HANYA dalam tempo sebulan paras hutan Kedunglele telah berubah total. Gerumbul semak dan hamparan ilalang telah ludas ditebas parang serta sabit penduduk, dan gundukan tanah pun lumat oleh cakar buldoser. Kawasan hutan di tepi daerah genangan waduk itu pun rata dengan tanah. Pada kawasan seluas 125 ha itu, kini penduduk Kedungombo, yang tergusur dari daerah genangan, mulai membangun permukiman baru. Sampai akhir pekan lalu belasan rumah beratap joglo, dengan dinding kayu atau bambu, telah berdiri. Setiap hari rumah-rumah baru bermunculan di bekas hutan Perhutani yang terletak pada tepi barat Waduk Kedungombo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Sebuah keramaian menyeruak di Kedunglele, Kamis pagi pekan lalu. Suara gamelan mengalun nyaring dari pengeras suara yang bertengger di atap balai pertemuan Desa Kedunglele. Dua atau tiga ratus penduduk berkumpul di situ dengan wajah berbinar. Tak berapa lama, rombongan Bupati Boyolali Kol. M. Hasbi datang memasuki balai pertemuan. Rupanya, hari itu Hasbi datang untuk memberikan uang tebusan bagi tanah penduduk yang tertelan waduk. Proses ganti rugi sempat seret lantaran tak ada kompromi harga. Akibatnya, penduduk memboikot uang ganti rugi dan nekat bertahan di daerah genangan. Kemacetan itu mencair akhir April lalu setelah pemerintah mengabulkan tuntutan penduduk yang berani itu, untuk mendiami tanah Perhutani di sekitar waduk. Bahkan pemerintah juga bersedia memperbarui perhitungan ganti rugi untuk rumah dan pekarangan yang terendam air. Tak mengherankan, kedatangan Bupati Hasbi hari itu disambut dengan wajah-wajah cerah. Lantas, secara simbolis Hasbi menyerahkan ganti rugi kepada seorang kakek tua. "Ini, Mbah, uang ganti rugi sampeyan," kata Hasbi, sembari mengingatkan agar uang itu mesti dihemat. "Inggih, Pak," jawab kakek tua itu. Pada acara itu, secara resmi penduduk menyatakan kesediaannya menerima ganti rugi dari pemerintah. Jaswadi, tokoh yang selama ini gigih mewakili kepentingan penduduk, tampil lagi ke depan. Tapi kali ini untuk menandatangani nota kesepakatan baru. "Saudara-saudara, hari ini semua persoalan ganti rugi sudah selesai atas kesepakatan kita, tanpa paksaan dari mana pun," ujar Jaswadi, disambut keplok riuh. Pada kesepakatan baru itu berlaku asas "tanah diganti tanah". Ambil contoh Sastro Daman, yang dulu punya 750 m2 pekarangan dan 3.000 m2 sawah. Maka, yang akan dia peroleh adalah 3.750 m2 tanah plus uang ganti rugi untuk rumah dan tanaman pekarangannya. Untuk rumah tembok, ditetapkan ganti rugi Rp 8.000 per m2, rumah semipermanen Rp 3.500, dan tanaman keras rata-rata seharga Rp 500 per batang. Pemerintah kini telah menyediakan 350 ha tanah Perhutani di Kedunglele di tepi barat dan hutan Grenjengan di sisi timur waduk. Pada tahap pertama, setiap kk akan memperoleh 1 kapling seluas 1.000 m2. Tahap berikutnya, setiap kk akan memperoleh tanah garapan seluas tanah miliknya dulu, dikurangi 1.000 m2 yang telah dibagikan untuk permukiman itu. Namun, seperti dikatakan Hasbi, tidak semua penduduk yang bertahan berhak atas ganti rugi tanah itu. "Yang dulu telah mengambil uang ganti rugi tidak akan memperoleh tanah pembagian lagi," kata Hasbi. Dan pekan lalu sang bupati dipilih kembali oleh DPRD Boyolali untuk memangku ulang jabatannya, mulai 16 Juni mendatang. Dalam catatan Hasbi, dari 1.400 kk yang bertahan sebetulnya hanya 670 kk yang memboikot ganti rugi. Selebihnya telah menerima uang ganti rugi. Mereka yang dinyatakan tak berhak memperoleh tanah bagian itu kini tengah dibujuk agar bersedia boyong ke seberang, ikut transmigrasi. Laporan Kastoyo Ramelan dan Haddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini