KANDANG banteng PDI masih terus diguncang aksi penggembosan. Selama Februari-Maret lalu, secara beruntun 9 delegasi -- mengklaim diri sebagai pembawa aspirasi daerah -- mendatangi kantor pengurus pusat PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta. Sikap mereka seraam: menuntut agar Soerjadi menyingkir dari kursi Ketua Umum PDI. Puncak aksi pembangkangan itu terjadi pekan lalu. Kelompok penentang Soerjadi, yang mengaku mewakili 18 daerah, berkumpul di Jakarta dan membentuk sebuah komite yang diberi nama Panitia Nasional Penyelamat (PNP) PDI. "Langkah ini merupakan kemauan bersama kawan-kawan dari daerah, yang merasa memerlukan gerakan serempak," tutur Rahardi, pimpinan delegasi Jawa Timur. Lima puluhan orang pendukung PNP, Kamis pekan lalu, ramai-ramai mendatangi kantor DPP PDI. Tujuh orang di antara mereka mewakili rombongan untuk menemui Sekjen PDI-Nico Daryanto. Di depan Nico, mereka membacakan "proklamasi" pembentukan panitia penyelamat itu, sembari menyebut beberapa konsideran yang bunyinya menyerang kepemimpinan Soerjadi. Namun tuntutan agar Soejadi mundur dari jabatan, tak disebut secara terang-terangan. Dalam pernyataannya, panitia penyelamat ini bertekad akan memperbaiki mekanisme musyawarah dalam tubuh partai, yang selama ini mereka anggap macet. Itu janji mereka untuk menangani kemelut intern. Untuk urusan keluar, "Panitia penyelamat akan mengutamakan dan mendahulukan konsultasi dengan Pemerintah". Nico Daryanto tampak tenang menghadapi aksi penentangan itu. "Nanti semuanya akan kami laporkan kepada pimpinan PDI," kata Nico, kalem. Namun Sekjen PDI itu tak hendak mengakui adanya lembaga ekstra semacam panitia penyelamat itu. "Inskonstitusional," komentar Nico pendek. Malam harinya, pendukung PNP itu kembali berkumpul di Betawi Room, Hotel meja rapat. Acara malam itu berlangsung penuh kobaran semangat -- berkat kehadiran beberapa anggota kelompok 17, klik penentang Soerjadi, yang telah terdepak dari pelataran PDI, setelah gagal membentuk DPP tandingan setahun lalu. Di antara para "pemberontak" itu tampak Marsoesi, Dudy Singadilaga, Suparman Adiwijaya, Jusuf Merukh, Palaoensoeka, dan Kemas Fachruddin. "Saya diundang oleh kawan-kawan untuk membicarakan soal kemelut partai. Apa salahnya kalau saya hadir," ujar Jusuf Merukh, sembari menolak sinyalemen bahwa pihaknya yang memprakarsai rapat itu. Pertemuan malam itu diawali dengan acara makan nasi bungkus dan minum teh. Lantas Mochtar Jusuf Assik -- Ketua DPD Bengkulu -- yang menjabat koordinator PNP, membuka pertemuan itu dengan merentang laporan mengenai keberhasilan para penentang itu menghimpun kekuatan. "Kami tidak puas dengan kepemimpinan Soerjadi," ujar Mochtar, sembari melirik ke arah Jusuf Merukh dkk. Agaknya pertemuan itu memang dirancang untuk mendengarkan wejangan dari anggota kelompok 17. Tanpa banyak buang waktu, Mochtar mempersilakan kelompok 17 untuk bicara. Maka Dudy Singadilaga, F.C. Palaoensoeka, Kemas Fachruddin, Marsoesi, dan Jusuf Merukh, berturutturut memberikan "wejangan". "Partai kita ini dianggap sebagai perusahaan, dan mereka menjadi direkturnya," kata Dudy. "Kalau ada yang dianggap bersalah, langsung saja dipecat, tanpa diajak bicara", ujar bekas pimpinan PDI Ja-bar itu. Soerjadi, dalam tuduhan Dudy, bersikap tak konsisten terhadap SK 059, yang antara lain melarang jabatan rangkap, misalnya Ketua DPD sekaligus anggota DPR Pusat. Dudy sendiri, juga Marsoesi, memang termasuk pejabat partai yang terkena peraturan itu. "Tapi kalau yang merangkap itu kawan dekatnya, soal itu tak dimasalahkan," tambah Dudy. Mudah ditebak, tembakan Dudy itu diarahkan kepada H. Ipik Asmasubrata, Ketua DPD DKI yang hingga saat ini masih merangkap sebagai anggota DPR. Tokoh kawakan dari Ja-Tim, Marsoesi, tak kalah galaknya. "Kita harus berjuang bersama menghancurkan rezim Soerjadi. Saudara-Saudara, kawan-kawan di daerah telah mulai bergerak tanpa harus dikomando. Gerakan ini akan seperti bola salju, yang terus menggulir dan membesar," ujarnya. Sebagai pembicara terakhir, Jusuf Merukh banyak menekankan pada segi praktis. PNP, misalnya, diminta agar memperjuangkan adanya kongres luar biasa (KLB), sesegera mungkin. "Kalau bisa, sebelum muktamar PPP, yang akan diadakan Agustus nanti," ujarnya. Soal lobi, hal penting pelataran politik, juga ditekankan oleh Merukh. "Saudara jangan segan-segan berkonsultasi dengan pejabat setempat," tuturnya. Merukh mengakui adanya hubungan antara kelompok 17 dan aksi panitia penyelamat itu. "Secara organisasi, tak ada hubungannya, tapi historis dan aspirasinya satu dengan kelompok 17,".tuturnya. Dalam aksi unjuk rasa PNP pun Merukh mengklaim kelompok 17 punya andil. "Siapa yang mengantar Saudara-Saudara ke DPP, kalau bukan Saudara Jacob Nuwawea, anggota kelompok 17," tutur pengusaha kakap itu. Kubu Soerjadi-Nico agaknya telah menyiapkan iawaban. "Tak ada penyelewengan. Semua kebijaksanaan pengurus pusat telah kami pertanggungjawabkan kepada Majelis Pertimbangan Partai (MPP)," kata Sekjen Nico Daryanto. "MPP bisa menerima semua kebijaksanaan kami," tambahnya. Nico juga menolak tuduhan bahwa DPP pilih-pilih bulu dalam pelaksanaan SK 059. Soal jabatan rangkap Ipik? "Kami tunggu hasil konperda, sebentar lagi," kata Nico, "kalau Pak Ipik terpilih lagi sebagai Ketua DPD PDI DKI, ya, kami akan minta beliau milih salah satu." Sementara itu, saran Merukh -- agar para aktivis anti-Soerjadi mencari dukungan dari pejabat daerah -- ternyata telah dilakukan oleh rombongan asal Sum-Ut. Sebelum berangkat ke Jakarta, mereka telah minta restu ke kantor gubernur dan Kodam I Bukit Barisan, Medan. Mendapat restu? "Ah, tidak," ujar seorang pejabat di Kodam 1, "kami tidak memberikan restu, tapi kami juga tidak punya wewenang untuk melarang."Putut Tri Husodo Yopie Hidyat (Jakarta), dan Sarluhut Napitupulu (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini