AKHIRNYA buku yang ditunggu-tunggu banyak orang itu beredar juga di pasaran. Inilah buku otobiografi Presiden Soeharto, dengan judul Soeharto -- Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Untuk pertama kali, buku itu beredar melalui stand Ikani dalam Pameran Teater nasional Buku Islam, Sains, dan Teknologi 1989, di Balai Sidang Senayan, Jakarta, yang berlangsung selama sepekan, sejak Jumat pekan lalu. Ikapi memang sudah lama memesan buku itu pada penerbitnya, PT Citra Lamtoro Gung Persada, untuk menghadapi pameran ini. "Kami pikir kan sayang kalau buku penting itu tak dijual di pameran sebesar ini," kata seorang petugas pameran kepada TEMPO. Ternyata pada hari pameran dibuka, datang pemberitahuan dari PT Citra Lamtoro Gung Persada, bahwa buku itu sudah bisa diambil. Ikapi mendapat jatah 200 eksemplar dan terjual laris. "Sampai hari ini cuma tersisa 10 eksemplar," kata petugas itu, Senin sore pekan ini. Padahal, untuk ukuran sekarang, harga buku itu cukup mahal, Rp 30.000 per buah. Memang yang beredar ini baru edisi luks, hard cover dengan kertas linen, dan pula diberi kotak pembungkus. "Yang sekarang beredar ini dicetak 50.000 eksemplar," kata Brigjen. (Purn.) G. Dwipayana, Asisten Menteri Sesneg Urusan Dokumentasi dan Media Massa. Dengan hasil penjualan edisi luks ini, menurut Dipo -- begitu Dwipayana biasa dipanggil -- diharapkan nanti akan bisa diterbitkan edisi yang murah, yang harganya dapat dijangkau masyarakat luas. Melihat derasnya minat pada buku itu, rencana itu tampaknya akan segera terealisasi. Coba, untuk edisi ini, selain dari toko buku, pesanan juga berdatangan dari berbagai instansi dan departemen. "Kalau tak salah, Sekretariat Negara memesan 10.000 eksemplar, sedang departemen-departemen lain ada yang memesan 1.000 atau 2.000. DPP Golkar juga sudah memesan 2.000 eksemplar," ujar Dipo, yang bersama Ramadhan Kartahadimaja menuliskan otobiografi ini. Buku itu sebenarnya sudah diserahkan Presiden Soeharto kepada masyarakat dalam upacara peringatan hari perkawinannya ke-41, di Istana Tampak Siring, Bali, akhir Desember tahun lalu. Secara simbolis, saat itu Presiden menyerahkan buku itu kepada Menteri Koperasi Bustanil Arifin dan Gubernur Bali Ida Bagus Oka. Menurut rencana, ketika itu, buku yang diterbitkan dan dicetak PT Cipta Lamtoro Gung Persada, milik Ny. Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut, putri sulung Presiden, sudah beredar pada masyarakat pertengahan Februari 1989. Ternyata ada keterlambatan. Keterlambatan pengedaran itu segera menimbulkan bermacam dugaan. Ada yang mengira buku itu sedang direvisi berat. Malah ada pula yang mengisukannya telah ditarik dari peredaran. Yang diduga direvisi terutama Bab 69 tentang "Petrus" (penembakan misterius), karena di situ diungkapkan bahwa petrus itu sebenarnya tindakan tegas pihak yang berwajib untuk dapat menumpas kejahatan yang sudah melampaui batas perikemanusiaan. Kalau ada mayat penjahat yang ditinggalkan begitu saja, itu untuk shock therapy, terapi guncangan. Ini berarti, petrus itu ternyata bukan perkelahian antargang, seperti versi resmi sebelum ini. Berbagai isu dan dugaan itu rupanya tak benar. Menteri Penerangan Harmoko, seu sai menghadap Presiden Soeharto Sabtu pagi pekan lalu, membantah hal itu. tidak benar buku itu ditarik dari peredaran." katanya, mengutip ucapan Kepala Negara. Lebih jelas, Dwipayana menuturkan kepada TEMPO bahwa keterlambatan itu karena soal-soal teknis semata. Misalnya, agar enak dilihat dan dibaca, tata letak buku itu mengalami perubahan. Jarak antara judul bab dan awal kalimat tiap bab, yang semula terpaut sekitar satu sampai dua centimeter diperenggang menjadi empat atau empat setengah centimeter. Ini menyebabkan jumlah halaman buku yang semula 577 menjadi 599, meskipun tak ada perubahan pada bab. Buku itu tetal terdiri dari 102 bab. Tapi karena bertambahnya halaman, tentu saja terjadi perubahan pada kaitan bab dengan halaman. Sebagai contoh, Bab 97 dengan judul: "Ulang Tahun Pernikahan Kami yang Ke-40", semula dimulai dari halaman 493, setelah mengalami perbaikan, dimulai pada halaman 531. Lalu pada Bab 97, profil putri sulung Pak Harto, Siti Hardiyanti (Tutut) pada edisi ini dilengkapi dengan jabatannya sebagai Presiden FIODS, Ketua Umum Persatuan Donor Darah Indonesia, dan Ketua HIPSI. "Ketika buku ini ditulis. Mbak Tutut belum jadi Presiden FIODS. Sebagai penulis, saya harus menambahkannya, dong," ujar Dipo. Tutut terpilih sebagai Presiden FIODS, dalam sidang dewan direktur organisasi donor darah internasional itu, di Portugal, Juli 1988. Selain itu, yang dilakukan adalah beberapa koreksian ejaan atau koreksi nama-nama orang. "Harjono, misalnya, kan kalau menurut ejaan sekarang mesti ditulis Hardjono," kata Dipo. Kemudian, pada buku semula ada nama Haryono dan Hartono, padahal kedua nama itu sesungguhnya untuk orang yang sama. Pada Bab 100, halaman 512 (yang lama) seputar pemilihan calon Wakil Presiden di Sidang Umum MPR yang lalu, ada kalimat yang berbunyi: "Setelah selesai dilantik sewaktu di dalam lift, Kharis Suhud lapor kepada saya, bahwa ia telah menerima surat dari FPP tapi belum ia baca isinya. Di buku yang beredar sekarang (hal 551 ), kata "lapor" dalam kalimat itu diganti dengan "menyampaikan". Itu memang terasa lebih pas, mengingat Kharis Suhud yang dimaksud di situ tak, lain dari Ketua DPR/ MPR, yang secara konstitusional tidak berada di bawah Presiden. Selebihnya, tak ada perubahan yang prinsipiil. "Soal 'Petrus' ada di Bab 69, soal Ketua PPP Naro ada di Bab 100, " kata Dipo.Amran Nasution, Priyono B. Sumbogo, Diah Purnomowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini