional.
Nikel juga dipercaya akan menjadi mineral primadona seiring dengan makin dekatnya era mobil listrik. Bijih nikel adalah bahan baku utama baterai isi ulang (lithium-ion battery), jantungnya mobil setrum. Mayoritas tambang dan pengolahan nikel masih berfokus memproduksi nickel matte, feronikel, dan nickel pig iron untuk industri baja. Baru satu perusahaan patungan Cina-Jepang-Indonesia, QMB New Energy Materials Co Ltd, yang telah memulai proyek produksi senyawa nikel-kobalt untuk bahan baku baterai mobil listrik, yakni di Morowali, Sulawesi Tengah.
Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin (kedua dari kiri) di Sorowako, September 2018. /Foto: dok.pribadi
Kewajiban Vale Indonesia melepas 20 persen saham kepada Indonesia telah tertuang dalam amendemen kontrak karya perusahaan pada Oktober 2014. Menurut Yunus, saat itu pemerintah meminta sejumlah pemegang kontrak karya pertambangan, termasuk Vale, mengamendemen kontrak seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Amendemen kontrak karya Vale mewajibkan perusahaan melepas 40 persen sahamnya kepada peserta Indonesia—dengan urutan prioritas kepada negara, pemerintah daerah, BUMN atau badan usaha milik daerah, dan terakhir swasta nasional. Pada 1990, perusahaan telah melantai di Bursa Efek Indonesia dan melepas 20 persen sahamnya kepada publik.
Vale meminta 20 persen saham mereka yang telah dipegang publik diakui sebagai bagian dari divestasi. Pemerintah setuju. Kini kewajiban divestasi Vale tinggal 20 persen, yang harus terlaksana paling lambat lima tahun setelah amendemen kontrak alias Oktober 2019.
Vale mengklarifikasi kabar divestasi kepada Bursa Efek Indonesia pada 10 Januari lalu. Perusahaan ini mengaku telah memulai proses divestasi. Vale juga menyatakan sudah menyurati Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan pada 29 November 2018 untuk mengabarkan hal yang sama. “Surat itu notifikasi kepada pemerintah,” ucap Presiden Direktur Vale Indonesia Nicolas Kanter lewat sambungan telepon, Kamis pekan lalu.
Nico yang meneken surat itu. Dalam surat tersebut, dia menyebutkan perusahaan sudah berdiskusi dengan BUMN untuk memulai proses divestasi. Bahkan Vale ingin merampungkan transaksi segera. “Bagaimanapun juga, tidak lebih dari tanggal 30 Juni 2019,” tulis Nico dalam suratnya.
Mineral Primadona dari Sorowako
Nico tidak spesifik menuliskan nama BUMN dalam surat tersebut. Namun Yunus sudah tahu perusahaan pelat merah mana yang dimaksudkan Nico. “Dengan Inalum. Sudah tahu, kan?” ujar Yunus. Nico belakangan mengakui perusahaannya sudah berbicara dengan Inalum. “Tapi belum mulai yang sampai detail,” katanya.
Setelah menyurati Kementerian Energi, Nico menjelaskan, perusahaan menunggu sikap lanjutan Kementerian mengenai skema divestasi. Dalam divestasi Freeport, Kementerian Energi bersama Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN menugasi Inalum mengeksekusi divestasi atas nama negara dan pemerintah daerah. “Apakah pemerintah menyiapkan -holding company atau ada preferensi lain dari pemerintah untuk Vale? Kami menunggu,” ujarnya.
Berbeda dengan pengakuan Nico, seorang pejabat yang mengetahui proses negosiasi Inalum dengan Vale menyatakan diskusi kedua perusahaan sebetulnya sudah dimulai pada akhir Juli tahun lalu, paralel dengan divestasi saham Freeport. Pada pengujung bulan ketujuh itu, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin berkunjung ke Rio de Janeiro, Brasil, kantor pusat Vale SA, induk Vale Indonesia.
Di Rio, Budi bertemu dengan Fabio Schvartsman, Chief Executive Officer Vale SA. Budi sempat mengunggah momen kedatangannya ke Rio di akun media sosialnya. Berswafoto dengan latar potret Kota Rio, Budi menulis status, “You can’t stop running. One significant milestone will be followed by another one.” Sepekan sebelumnya, Inalum telah meneken kesepakatan pokok (heads of agreement) penjualan saham dengan Freeport-McMoRan (FCX), induk Freeport Indonesia, setelah negosiasi berbulan-bulan.
Sesasi kemudian, giliran Schvartsman bertandang ke Indonesia pada 5-7 September. Dia sekaligus menghadiri perayaan 50 tahun Vale beroperasi di Sulawesi. Kedatangan Schvartsman dimanfaatkan oleh keduanya untuk bernegosiasi lebih lanjut.
Budi datang ke Sorowako pada 5 September 2018. Ia mengunggah momen kedatangannya di media sosial. Mantan Direktur Utama Bank Mandiri tersebut tampak turun terakhir dari pesawat baling-baling berlogo Vale. Orias Petrus Moedak, Direktur Keuangan Inalum, turun lebih dulu dan berdiri di ujung tangga sambil mengacungkan jempol. Seorang pengguna media sosial mengomentari unggahan Budi: “Selamat datang di Sorowako Pak BGS, semoga Inalum dan Vale segera jadi keluarga.” Budi membalas, “Senang ketemu teman-teman lama.”
Pejabat tadi, yang juga mengetahui pembicaraan di Sorowako, menyebutkan Schvartsman ingin divestasi selesai pada Maret 2019 atau sebelum pemilihan umum serentak 17 April 2019. “Makanya tahun lalu sudah dimulai pembicaraannya,” tutur pejabat ini.
Pejabat tersebut juga mengatakan Vale sebetulnya sudah sepakat mendivestasikan sahamnya ke Inalum. Pelepasan itu juga berarti membuat Vale harus berkongsi dengan anggota holding Inalum, yakni PT Aneka Tambang, yang memiliki tambang nikel dan pengolahan feronikel di Pomalaa, Sulawesi Tenggara; dan Tanjung Buli, Halmahera Timur, Maluku Utara. Saat ini Vale pun sudah berkongsi dengan Sumitomo Metal Mining Co Ltd sejak 1988. Sumitomo memiliki 20 persen saham yang membuat mereka berhak membeli 20 persen produksi nickel matte Vale Indonesia.
Negosiasi tinggal membahas skema divestasi. Dua opsi telah mengerucut. Pertama, Inalum akan membeli langsung 20 persen saham Vale Canada Limited—saham Inco yang telah dibeli Vale SA. Vale saat ini menguasai 58,73 persen saham Vale Indonesia. Opsi kedua, Vale Indonesia akan menerbitkan saham baru dengan skema rights issue. Inalum menjadi pembeli siaga.
Pada penutupan perdagangan Jumat pekan lalu, harga saham Vale Indonesia Rp 3.700 per lembar. Jumlah saham terdaftar di bursa sebanyak 9.936 miliar lembar. Estimasi kasarnya, Inalum mesti menyiapkan Rp 7,3 triliun untuk mendapatkan 20 persen saham Vale Indonesia.
Saat dimintai konfirmasi tentang negosiasi Vale dengan Inalum, Nicolas Kanter mengaku tidak tahu banyak. Menurut dia, negosiasi itu urusan pemegang saham. Tapi, secara logika bisnis, Vale tetap berusaha menjadi pemegang saham mayoritas kendati tidak bisa lagi di atas 50 persen.
Presiden Direktur Vale Indonesia Nicolas Kanter/Foto: vale.com
Dengan keinginan tersebut, Nico menambahkan, otomatis skema divestasi yang paling memungkinkan dan relevan buat Vale adalah rights issue. Cara itu bertujuan memastikan bukan hanya saham Vale yang terdilusi. “Ilustrasinya, 20 persen yang dilepas. Mungkin 15 persen diambil dari Vale, 5 persen dari Sumitomo, itu proporsional,” ucapnya.
Dimintai konfirmasi tentang negosiasi Inalum dan Vale yang sudah berlangsung sejak tahun lalu, Budi menjawab diplomatis. Menurut Budi, Inalum ditugasi mengelola cadangan strategis mineral dan batu bara Indonesia. “Setiap kesempatan pasti akan kami kaji dengan serius. Khususnya mineral nikel,” kata Budi.
Yunus Saefulhaq mengatakan Kementerian Energi memberikan keleluasaan kepada Inalum dan Vale untuk bernegosiasi sendiri. Tidak sulit bagi Kementerian Energi untuk mengakui kesepakatan Inalum dan Vale sebagai kewajiban divestasi. Tapi, bila negosiasi keduanya buntu, barulah pemerintah mengambil alih proses divestasi. “Sekarang biarkan business to business dulu.”
Riwayat Vale di Indonesia
25 Juli 1968, PT International Nickel Indonesia berdiri. Sayap bisnis International Nickel Company Ltd (Inco), perusahaan tambang asal Kanada, itu mendapat kontrak karya penambangan bijih nikel di Sorowako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
1988, Inco melepas 20 persen saham kepada Sumitomo Mining Metal Co Ltd, perusahaan tambang asal Jepang.
16 Mei 1990, perusahaan menawarkan saham perdana ke bursa efek (IPO) dengan melepas 21,18 persen saham. Setelah IPO, porsi kepemilikan saham perusahaan berkode INCO itu berubah. International Nickel Company menguasai 58,73 persen, Sumitomo 20,09 persen, dan publik 21,18 persen.
Januari 1996, pemerintah dan Inco menandatangani perpanjangan kontrak karya. Inco akan bertahan di Indonesia hingga 28 Desember 2025.
Oktober 2006, raksasa tambang asal Brasil, Vale SA, mengakuisisi International Nickel Company Ltd dengan nilai US$ 19,4 miliar. Nama perusahaan berubah menjadi Vale Canada Limited. Pada akhir 2011, Inco Indonesia berganti nama menjadi PT Vale Indonesia Tbk.
Oktober 2014, renegosiasi kontrak karya. Hasilnya:
• Wilayah kontrak karya Vale berkurang dari 190.510 hektare menjadi 118.435 hektare, tersebar di Sorowako (Sulawesi Selatan), Bahodopi (Sulawesi Tengah), dan Pomalaa (Sulawesi Tenggara).
• Setelah kontrak karya berakhir pada 2025, perseroan dapat mempertahankan 25 ribu hektare zona bijih untuk tetap dieksploitasi.
• Royalti disepakati 2 persen dari penjualan—menjadi 3 persen bila harga nikel naik.
• Wajib divestasi 40 persen. Kewajiban divestasi Vale tinggal 20 persen karena 20-an persen saham sudah dimiliki publik dan diakui sebagai bagian dari divestasi.
• Setelah kontrak karya berakhir, Vale dapat meminta kelanjutan operasi dua kali 10 tahun atau sampai 2045.
KHAIRUL ANAM
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo