DI akhir 1965, dr. Ny. Soetanti Aidit tertangkap di pinggiran
kota Jakarta. "Siapa yang mengkhianati saya? Tembak mati saja
saya segera di sini," ucapnya. Istri Ketua Umum PKI Aidit ini
akhir September 1965 baru kembali dari Korea Utara. Itulah
ucapannya yang terakhir yang pernah dikutip koran 14 tahun yang
silam.
Pekan lalu, Kamis 20 Desember 1979, dalam suatu upacara di
Jakarta, Ny. Soetanti Aidit, 57 tahun, dibebaskan. Rambutnya
nyaris putih semua, tapi giginya kelihatan nasih lengkap.
Seluruhnya ada 105 tahanan -- 41 di antaranya berasal dari
Inrehab Pulau Buru -- memang dibebaskan hari itu. Mereka
dianggap "tidak kooperatif". Maka merekalah rombongan terakhir
yang dibebaskan.
Di Semarang, dalam suatu upacara sederhana yang sepi, 83 tahanan
juga dilepas. Tidak ada Pangkopkamtib atau Wapangkopkamtib yang
biasanya selalu hadir dalam acara seperti itu. Para keluarga
tahanan yang berasal dari luar Jawa Tengah pun tak ada yang
hadir.
Pagi itu empat tahanan maju ke depan. Mereka mewakili kelompok
agama dan kepercayaan masing-masing, mengucapkan sumpah atau
janji. Antara lain: "tidak akan melakukan kegiatan untuk
penyebaran/pengembalian paham atau ajaran
Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan
manifestasinya." Juga tidak akan melakukan kegiatan "yang dapat
menimbulkan gangguan terhadap keamanan, ketertiban dan
stahilitas politik."
Mereka juga harus tetap bersedia dipanggil oleh penguasa untuk
diminta keterangan dan kesediaan menjadi saksi dalam sidang
pengadilan bila diperlukan. Dan yang terakhir, sebagai warga
negara akan berbakti pada nusa dan bangsa dan "tak bersedia
diperalat oleh G30S/PKI dan/atau subversi."
Begitu mendapat ucapan selamat dari Mayjen Sukotjo, Pangdam VII
Diponegoro, Hasjim Rachman (55 tahun), bekas pimpinan harian
Bintang Timur, langsung mengacungkan map kuning berisi naskah
sumpah dan surat pembebasannya ke atas. Ia melambaikannya dengan
penuh semangat. Sebagian tahanan langsung mengikuti contohnya.
Itulah lambaian kebebasan mereka.
Tentu saja harus dicatat: tidak semua hak mereka dipulihkan Hak
pilih dalam Pemilu mereka punyai, tapi tidak hak untuk dipilih.
Beberapa pintu juga tertutup untuk mereka: menjadi anggota ABRI,
pegawai pemerintah atau bekerja pada perusahaan yang vital.
Betapapun, setelah 14 tahun, selesai juga masalah penahanan itu.
Mereka diduga terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Tapi, seperti
dikatakan Pangkopkamtib Laksamana Sudomo 3 pekan lalu, mereka
adalah "saudara-saudara kita sendiri. "
TERLALU panjangkah 14 tahun Ketika beberapa tahun yang lalu
Kopkamtib mengumumkan bahwa masalah tahanan G30S/PKI akan
diselesaikan pada 1979, banyak yang tidak percaya. Begitu lama
tahanan ini jadi masalah kita, hingga terasa rutin. Kita tak
lagi peka.
Dan memang tampaknya yang lebih meributkan para tahanan ini
adalah pihak luar negeri. Bertubi-tubi kecaman dilancarkan oleh
organisasi internasional seperti Amnesty International dan ILO
(Organisasi Buruh Internasional). Mereka menganggap penahanan
ini bertentangan dengan hukum dan hak-hak asasi manusia.
Tertutupnya banyak tempat tahanan bagi peninjau asing membuat
subur di luar negeri cerita yang suram tentang para tahanan ini.
Usaha pemerintah dengan beberapa kali memberikan kesempatan pada
pers dan peninjau asing. untuk mengunjungi tempat penahanan para
tahanan politik itu, ternyata kurang berhasil.
Laporan mereka ternyata lebih banyak merugikan citra Indonesia.
Kumngnya koordinasi serta buruknya administrasi tentang tahanan
ini, yang misalnya mengakibatkan angka jumlah tahanan yang
selalu berubah, lebih tidak menolong keadaan.
Sedikit banyak harus diakui, antara lain faktor internasional
itulah yang mendorong pembebasan para tahanan itu. Di samping
tentu saja sebab utama faktor keamanan dalam negeri yang stabil
yang memungkinkan pembebasan para tahanan ini. Apapun sebabnya.
berturut-turut sejak 1975 para tahanan golongan B ini
dibebaskan. sampai pekan lalu, menurut Kopkamtib seluruhnya ada
33.094 orang tahanan yang bebas. Kini tinggal 23 tahanan
golongan A yang masih dalam proses pengadilan.
Reaksi Amnesty International dan "Tapol", dua organisasi yang
selama ini sangat gigih menuntut pembebasan para tahanan,
ternyata bercampur baur. "Kami gembira, terkejut, khawatir dan
kurang percaya," ujar Martin Ennals, Sekjen Amnesty
International (AI) pekan lalu pada pembantu TEMPO di London.
Pendapat yang senada diucapkan juga oleh Ny. Carmel Budiardjo,
Ketua Komite "Tapol" di Inggris.
Mereka terkejut karena tidak mengira begitu banyak tahanan yang
"tidak kooperatif" yang dibebaskan. Tapi masih khawatir karena
para bekas tahanan ini belum menerima kembali hak-hak sipil
mereka, misalnya tidak bisa masuk ABRI atau menjadi pegawai
pemerintah. Karenanya, kedua organisasi ini masih akan menunggu
sampai akhir Desember untuk memastikan apakah benar semua
tahanan telah dibebaskan.
"Tapol" masih menyangsikan jumlah tahanan. Alasannya
ketidakcocokan dalam angka. Menurut Ny. Budiardjo, pada ]978
Kopkamtib mengumumkan masih ada 12.146 tahanan G30S/PKI dari
berbagai golongan. Pada 1979 dibebaskan 9.178 orang, hingga
sisanya mestinya 2.968 orang. Pekan lalu dibebaskan 105 orang
yang terakhir. "Kemana sisanya yang 153 orang lagi?"
tanyanya. Dia tidak paham, apakah angka yang dipunyain yang
salah, ataukah orang-orang itu sudah dibebaskan atau mereka
memang sudah mati.
Yang dipersoalkan Ny. Budiardjo bukan hal baru. Sebelumnya
selalu discbutkan, jumlah tahanan yang dibebaskan pada 1977
adalah 10.000 orang. Belakangan baru ditambahkan, hahwa yang
dibebaskan tahun itu sebetulnya 11.833 orang. Tampaknya ini
disebabkan kesimpang-siuran administrasi.
Kesalahan angka juga dimungkinkan karena adanya pergeseran
penggolongan tanpa diumumkan. Tahanan. A bisa berubah menjadi
golongan B kalau ternyata tidak terbukti pantas untuk dibawa ke
pengadilan. Sebaliknya yang B bisa masuk golongan A kalau
kemudian ditemukan bukti-bukti kuat. Ny. Soetanti Aidit
misalnya, semula termasuk golongan A, tapi kemudian "turun
pangkat" ke B. "Jadi wajar kalau jumlah masing-masing golongan
berubah tiap saat," ujar Kolonel Slamet, Wakil Asisten
Teritorial Kopkamtib pada TEMPO.
Dengan bebasnya semua tahanan G30S/PKI, apakah "Tapol" akan
menghentikan kegiatannya? "Tapol akan tetap giat," jawab Ny.
Budiardjo. Karena organisasi ini tidak hanya memperjuangkan
nasib tahanan Gestapu, tapi semua orang yang ditahan karena
pandangan politiknya.
Dengan kata lain betapapun menjengkelkannya, bisa diduga
pembebasan semua tahanan G30S/PKI akhir tahun ini tak dengan
sendirinya akan menghentikan kritik dari luar negeri. Amerika
Serikat pun masih dikecam, Amnest) karena masih memberlakukan
hukuman mati. Walaupun demikian, citra Indonesia jelas akan
membaik karena berhasil menyelesaikan ganjalan panjang itu.
Setidaknya Indonesia dalam hal ini lebih baik daripada Vietnam
atau RRC.
Tapi yang penting, pemerintah rupanya sudah bertekad akan
menyelesaikan masalah penahanan yang berlarut-larut ini. Ini
tampak pada pemberian remisi (pemotongan hukuman) istimewa pada
15 Desember lalu kepada para narapidana (napi) G30S/PKI.
Sebe]umnya mereka diperlakukan lain dari napi kriminal dan tidak
bisa menerima remisi.
Pertengahan November lalu, Presiden Soeharto memerintahkan
Menteri Kehakiman untuk segera melaksanakan pemberian remisi
istimewa itu. Dalam waktu kurang dari sebulan, 12 Desember lalu,
semua pekerjaan bisa diselesaikan dan dilaporkan ke Kopkamtib.
Hasilnya "Ada ratusan napi G30S/PKI yang mendapat remisi semacam
itu," ungkap Menteri Kehakiman Moedjono pekan lalu pada TEMPO.
Ketentuan baru itu membuat para napi G30S/PKI menerima remisi
sama dengan napi biasa, dengan perhitungan berlaku surut. Jadi
bukan remisi tahun ini saja, tapi juga tahun-tahun sebelumnya
sejak ia ditahan. Akibatnya ada yang sampai memperoleh remisi
2/3 dari masa hukuman.
Selain pemberian remisi istimewa itu, bagi mereka yang telah
menjalankan 2/3 masa hukuman dan berkonduite baik bisa diberikan
pembebasan sementara. Menurut R.S. Soegondo, Direktur Pembinaan
Dalam Lembaga Pemasyarakatan Departemen Kehakiman, di seluruh
Indonesia pada 15 Desember lalu ada 331 orang napi eks G30S/PKI
yang mendapat remisi ini. Dari jumlah ini 118 orang di antaranya
dibebaskan di Jakarta.
Namun pertanyaan yang timbul sudahkah pembebasan itu
menyelesaikan semua masalah? Tentu saja tidak. Bertahun hidup
dalam pengasingan jelas memerlukan waktu untuk bisa kembali di
tengah masyarakat.
Cukup banyak yang tercatat tidak mampu memperoleh "penanggung
yang merupakan syarat utama untuk bisa memperoleh Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Dan sekalipun sudah mendapat KTP tidak semua
merasa puas. Thomas S, 44 tahun, bekas pegawai Departemen
Transkop yang bebas tahun lalu tidak bisa mengerti mengapa
KTPnya masih diembel-embeli kode ET (Eks Tapol). "Sekalipun kode
ini hanya dimengerti instansi tertentu, toh nantinya orang akan
mendengar. Psikologis saya merasa terkucil," katanya.
UNTUNGLAH cukup banyak lembaga sosial yang berusaha menyantun
para eks tapol ini. Yang mula-mula memelopori adalah Proyek
Sosial Kardinal (PSK) yang dibentuk sekitar 10 tahun lalu dengan
prakarsa Kardinal J. Darmojuwono. Usaha bantuan kemanusiaan ini
dilakukan di setiap keuskupan atau daerah di mana terdapat
tahanan G30S/PKI.
Menurut Pater G. Zeghward, Ketua Lembaga Penelitian dan
Pembangunan Sosial (LPPS) yang berkantor di MAWI, banyak bekas
tahanan yang semangatnya lemah. Kedudukan sebagai orang yang
dipersalahkan selama belasan tahun membuat mereka kehilangan
gairah untuk hidup. "Mereka bersikap sebagai hamba dan
kehilangan gairah untuk berinisiatif," ujarnya. Hingga kemudian
banyak minta masuk penampungan yang disediakan P & K.
Tempat penampungan semacam itu juga disedialcan Dewan Gereja
Indonesia. Ada dua di Jakarta. Hanya istilahnya Rumah
Persinggahan Sementara (RPS). Kedua RPS yang terletak di Kramat
Jati, Jakarta Timur, saat ini menampung 117 orang. Sebagian
besar terdiri dari orang yang kehilangan keluarganya.
Yayasan Humaika, Himpunan Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan
yang berdiri sejak 1978 juga terjun dalam usaha penyantunan
para bekas tahanan ini. Antara lain dengan konsultasi dan
pencarian lapangan kerja. "Mereka umumnya tidak dalam posisi
yang terlalu baik untuk mencari kerja, umur sudah lanjut,
keahlian sudah ketinggalan dan masyarakat masih ada yang enggan
menerima mereka," ujar Adi Sasono, Ketua Umum Humaika.
PADA akhir Oktober lalu Humaika telah minta ketegasan
Pangkopkamtib, apa yang di maksud dengan "lapangan kerja vital"
yang dikatakan tertutup bagi para bekas tapol ini. Menurut
penjelasan yang diterima, bidang telekomunikasi dan listrik
termasuk dalam bidang vital.
Majelis Ulama Indonesia sejak 1977 juga ikut memikirkan masalah
bekas tapol ini. "Di bidang agama banyak bekas tahanan yang
sudah terlatih, "ucap Sekretaris MUI Amiruddin Siregar. Namun di
bidang lain mereka memang harus dibantu. Atas prakarsa MUI, para
eks tahanan ini telah membentuk wadah Namanya: Bakoreksin
(Badan Koordinasi Eks Inrehab). Tujuannya agar MUI bisa lancar
berhubungan dengan mereka. Sejak Mei Ialu, usaha penyantunan
ini dilakukan berkerjasama dengan Humaika.
Bagaimana penerimaan masyarakat pada eks tahanan ini? "Bagi kami
dan kalangan pesantren Jawa Timur, tidak ada masalah lagi dengan
eks tahanan G30S/PKI yang dimasyarakatkan kembali," tutur K.H.
Abdullah Siddiq, Ketua Umum Ja-Tim. Namun diakuinya, di Jawa
Timur belum ada kalangan umat Islam yang membuat proyek guna
membantu para bekas tahanan itu.
Menurut Amiruddin Siregar, akhir bulan ini MUI akan mengeluarkan
anjuran ke MU daerah supaya menerima, menuntun dan memberi
bimbingan pada para bekas tahanan ini. Tujuannya: Untuk membuat
mereka tetap iman dan tak akan kembali menjadi komunis."
Tidak semua cerita tentang bekas tahanan merupakan cerita
kelabu. Syahriar Syahdan setelah 12 tahun ditahan di Inrehab
Tanjung Kasau, Sumatera Utara, dibebaskan pada 20 Desember 1977.
Ia sudah memutuskan untuk beternak ayam setelah bebas, karena
itu yang dipelajarinya selama dalam tahanan. Tapi dialognya
dengan Pangkopkamtib Sudomo setelah upacara mengubah rencananya.
Sudomo mengernyitkan alis setelah mendengar rencana Syahriar
untuk berternak ayam. "Saudara dulu pengacara? Ya teruskan
sajalah itu. Kalau rasanya masih sangsi, ya pelan-pelan dulu,"
nasihatnya.
Syahriar, yang pernah menjadi asisten dosen Universitas Sumatera
Utara dan anggota ormas PKI serta pernah membela angota BTI
yang terlibat dalam peristiwa Bandar Betsy semula ragu-ragu.
Tapi dorongan teman-temannya membuatnya yakin. Ia tidak
menyesal. "Saya tak pernah merasa hambatan apapun, termasuk
psikologis, yang datang dari luar kecuali hambatan dari diri
saya sendiri," ceritanya pekan lalu. Dia sebelumnya selalu
menjelaskan siapa dirinya pada calon kliennya. Ternyata itu tak
merupakan persoalan. Buktinya, prakteknya cukup laris.
Nasib baik juga menunggangi Subronto K. Atmodjo, pencipta
lagu-lagu mars seperti Nasakom Bersatu, Resopim dan Gotong
Royong. Ia dikirim ke Buru pada 1970 setelah ditahan 2 tahun di
Jakarta sejak 1968. Keahlian musiknya masih bisa dipeliharanya
dan ia pernah membentuk band Wayapu Nada di Buru yang terdiri
dari para tahanan.
"Belum pernah saya mengalami hidup secara material yang baik
seperti sekarang," ceritanya pekan lalu. Ia duduk sebagai
redaktur musik di BPK Gunung Mulia. Juga melatih paduan suara
ibu-ibu dan anak-anak di Bina Vokalia, serta juga memimpin koor
Gereja Naviri Effatha di Kebayoran Baru, Jakarta.
Walau telah banyak mencipta komposisi musik yang disiarkan
lewat TVRI, ia belum diizinkan tampil langsung kelihatan di TV.
Diakuinya, tak sulit baginya untuk berbaur kembali dengan
masyarakat. "Pertama kali masuk kantor tidak ada teman sekerja
yang tahu saya bekas tahanan," katanya.
Masih banyak lagi contoh yang lain. Misalnya Hersri S yang
tulisannya tentang pertemuan peradaban modern dan primitif di
Buru hasil pengalamannya, tahun ditahan di situ -- memenangkan
hadiah Rp 300.000 dalam sayembar. yang diselenggarakan Yayasan
Masdani dan T.P3ES tahun ini.
Namun yang jelas, lebih banyak lagi kisah-kisah yang gelap dan
menyedihkan dari para bekas tahanan ini. Lebih dari 00.000
orang telah ditahan sejak peristiwa Gestapu, yang terjadi 14
tahun lalu itu.
Bahwa kini semuanya telah usai memang melegakan. Namun tidak
bisa kia begitu saja menutup buku dan menganggap semua itu
telah silam. Jejak sejarah Indonesia yang pahit selama 20 tahun
yang lalu masih lama lagi baru bisa hilang. Adakah di antara
kita yang ingin mengulanginya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini