Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tahanan G30S/PKI: mereka yang kembali

Semua tahanan g30s/pki dibebaskan. bekas pemukiman mereka di p. buru dijadikan lokasi transmigrasi. pramudya ananta toer merasa kehilangan tanggungjawab keluarga. sri sulistiantuti mencari ayahnya. (nas)

29 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI akhir 1965, dr. Ny. Soetanti Aidit tertangkap di pinggiran kota Jakarta. "Siapa yang mengkhianati saya? Tembak mati saja saya segera di sini," ucapnya. Istri Ketua Umum PKI Aidit ini akhir September 1965 baru kembali dari Korea Utara. Itulah ucapannya yang terakhir yang pernah dikutip koran 14 tahun yang silam. Pekan lalu, Kamis 20 Desember 1979, dalam suatu upacara di Jakarta, Ny. Soetanti Aidit, 57 tahun, dibebaskan. Rambutnya nyaris putih semua, tapi giginya kelihatan nasih lengkap. Seluruhnya ada 105 tahanan -- 41 di antaranya berasal dari Inrehab Pulau Buru -- memang dibebaskan hari itu. Mereka dianggap "tidak kooperatif". Maka merekalah rombongan terakhir yang dibebaskan. Di Semarang, dalam suatu upacara sederhana yang sepi, 83 tahanan juga dilepas. Tidak ada Pangkopkamtib atau Wapangkopkamtib yang biasanya selalu hadir dalam acara seperti itu. Para keluarga tahanan yang berasal dari luar Jawa Tengah pun tak ada yang hadir. Pagi itu empat tahanan maju ke depan. Mereka mewakili kelompok agama dan kepercayaan masing-masing, mengucapkan sumpah atau janji. Antara lain: "tidak akan melakukan kegiatan untuk penyebaran/pengembalian paham atau ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya." Juga tidak akan melakukan kegiatan "yang dapat menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban dan stahilitas politik." Mereka juga harus tetap bersedia dipanggil oleh penguasa untuk diminta keterangan dan kesediaan menjadi saksi dalam sidang pengadilan bila diperlukan. Dan yang terakhir, sebagai warga negara akan berbakti pada nusa dan bangsa dan "tak bersedia diperalat oleh G30S/PKI dan/atau subversi." Begitu mendapat ucapan selamat dari Mayjen Sukotjo, Pangdam VII Diponegoro, Hasjim Rachman (55 tahun), bekas pimpinan harian Bintang Timur, langsung mengacungkan map kuning berisi naskah sumpah dan surat pembebasannya ke atas. Ia melambaikannya dengan penuh semangat. Sebagian tahanan langsung mengikuti contohnya. Itulah lambaian kebebasan mereka. Tentu saja harus dicatat: tidak semua hak mereka dipulihkan Hak pilih dalam Pemilu mereka punyai, tapi tidak hak untuk dipilih. Beberapa pintu juga tertutup untuk mereka: menjadi anggota ABRI, pegawai pemerintah atau bekerja pada perusahaan yang vital. Betapapun, setelah 14 tahun, selesai juga masalah penahanan itu. Mereka diduga terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Tapi, seperti dikatakan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo 3 pekan lalu, mereka adalah "saudara-saudara kita sendiri. " TERLALU panjangkah 14 tahun Ketika beberapa tahun yang lalu Kopkamtib mengumumkan bahwa masalah tahanan G30S/PKI akan diselesaikan pada 1979, banyak yang tidak percaya. Begitu lama tahanan ini jadi masalah kita, hingga terasa rutin. Kita tak lagi peka. Dan memang tampaknya yang lebih meributkan para tahanan ini adalah pihak luar negeri. Bertubi-tubi kecaman dilancarkan oleh organisasi internasional seperti Amnesty International dan ILO (Organisasi Buruh Internasional). Mereka menganggap penahanan ini bertentangan dengan hukum dan hak-hak asasi manusia. Tertutupnya banyak tempat tahanan bagi peninjau asing membuat subur di luar negeri cerita yang suram tentang para tahanan ini. Usaha pemerintah dengan beberapa kali memberikan kesempatan pada pers dan peninjau asing. untuk mengunjungi tempat penahanan para tahanan politik itu, ternyata kurang berhasil. Laporan mereka ternyata lebih banyak merugikan citra Indonesia. Kumngnya koordinasi serta buruknya administrasi tentang tahanan ini, yang misalnya mengakibatkan angka jumlah tahanan yang selalu berubah, lebih tidak menolong keadaan. Sedikit banyak harus diakui, antara lain faktor internasional itulah yang mendorong pembebasan para tahanan itu. Di samping tentu saja sebab utama faktor keamanan dalam negeri yang stabil yang memungkinkan pembebasan para tahanan ini. Apapun sebabnya. berturut-turut sejak 1975 para tahanan golongan B ini dibebaskan. sampai pekan lalu, menurut Kopkamtib seluruhnya ada 33.094 orang tahanan yang bebas. Kini tinggal 23 tahanan golongan A yang masih dalam proses pengadilan. Reaksi Amnesty International dan "Tapol", dua organisasi yang selama ini sangat gigih menuntut pembebasan para tahanan, ternyata bercampur baur. "Kami gembira, terkejut, khawatir dan kurang percaya," ujar Martin Ennals, Sekjen Amnesty International (AI) pekan lalu pada pembantu TEMPO di London. Pendapat yang senada diucapkan juga oleh Ny. Carmel Budiardjo, Ketua Komite "Tapol" di Inggris. Mereka terkejut karena tidak mengira begitu banyak tahanan yang "tidak kooperatif" yang dibebaskan. Tapi masih khawatir karena para bekas tahanan ini belum menerima kembali hak-hak sipil mereka, misalnya tidak bisa masuk ABRI atau menjadi pegawai pemerintah. Karenanya, kedua organisasi ini masih akan menunggu sampai akhir Desember untuk memastikan apakah benar semua tahanan telah dibebaskan. "Tapol" masih menyangsikan jumlah tahanan. Alasannya ketidakcocokan dalam angka. Menurut Ny. Budiardjo, pada ]978 Kopkamtib mengumumkan masih ada 12.146 tahanan G30S/PKI dari berbagai golongan. Pada 1979 dibebaskan 9.178 orang, hingga sisanya mestinya 2.968 orang. Pekan lalu dibebaskan 105 orang yang terakhir. "Kemana sisanya yang 153 orang lagi?" tanyanya. Dia tidak paham, apakah angka yang dipunyain yang salah, ataukah orang-orang itu sudah dibebaskan atau mereka memang sudah mati. Yang dipersoalkan Ny. Budiardjo bukan hal baru. Sebelumnya selalu discbutkan, jumlah tahanan yang dibebaskan pada 1977 adalah 10.000 orang. Belakangan baru ditambahkan, hahwa yang dibebaskan tahun itu sebetulnya 11.833 orang. Tampaknya ini disebabkan kesimpang-siuran administrasi. Kesalahan angka juga dimungkinkan karena adanya pergeseran penggolongan tanpa diumumkan. Tahanan. A bisa berubah menjadi golongan B kalau ternyata tidak terbukti pantas untuk dibawa ke pengadilan. Sebaliknya yang B bisa masuk golongan A kalau kemudian ditemukan bukti-bukti kuat. Ny. Soetanti Aidit misalnya, semula termasuk golongan A, tapi kemudian "turun pangkat" ke B. "Jadi wajar kalau jumlah masing-masing golongan berubah tiap saat," ujar Kolonel Slamet, Wakil Asisten Teritorial Kopkamtib pada TEMPO. Dengan bebasnya semua tahanan G30S/PKI, apakah "Tapol" akan menghentikan kegiatannya? "Tapol akan tetap giat," jawab Ny. Budiardjo. Karena organisasi ini tidak hanya memperjuangkan nasib tahanan Gestapu, tapi semua orang yang ditahan karena pandangan politiknya. Dengan kata lain betapapun menjengkelkannya, bisa diduga pembebasan semua tahanan G30S/PKI akhir tahun ini tak dengan sendirinya akan menghentikan kritik dari luar negeri. Amerika Serikat pun masih dikecam, Amnest) karena masih memberlakukan hukuman mati. Walaupun demikian, citra Indonesia jelas akan membaik karena berhasil menyelesaikan ganjalan panjang itu. Setidaknya Indonesia dalam hal ini lebih baik daripada Vietnam atau RRC. Tapi yang penting, pemerintah rupanya sudah bertekad akan menyelesaikan masalah penahanan yang berlarut-larut ini. Ini tampak pada pemberian remisi (pemotongan hukuman) istimewa pada 15 Desember lalu kepada para narapidana (napi) G30S/PKI. Sebe]umnya mereka diperlakukan lain dari napi kriminal dan tidak bisa menerima remisi. Pertengahan November lalu, Presiden Soeharto memerintahkan Menteri Kehakiman untuk segera melaksanakan pemberian remisi istimewa itu. Dalam waktu kurang dari sebulan, 12 Desember lalu, semua pekerjaan bisa diselesaikan dan dilaporkan ke Kopkamtib. Hasilnya "Ada ratusan napi G30S/PKI yang mendapat remisi semacam itu," ungkap Menteri Kehakiman Moedjono pekan lalu pada TEMPO. Ketentuan baru itu membuat para napi G30S/PKI menerima remisi sama dengan napi biasa, dengan perhitungan berlaku surut. Jadi bukan remisi tahun ini saja, tapi juga tahun-tahun sebelumnya sejak ia ditahan. Akibatnya ada yang sampai memperoleh remisi 2/3 dari masa hukuman. Selain pemberian remisi istimewa itu, bagi mereka yang telah menjalankan 2/3 masa hukuman dan berkonduite baik bisa diberikan pembebasan sementara. Menurut R.S. Soegondo, Direktur Pembinaan Dalam Lembaga Pemasyarakatan Departemen Kehakiman, di seluruh Indonesia pada 15 Desember lalu ada 331 orang napi eks G30S/PKI yang mendapat remisi ini. Dari jumlah ini 118 orang di antaranya dibebaskan di Jakarta. Namun pertanyaan yang timbul sudahkah pembebasan itu menyelesaikan semua masalah? Tentu saja tidak. Bertahun hidup dalam pengasingan jelas memerlukan waktu untuk bisa kembali di tengah masyarakat. Cukup banyak yang tercatat tidak mampu memperoleh "penanggung yang merupakan syarat utama untuk bisa memperoleh Kartu Tanda Penduduk (KTP). Dan sekalipun sudah mendapat KTP tidak semua merasa puas. Thomas S, 44 tahun, bekas pegawai Departemen Transkop yang bebas tahun lalu tidak bisa mengerti mengapa KTPnya masih diembel-embeli kode ET (Eks Tapol). "Sekalipun kode ini hanya dimengerti instansi tertentu, toh nantinya orang akan mendengar. Psikologis saya merasa terkucil," katanya. UNTUNGLAH cukup banyak lembaga sosial yang berusaha menyantun para eks tapol ini. Yang mula-mula memelopori adalah Proyek Sosial Kardinal (PSK) yang dibentuk sekitar 10 tahun lalu dengan prakarsa Kardinal J. Darmojuwono. Usaha bantuan kemanusiaan ini dilakukan di setiap keuskupan atau daerah di mana terdapat tahanan G30S/PKI. Menurut Pater G. Zeghward, Ketua Lembaga Penelitian dan Pembangunan Sosial (LPPS) yang berkantor di MAWI, banyak bekas tahanan yang semangatnya lemah. Kedudukan sebagai orang yang dipersalahkan selama belasan tahun membuat mereka kehilangan gairah untuk hidup. "Mereka bersikap sebagai hamba dan kehilangan gairah untuk berinisiatif," ujarnya. Hingga kemudian banyak minta masuk penampungan yang disediakan P & K. Tempat penampungan semacam itu juga disedialcan Dewan Gereja Indonesia. Ada dua di Jakarta. Hanya istilahnya Rumah Persinggahan Sementara (RPS). Kedua RPS yang terletak di Kramat Jati, Jakarta Timur, saat ini menampung 117 orang. Sebagian besar terdiri dari orang yang kehilangan keluarganya. Yayasan Humaika, Himpunan Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan yang berdiri sejak 1978 juga terjun dalam usaha penyantunan para bekas tahanan ini. Antara lain dengan konsultasi dan pencarian lapangan kerja. "Mereka umumnya tidak dalam posisi yang terlalu baik untuk mencari kerja, umur sudah lanjut, keahlian sudah ketinggalan dan masyarakat masih ada yang enggan menerima mereka," ujar Adi Sasono, Ketua Umum Humaika. PADA akhir Oktober lalu Humaika telah minta ketegasan Pangkopkamtib, apa yang di maksud dengan "lapangan kerja vital" yang dikatakan tertutup bagi para bekas tapol ini. Menurut penjelasan yang diterima, bidang telekomunikasi dan listrik termasuk dalam bidang vital. Majelis Ulama Indonesia sejak 1977 juga ikut memikirkan masalah bekas tapol ini. "Di bidang agama banyak bekas tahanan yang sudah terlatih, "ucap Sekretaris MUI Amiruddin Siregar. Namun di bidang lain mereka memang harus dibantu. Atas prakarsa MUI, para eks tahanan ini telah membentuk wadah Namanya: Bakoreksin (Badan Koordinasi Eks Inrehab). Tujuannya agar MUI bisa lancar berhubungan dengan mereka. Sejak Mei Ialu, usaha penyantunan ini dilakukan berkerjasama dengan Humaika. Bagaimana penerimaan masyarakat pada eks tahanan ini? "Bagi kami dan kalangan pesantren Jawa Timur, tidak ada masalah lagi dengan eks tahanan G30S/PKI yang dimasyarakatkan kembali," tutur K.H. Abdullah Siddiq, Ketua Umum Ja-Tim. Namun diakuinya, di Jawa Timur belum ada kalangan umat Islam yang membuat proyek guna membantu para bekas tahanan itu. Menurut Amiruddin Siregar, akhir bulan ini MUI akan mengeluarkan anjuran ke MU daerah supaya menerima, menuntun dan memberi bimbingan pada para bekas tahanan ini. Tujuannya: Untuk membuat mereka tetap iman dan tak akan kembali menjadi komunis." Tidak semua cerita tentang bekas tahanan merupakan cerita kelabu. Syahriar Syahdan setelah 12 tahun ditahan di Inrehab Tanjung Kasau, Sumatera Utara, dibebaskan pada 20 Desember 1977. Ia sudah memutuskan untuk beternak ayam setelah bebas, karena itu yang dipelajarinya selama dalam tahanan. Tapi dialognya dengan Pangkopkamtib Sudomo setelah upacara mengubah rencananya. Sudomo mengernyitkan alis setelah mendengar rencana Syahriar untuk berternak ayam. "Saudara dulu pengacara? Ya teruskan sajalah itu. Kalau rasanya masih sangsi, ya pelan-pelan dulu," nasihatnya. Syahriar, yang pernah menjadi asisten dosen Universitas Sumatera Utara dan anggota ormas PKI serta pernah membela angota BTI yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy semula ragu-ragu. Tapi dorongan teman-temannya membuatnya yakin. Ia tidak menyesal. "Saya tak pernah merasa hambatan apapun, termasuk psikologis, yang datang dari luar kecuali hambatan dari diri saya sendiri," ceritanya pekan lalu. Dia sebelumnya selalu menjelaskan siapa dirinya pada calon kliennya. Ternyata itu tak merupakan persoalan. Buktinya, prakteknya cukup laris. Nasib baik juga menunggangi Subronto K. Atmodjo, pencipta lagu-lagu mars seperti Nasakom Bersatu, Resopim dan Gotong Royong. Ia dikirim ke Buru pada 1970 setelah ditahan 2 tahun di Jakarta sejak 1968. Keahlian musiknya masih bisa dipeliharanya dan ia pernah membentuk band Wayapu Nada di Buru yang terdiri dari para tahanan. "Belum pernah saya mengalami hidup secara material yang baik seperti sekarang," ceritanya pekan lalu. Ia duduk sebagai redaktur musik di BPK Gunung Mulia. Juga melatih paduan suara ibu-ibu dan anak-anak di Bina Vokalia, serta juga memimpin koor Gereja Naviri Effatha di Kebayoran Baru, Jakarta. Walau telah banyak mencipta komposisi musik yang disiarkan lewat TVRI, ia belum diizinkan tampil langsung kelihatan di TV. Diakuinya, tak sulit baginya untuk berbaur kembali dengan masyarakat. "Pertama kali masuk kantor tidak ada teman sekerja yang tahu saya bekas tahanan," katanya. Masih banyak lagi contoh yang lain. Misalnya Hersri S yang tulisannya tentang pertemuan peradaban modern dan primitif di Buru hasil pengalamannya, tahun ditahan di situ -- memenangkan hadiah Rp 300.000 dalam sayembar. yang diselenggarakan Yayasan Masdani dan T.P3ES tahun ini. Namun yang jelas, lebih banyak lagi kisah-kisah yang gelap dan menyedihkan dari para bekas tahanan ini. Lebih dari 00.000 orang telah ditahan sejak peristiwa Gestapu, yang terjadi 14 tahun lalu itu. Bahwa kini semuanya telah usai memang melegakan. Namun tidak bisa kia begitu saja menutup buku dan menganggap semua itu telah silam. Jejak sejarah Indonesia yang pahit selama 20 tahun yang lalu masih lama lagi baru bisa hilang. Adakah di antara kita yang ingin mengulanginya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus