Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kontroversi PPDB Jalur Zonasi. Apa Opsi Terbaik Memperbaikinya?

Tiga opsi disiapkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah tentang PPDB jalur zonasi. Akan dibahas dalam rapat kabinet. 

27 Desember 2024 | 09.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pelayanan sistem Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi dan afimasi di SMA Negeri 5 Bandung, Jawa Barat, 6 Juni 2024. TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kajian terhadap PPDB jalur zonasi akan dibahas dalam rapat kabinet pemerintahan Prabowo Subianto.

  • Keputusan atas sistem PPDB tahun ajaran 2025-2026 akan diputuskan pada awal tahun depan.

  • Muncul usulan penghapusan PPDB jalur zonasi di tingkat SD dan SMP.

KEMENTERIAN Pendidikan Dasar dan Menengah sudah tiga kali mendiskusikan evaluasi terhadap sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi dalam kesempatan terpisah di Jakarta selama November dan Desember tahun ini. Berbagai pihak terlibat dalam diskusi tersebut, di antaranya pegiat pendidikan, organisasi profesi guru, dan organisasi kemasyarakatan yang menaruh perhatian di bidang pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) terlibat dalam evaluasi sistem penerimaan siswa baru tersebut. Diskusi itu digelar pada 19 November, 25-26 November, dan 1-2 Desember. "Kami terlibat dalam tiga diskusi tersebut," kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim, Kamis, 26 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengatakan muncul berbagai pendapat tentang PPDB jalur zonasi dalam pertemuan tersebut. P2G mengusulkan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah memperbaiki PPDB jalur zonasi atau tetap mempertahankannya, tapi memperbaikinya lebih dulu.

Pengamat pendidikan Ki Darmaningtyas juga ikut dalam pembahasan tersebut. Ia mengusulkan pemerintahan Prabowo Subianto tetap mempertahankan PPDB jalur zonasi dengan melakukan perbaikan lebih dulu. "Perlu ada perbaikan-perbaikan," kata dia, Kamis, 26 Desember 2024.

Diskusi tersebut merupakan tindak lanjut dari keinginan pemerintahan Prabowo mengevaluasi sistem PPDB. Ada empat sistem penerimaan siswa baru yang berlaku selama ini, yaitu jalur zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan. Dari keempat metode ini, kuota jalur zonasi yang paling banyak, yaitu minimal 50 persen dari total daya tampung siswa baru di sekolah menengah serta minimal 70 persen dari total daya tampung siswa baru di sekolah dasar. Sistem ini berlaku dari 2017 hingga akhir tahun ini.

Jalur zonasi ini kerap disalahgunakan oleh pihak sekolah, panitia PPDB, ataupun orang tua calon siswa baru. Misalnya, orang tua siswa sengaja memanipulasi domisili atau tiba-tiba pindah domisili mendekati alamat sekolah unggulan yang diincar untuk anaknya. Tujuannya agar alamatnya masuk ke dalam area zonasi sekolah tersebut sehingga anaknya dapat diterima lewat jalur zonasi.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti saat diwawancarai Tempo di kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Jakarta, 18 Desember 2024. TEMPO/Martin Yogi Pardamean

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengatakan pihaknya tengah mengkaji sistem PPDB, terutama jalur zonasi.

Ia mengatakan kajian itu melibatkan berbagai kalangan, dari pegiat pendidikan, organisasi profesi guru, hingga kepala dinas pendidikan di seluruh Indonesia. Sekretaris Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah ini mengatakan pihaknya juga mengikuti diskursus yang berkembang di media massa ataupun jurnal ilmiah tentang penerimaan siswa baru.

Hasil diskusi tersebut memunculkan tiga opsi penerimaan siswa baru ke depan. Ketiga opsi itu adalah menghapus atau menghentikan PPDB jalur zonasi, tetap mempertahankannya, atau memperbaikinya lebih dulu sebelum diterapkan. 

By concept, zonasi itu sudah selesai. Tapi Presiden Prabowo Subianto menyampaikan nanti diputuskan dalam sidang kabinet. Jadi tinggal tunggu saja,” kata Mu’ti saat diwawancarai tim Tempo di kantor Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta, Selasa, 18 Desember 2024.

Namun Mu’ti mengaku belum mengetahui kapan Presiden Prabowo akan memanggilnya ke Istana untuk membahas sistem PPDB tersebut. Meski begitu, ia optimistis sistem PPDB akan dibahas dalam rapat kabinet pada awal tahun depan atau paling lambat pada Maret 2025. Dengan demikian, Kementerian Pendidikan Dasar mempunyai waktu untuk mensosialisasi sistem tersebut sebelum penerimaan siswa baru tahun ajaran 2025-2026 pada Juni mendatang.

“Saya sudah janji ke publik. Kalau enggak ada sosialisasi, ya, bisa jadi pelaksanaannya tidak sebagaimana yang kita harapkan,” kata guru besar pendidikan agama Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini. “Mudah-mudahan kami bisa mengatasi berbagai kemungkinan permasalahan yang sebenarnya selama ini sudah bisa kita petakan. Misalnya soal memalsukan tempat tinggal dan perlombaan abal-abal.”

Unjuk rasa memprotes PPDB sekolah negeri di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 5 Agustus 2024. TEMPO/Prima Mulia

Jalur Zonasi Berubah di Era Nadiem Makarim

Sistem PPDB jalur zonasi sudah menuai kontroversi sejak pertama kali diterapkan di era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada 2017. Meski begitu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—kementerian baru hasil penggabungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada 2021—periode 2019-2024, Nadiem Anwar Makarim, memilih tetap melanjutkannya. Namun Nadiem melakukan berbagai perbaikan, yaitu mengatur kuota keempat metode PPDB, yaitu jalur zonasi, afirmasi, prestasi, dan perpindahan. 

Misalnya di sekolah menengah, kuota jalur zonasi minimal 50 persen dari total siswa baru yang diterima. Lalu jalur afirmasi minimal 15 persen, jalur perpindahan maksimal 5 persen, dan jalur prestasi 0-30 persen. Kuota setiap sistem PPDB tersebut disesuaikan dengan kondisi setiap daerah.

Meski sudah diperbaiki, PPDB jalur zonasi ini kerap diselewengkan. Orang tua calon siswa baru mengakalinya dengan tiba-tiba mengubah alamat domisili mendekati sekolah unggulan yang diincar untuk anaknya. Contoh teranyar, Ombudsman Perwakilan Jawa Barat menemukan kejanggalan alamat domisili 70 peserta didik di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Garut pada penerimaan siswa baru tahun ajaran 2024-2025, Juni lalu. Alamat mereka hanya berjarak 100 meter dari sekolah.  

Kepala Perwakilan Ombudsman Jawa Barat saat itu, Dan Satriana, mencurigai ada orang tua yang menitipkan anaknya dalam kartu keluarga warga yang tinggal berdekatan dengan SMAN 1 Garut. “Ada kartu keluarga yang alamatnya bukan tempat tinggal,” katanya, Juni 2024.

Kecurigaan Ombudsman berawal dari adanya temuan enam kartu keluarga dalam satu rumah. Ombudsman Jawa Barat lantas menyampaikan temuan tersebut ke Dinas Pendidikan Jawa Barat. Namun penjabat Gubernur Jawa Barat, Bey Machmudin, mengklaim pihaknya tidak menemukan kecurangan dalam kasus SMAN 1 Garut tersebut. Kesimpulan Bey itu merujuk pada hasil verifikasi yang dilakukan dinas pendidikan provinsi.

Sengkarut PPDB jalur zonasi ini juga tergambar dari laporan yang diterima Ombudsman Republik Indonesia selama 2022-2024. Lembaga ini menerima 594 laporan dugaan penyimpangan PPDB jalur zonasi. Sebanyak 31 persen dari total laporan tersebut mengenai penyimpangan prosedur dalam PPDB jalur zonasi.

Dari laporan tersebut, Ombudsman menyimpulkan ada berbagai kendala dalam penerapan jalur zonasi. Antara lain, urusan jarak sekolah dan tempat tinggal calon siswa baru sebesar 20 persen, verifikasi dokumen atau pemalsuan kode batang (barcode) kartu keluarga 12,2 persen, serta ⁠blank spot atau tidak meratanya sekolah 11,9 persen.

Satriwan Salim menilai masalah PPDB jalur zonasi kerap muncul karena tidak meratanya sekolah negeri di setiap daerah. Padahal masyarakat memilih masuk sekolah negeri karena biaya pendidikan lebih murah dibanding sekolah swasta. 

Satriwan mengatakan sejumlah daerah, seperti Jakarta, Bogor, dan Surabaya, memiliki sedikit sekolah negeri, padahal jumlah calon peserta didiknya cukup tinggi. Daya tampung sekolah negeri yang rendah ini membuat orang tua calon siswa baru melakukan berbagai cara agar anaknya bisa masuk sekolah negeri atau di sekolah unggulan.

Di samping urusan daya tampung sekolah negeri, kata Salim, ada beberapa sekolah negeri di sejumlah daerah yang justru kekurangan murid. Kondisi tersebut terjadi di daerah yang jarak sekolah negeri dan permukiman penduduk relatif jauh serta sarana dan prasarana transportasi yang serba kurang. “Kondisi ini yang membuat PPDB zonasi tidak ideal,” kata Satriwan.

Ki Darmaningtyas berpendapat, empat formula penerimaan siswa baru tersebut sesungguhnya sudah tepat. Ia hanya menyarankan kuota keempat metode PPDB tersebut diubah. Dia mengusulkan kuota PPDB jalur zonasi dikurangi dari minimal 50 persen menjadi 20 persen. Lalu PPDB jalur prestasi dinaikkan hingga menjadi minimal 55 persen.

“SD tidak perlu jalur zonasi karena semua anak usia SD wajib dan berhak bersekolah,” kata Darmaningtyas. 

Menurut dia, kuota PPDB jalur prestasi perlu ditambah karena metode ini yang paling adil dan obyektif dalam proses seleksi terbuka calon siswa baru. Ia mengatakan saat PPDB berdasarkan nilai ujian nasional dilakukan secara transparan tidak memicu kehebohan serta meminimalkan ruang adanya calon siswa baru titipan. 

Satriwan Salim menguatkan pendapat Darmaningtyas. Ia mengatakan penghapusan PPDB jalur zonasi semestinya dilakukan di tingkat SD dan sekolah menengah pertama. Alasannya, semua anak usia SD hingga SMP wajib bersekolah atau wajib belajar 12 tahun. Penghapusan jalur zonasi tidak perlu dilakukan, kata dia, ketika negara sudah mampu menyediakan sekolah yang mudah diakses oleh masyarakat.

Ia juga mengusulkan agar daerah memperluas cakupan jalur zonasi di wilayahnya. Di samping itu, pemerintah daerah dapat mencontoh Pemerintah Provinsi Jakarta yang menerapkan sekolah gratis di sekolah swasta. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu lagi berebut memasukkan anaknya di sekolah negeri.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo menentang penghapusan PPDB jalur zonasi ataupun pengurangan kuota metode tersebut. Ia berpendapat, penambahan kuota jalur prestasi justru akan memicu ketidakadilan. Sebab, rata-rata siswa yang memiliki prestasi bagus di sekolah atau mempunyai hasil ujian nasional yang tinggi berasal dari keluarga ekonomi mampu. Dengan kemampuan ekonomi orang tuanya, siswa tersebut mendapat bimbingan private, bimbingan belajar, dan privilese lain.

Kondisi berbeda terjadi pada siswa yang berasal dari keluarga miskin. Mereka hanya dapat belajar seadanya dengan perlengkapan yang serba terbatas. “Ini berbahaya, bisa menimbulkan problem sosial," kata Heru, Kamis, 25 Desember 2024. "Pendekatan keberpihakan kepada mereka yang lemah itu penting agar mereka bisa sekolah dengan baik.”

Anastasya Lavenia berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus