PERDEBATAN prioritas pengem bangan ilmu terapan dan ilmu dasar di Indonesia tak pernah henti-hentinya. Silang pendapat tahun ini dipicu Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie tatkala ia berbicara pada Rakornas Iptek di Jakarta, Februari lalu. Menurut Habibie, pengembangan ilmu terapan harus dirioritaskan dari ilmu murni atau ilmu dasar. Pernyataan pro kontra menjadi ramai setelah Wildan Yatim menyanggah pendapat Habibie itu dalam tulisannya di Kompas. Jumat dua pekan lalu, sepulangnya dari Pulau Batam, Habibie menegaskan kembali pendapatnya. "Mengembangkan ilmu murni itu lead time-nya lama," kata Habibie. Lead time yang dimaksudkannya adalah jangka waktu antara nenemuan ilmu itu dan pemanfaatannya secara praktis. "Selain itu, dibutuhkan dana banyak dan tenaga ahli yang qualified yang dilengkapi prasarana memadai. Kita nggak punya duit dan nggak punya prasarana yang memadai," katanya. Habibie mengulangi konsep empat tahap mengenai alih teknologi yang jadi picu polemik ini. Tahap pertama adalah pembelian lisensi, yakni tahap untuk menguasai nilai tambah ilmu dan teknologi, mengontrol biaya, kualitas, dan penjadwalan. Pada tahap ini teknologi yang sudah ada diimpor, biasanya melalui kontrak mengasembling produk yang sudah ada di pasar. Tahap kedua adalah teknologi pemaduan. Ini artinya mengembangkan program baru seperti misalnya pada kasus pesawat CN-235 yang dibuat IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara). Di sini teknologi yang sudah ada dipakai, tapi yang didesain dan dimanufaktur adalah produk baru. Tahap ketiga adalah pengembangan teknologi di dalam negeri sendiri. Tahap keempat barulah melakukan penelitian dan pengembangan ilmu murni. "Konsep empat tahap ini berdasarkan falsafah beginning from the end and ending with the beginning. Jadi, kita mulai dahulu dengan terapan, dan secara bertahap bergerak menuju ilmu murni," kata Habibie kepada Bambang Harymurti dari TEMPO. Wildan Yatim, dosen biologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung, tidak sependapat. Kepada TEMPO, Wildan pun menegaskan lagi sikapnya, pengembangan ilmu murni haruslah menjadi prioritas pertama. Soalnya, dengan mengutamakan pengembangan ilmu terapan, "kita hanya akan jadi konsumen negara maju saja. Tidak akan mampu jadi produsen," katanya. "Paling-paling kita hanya akan jadi perakit, dan yang namanya perakit itu banyak merugi." Sebagai contoh, Wildan pun menunjuk IPTN. Untuk masa sekarang IPTN masih dapat bersaing dengan negara-negara lain memasarkan produksinya. Tapi di kemudian hari IPTN akan kalah bersaing dengan negara yang memproduksi pesawat terbang yang tidak sekadar merakit. Dan dampak lainnya, kata Wildan, negara kita hanya akan jadi tempat pembuangan sampah dan limbah industri. Pengamatan Wildan, tanpa berpijak pada ilmu murni, pengembangan ilmu terapan bakal kejeblos. "Tak mungkin kita mengetahui ilmu terapan tanpa mempelajari ilmu murni," katanya. Risikonya, "Biarlah kita ketinggalan lima tahun saja. Tapi hasilnya kita akan seperti Jepang waktu dulu ketika merambat menjadi negara maju di bidang industri." Senada dengan Wildan Yatim adalah Ribu Surbakti, Kepala Laboratorium Biokimia Universitas Sumatera Utara (USU), Medan. Ribu melihat begitu pentingnya ilmu murni menunjang pengembangan ilmu terapan. Kalau penelitian yang dilakukan ilmu terapan menemui jalan buntu, persoalannya harus dikembalikan pada ilmu murni. Ironisnya, kata Ribu, gairah meneliti di kalangan mahasiswa maupun dosen dalam kaitan dengan ilmu murni sangat kurang. "Mahasiswa suka memilih yang gampangan agar cepat tamat," katanya. Dalam pengamatan TEMPO, di Jurusan Kimia Fakultas MIPA USU jurusan yang seharusnya mengembangkan ilmu dasar -- 60 persen skripsi berdasarkan penelitian ilmu terapan. Ini termasuk yang dikeluhkan sumber TEMPO. "Masa. untuk jadi sarjana kimia penelitiannya hanya menentukan kadar gula di dalam tomat," kata sumber itu. "Kalau cuma menentukan kadar gula seperti itu, sudah banyak alat analisa yang bisa dioperasikan oleh orang yang tidak berlatar belakang pendidikan kimia." Tapi Muhammad Chairuddin, Dekan Fakultas MIPA USU, berpendapat lain. Kondisi masyarakat kita masih memberikan label lebih kepada mereka yang bergerak dalam ilmu terapan "Untuk mengubahnya, ya harus memintarkan masyarakat dulu," kata Chairuddin. Artinya, Chairuddin bisa memahami langkah Habibie. Kebijaksanaan membelakangkan pengembangan ilmu murni sekadar menyesuaikan prioritas ke butuhan. "Apa boleh buat Kita harus menerima risiko lambatnya perkembangan ilmu dasar karena menunggu dana yang turun dari hasil pengembangan ilmu terapan," kata Chairuddin. Pendapat ini didukung Hemat R. Brahmana, Kepala Penelitian Sains Dan Teknologi USU. Katanya marketoriented-lah yang jadi titik tekan penelitian di Indonesia. "Kita harus mengejar pasar dulu," katanya. Keuntungan yang diperoleh dari hasil penelitian terapan bis diputar untuk mengembangkan ilmu dasar yang tepat guna. "Jadi, rencana Habibie itu tidak perlu dirombak, tambahnya. Itulah yang sesuai dengan kondisi kita," kata Brahmana. Ada pendapat tengah. Dari Slamet Soedarmadji, dosen di Fakultas Teknologi Pertanian UGM Yogya. Pengembangan ilmu murni dan ilmu terapan sebaiknya imbang. "Karena keduanya saling membutuhkan," katanya. Ia memberi contoh mempelajari bioteknologi harus tahu ilmu kimia dan matematika. "Bila kita ingin sejajar dengan negara lain, ilmu murni dan terapan harus sama-sama berkembang. Tanpa didukung ilmu murni, kita akan tetap jadi konsumen teknologi dan ilmu pengetahuan," katanya. Perdebatan agaknya masih lama dan kebijaksanaan di setiap perguruan tinggi tergantung iklim setempat.Agus Basri, Mukhlizardy Mukhtar, Riza Sofyat, dan Slamet Subagyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini