Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARKAS Teman Ahok di kompleks Graha Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, amat semarak pada Rabu pekan lalu. Sejumlah orang hilir-mudik di ruang tamu rumah bercorak merah hati tersebut. Mereka mengantarkan paket berisi formulir dukungan pencalonan Basuki Tjahaja Purnama-Heru Budi Hartono. Setelah formulir diterima, kesibukan bergeser ke ruang tengah, yang disebut pusat komando. Di ruang inilah jantung perekaman dukungan kepada Basuki alias Ahok dikerjakan.
Sejumlah relawan tangkas menyalin data ke layar komputer. Mereka memindai kertas dukungan ini menjadi dokumen digital. Beres, sejumlah orang menumpuk formulir ini ke satu wadah untuk disimpan di tempat lain. Direktur Cyrus Network Hasan Nasbi Batupahat, yang menjadi mentor relawan, tak bersedia menyebutkan lokasi rumah aman itu. "Cuma saya dan beberapa orang relawan yang tahu," kata Hasan, Rabu pekan lalu.
Relawan ini menjadi buah bibir setelah dipilih Ahok sebagai kendaraan politik dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Siapa sebenarnya mereka? Cerita relawan ini terentang jauh ke belakang, sejak pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Ketika itu Hasan Nasbi membentuk Relawan Jakarta Baru untuk pemenangan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Dia merekrut anggota lintas profesi, dari mahasiswa hingga tukang ojek. Jumlahnya sekitar 15 ribu orang. "Menyesuaikan dengan jumlah tempat pemungutan suara," kata Hasan.
Di komunitas inilah Hasan bersua dengan empat anak muda yang kini menjadi pendiri Teman Ahok. Mereka adalah Muhammad Fathony, Richard Handris Purwasaputra, Aditya Yogi Prabowo, dan Singgih Widyastomo. Dulu mereka relawan Jokowi-Ahok di sejumlah wilayah di DKI Jakarta. Satu pendiri Teman Ahok, Amalia Ayuningtyas, ketika itu masih kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Peran anak muda ini menjadi signifikan karena Jokowi masih menjabat Wali Kota Surakarta. Jokowi hanya berada di Jakarta saat akhir pekan. Dari sinilah kedekatan dengan Ahok terjalin. Saat keduanya terpilih, menurut Hasan, cuma Ahok yang menyampaikan ucapan terima kasih kepada Relawan Jakarta Baru. "Secara emosional anak-anak ini menjadi dekat," kata Hasan.
Setelah pemilihan Gubernur DKI rampung, kelompok ini tak pernah membubarkan diri. Menurut Hasan, mereka kerap berkumpul makan bareng hingga berbuka puasa bersama. Ketika Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden, para pendukung Jokowi ini bertransformasi menjadi Laskar Biji Kopi, yang dipimpin Yustian F.M. Adapun Yustian adalah penulis di buletin Satu Jakarta, yang diterbitkan Cyrus Network menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Lama mengendap tanpa kabar, relawan ini kembali berkumpul pada saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2015. Ketika itu Ahok "berkelahi" dengan politikus di Dewan sehingga memunculkan istilah begal anggaran. Perseteruan Ahok dengan sejumlah politikus Kebon Sirih, tempat anggota Dewan bermarkas, mencemaskan mereka. "Ahok tidak punya partai, kami bikinlah Teman Ahok," kata Singgih.
Mereka mendaftarkan Teman Ahok sebagai perkumpulan pada 16 Juni 2015. Para pendiri membagi tugas. Singgih dan Yogi mengurus pembukaan posko, Fathony urusan logistik, Richard di bagian data, dan Amalia menjadi juru bicara. Pada September tahun lalu, mereka mengubah bentuk lembaga menjadi organisasi kemasyarakatan.
Setelah Teman Ahok resmi terbentuk, Cyrus Network melatih relawan ini membuat strategi kampanye, membangun citra, dan teknik pemasaran melalui jejaring sosial. Hasan menugasi koordinator Laskar Biji Kopi, Yustian F.M., untuk mensupervisi relawan ini. "Saya saweran bantu sebesar Rp 500 juta," kata Hasan.
Selain memberikan bantuan finansial, Hasan mempersilakan Teman Ahok menggunakan aset Cyrus. Letak markas Teman Ahok bersebelahan dengan kantor Cyrus di Graha Pejaten, kompleks milik pemerintah DKI Jakarta. Menurut Hasan, rumah yang dipakai Teman Ahok dulu gudang penyimpanan logistik saat menghadapi pemilihan presiden.
Dalam laporan keuangan per Juni 2015, sumbangan Hasan ini dicantumkan sebagai penerimaan pihak ketiga. Singgih mengatakan, "Dana itu digunakan untuk set-up awal." Amalia mengatakan duit dari Hasan akan dikembalikan seiring dengan membaiknya arus kas mereka. Apalagi total penjualan pernak-pernik sudah menembus angka Rp 3 miliar. "Kami kembalikan dengan mencicil meskipun belum lunas," kata Amalia.
Beres dengan urusan persiapan, sejak pertengahan tahun lalu Teman Ahok mulai turun ke lapangan untuk menjaring dukungan. Menurut Amalia, mereka memilih pusat belanja karena yakin bisa menarik perhatian publik. "Kami mengajukan proposal ke sepuluh pengelola mal," kata Amalia. Nama besar Ahok tak menjamin proposal mereka lempeng. Tak ada satu pun pengelola pusat belanja yang bersedia memberi mereka tempat. "Mereka khawatir ada kegiatan politik masuk mal," kata Amalia.
Satu-satunya pusat belanja yang merespons penawaran mereka adalah Emporium Pluit, yang dikelola Agung Podomoro Land. Sejak 6 Juli 2015, secara resmi Teman Ahok membuka stan di sana dengan status sewa. Menurut Amalia, pengelola Emporium Pluit bersedia karena Ahok kerap menonton film di sana. "Barangkali juga karena mal ini sepi," kata Amalia.
Strategi memilih pusat keramaian di mal terbukti jitu. Pelan-pelan gerakan ini dilirik oleh pengunjung. Kampanye di jejaring sosial juga mereka kencangkan. Pernah pada satu akhir pekan, Amalia bercerita, stan mereka didatangi hampir seribu pengunjung. "Kami sampai kewalahan," kata Amalia. Setelah itu Teman Ahok secara berturut-turut membuka stan di ITC Cempaka Mas, Mal Ambasador, dan Mal Ciputra. Menurut Amalia, sejak kesuksesan di Emporium Pluit meledak, pengelola pusat belanja berlomba-lomba menawari mereka, bahkan ada yang percuma. Menurut Amalia, Teman Ahok tetap membayar biaya sewa Rp 2,5-5 juta per bulan.
Berapa sesungguhnya harga sewa stan di pusat belanja? Seorang tenaga pemasaran Kuningan City menuturkan, biaya sewa per pekan untuk stan ukuran 12 meter persegi sebesar Rp 15-20 juta per pekan. Seorang anggota staf di Cilandak Town Square menuturkan, biaya sewa di tempat mereka bisa mencapai angka Rp 5 juta per hari. Rata-rata Teman Ahok membuka stan di satu lokasi selama dua pekan hingga satu bulan. Mereka juga memberikan ongkos transportasi Rp 50 ribu ke penjaga stan. "Makan mereka tanggung sendiri," katanya.
Menurut Amalia, sewa stan di mal menjadi salah satu komponen terbesar pembiayaan Teman Ahok. Pada Juli 2015, misalnya, mereka menghabiskan dana Rp 77 juta untuk mata anggaran ini. Biaya ini melonjak menjadi Rp 128 juta pada bulan berikutnya. Soal rendahnya angka ini, Amalia beralasan, "Kami memperoleh banyak diskon." Dalam situs resminya, Teman Ahok tak lagi memperbarui laporan keuangannya. Amalia menegaskan, Teman Ahok siap mempertanggungjawabkan penggunaan uang mereka. "Nanti kami siapkan audit keuangan."
Hasan mengakui militansi relawan Teman Ahok. Soal tudingan pasukan bayaran, Hasan tak bisa mencegah sebagian orang berpikir demikian. Dia memastikan Cyrus Network dan Ahok tak memiliki perjanjian politik. Namun Hasan tak memungkiri lembaganya bakal mendapat nama jika sukses memenuhi syarat pencalonan. "Gue bisa menaikkan harga, dong," katanya, lalu tersenyum.
Wayan Agus Purnomo, Indri Maulidar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo