MUKTAMAR Partai Persatuan Pembangunan baru akan berlangsung Agustus mendatang. Tapi sudah muncul tanda-tanda bahwa J. Naro harus bertarung ketat untuk bisa lagi terpilih sebagai Ketua Umum PPP. Dari beberapa daerah sudah terdengar suara-suara menentangnya. "Dalam Pemilu lalu suara PPP sedikit merosot. Maka, saya kira, PPP sekarang membutuhkan regenerasi dan penyegaran," kata Karmani. Ketua DPW PPP Jawa Tengah. Suara senada datang dari Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP Yogyakarta, Jakarta, dan Sumatera Utara. Senin pekan ini, Ketua DPW PPP Jakarta Dokter H.M. Djufrie mengeluarkan pernyataan pers. Isinya. menolak mencalonkan kembali Naro dalam muktamar yang akan datang. Djufrie menuduh Naro bertanggung jawab atas adanya materi di anggaran dasar (AD) dan anggaran rumah tangga (ART) PPP yang tak sesuai dengan UU nomor 3 tahun 1975 tentang parpol/Golkar. Sebenarnya Naro menyadari hal itu. Pada Desember 1985, ia mengeluarkan surat keputusan untuk memperbaiki berbagai materi AD/ART itu. Beres? "Perubahan materi AD/ART hanya bisa lewat muktamar. Pak Naro mestinya bisa melakukan itu dengan mengadakan muktamar luar biasa. Tapi itu tidak ia lakukan," kata Djufrie. DPW PPP Sumatera Utara malah secara beruntun, 16, 22, dan 23 Maret yang lalu, membuat surat ke Polda, Pangdam, dan Gubernur Sumatera Utara, yang isinya melaporkan bahwa ada oknum DPP PPP yang berusaha mempengaruhi pengurus cabang PPP di Sumatera Utara agar mendukung Naro. "Kami menolak cara-cara seperti ini karena bertentangan dengan keputusan Konperensi Kerja Wilayah (Konkerwil) PPP Sumatera Utara awal Maret yang lalu," ujar sebuah sumber di DPW PPP Sumatera Utara. Salah satu keputusan Konkerwil itu memang menyatakan untuk tidak mencalonkan sebuah nama pun buat posisi ketua umum dalam muktamar mendatang. Mereka cuma menentukan kriteria, yang salah satunya menyebutkan: calon ketua umum harus seorang kader PPP yang tumbuh dari bawah. Ini bisa diartikan, Naro tak memenuhi kriteria tadi. Yang dimaksud dengan "oknum" tersebut tampaknya Sori Tua Siregar. Mulai 12 Maret 1989, anggota DPR dari F-PP asal Sumatera Utara itu mengunjungi cabangcabang PPP di provinsi itu, mengusahakan dukungan terhadap Naro. Menurut sumber tadi, tak satu cabang pun yang terpengaruh Sori Tua Siregar. Sebenarnya sidang Dewan Partai PPP yang dilakukan di Jakarta, 16 Januari 1988, telah memutuskan untuk mencalonkan Naro kembali dalam muktamar 1989. "Yang hadir dalam sidang itu adalah semua Ketua DPW PPP, dan mereka sudah menurunkan tanda tangan," kata Soeleiman Fadeli. Karena itu, Ketua DPW PPP Jawa Timur itu heran, mengapa sekarang ada DPW yang dikabarkan tak mendukung Naro. Jawa Timur sendiri, katanya, tetap konsekuen pada keputusan sidang Dewan Partai itu. Sekjen PPP Mardinsyah memperhitungkan sekitar 60% daerah yang mendukung pencalonan Naro. "Bahwa sekarang ada yang mencoba menarik kembali dukungannya, itu boleh-boleh saja. Tapi secara moral, itu tidak etis," katanya. Memang menarik untuk dipertanyakan: kenapa Naro -- yang dulu begitu dikagumi kalangan PPP itu -- kini mulai ditinggalkan? Tentunya ada soal lain di samping soal AD/ART tadi. Hal itu terungkap dalam siaran pers H.M. Djufrie. Di situ ia mengingatkan kelalaian yang dilakukan Naro, seperti ditulis di dalam buku otobiografi Soeharto -- Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Di buku itu, Presiden Soeharto menyinggung kasus pencalonan Naro sebagai wakil presiden dalam SU MPR, Maret 1988. Dalam soal ini, antara lain Pak Harto menyebut bahwa F-PP maupun Naro hanya menggunakan hak, tapi tidak memenuhi kewajiban (Lihat: Buku Pak Harto...). Agaknya Jailani Naro sendiri tak begitu peduli dengan daerah-daerah yang membelot itu. "Saya ini bukan nabi. Sedangkan nabi saja, dari sepuluh sahabatnya, pandangannya terhadap nabi bermacam-macam," katanya kepada TEMPO di Surabaya, pekan lalu. Kalau sekarang ada yang berbalik menghantamnya, "Itu sifatnya perorangan," kata Naro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini