Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUARA Elizabeth Prasetyo Utomo mendadak meninggi ketika menceritakan pengalamannya bekerja di perusahaan milik Luhut Binsar Pandjaitan hingga 2008. Ditemui pada Rabu pekan lalu di salah satu kafe di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, perempuan paruh baya ini mengakui ikut memiliki PT Persada Inti Energi. "Saya mendirikannya bersama tiga teman," katanya.
Persada adalah pemilik Mayfair International Ltd, perusahaan cangkang (shell company) di Republic of Seychelles, yang dokumennya tersimpan dalam tumpukan file elektronik Panama Papers. Tempo memberitakan perusahaan ini pada edisi 25 April lalu karena ada nama Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut tercatat sebagai Direktur Mayfair.
Luhut sudah membantah data tersebut. "Saya belum pernah dengar. Saya suruh semua anggota staf saya mengecek sepanjang hari kemarin. Kami tak pernah punya Mayfair," katanya dalam wawancara dengan Tempo di rumahnya pada April lalu. Apalagi alamat rumah Luhut dalam Dokumen Panama keliru. Di sana tertulis Jalan Mega Kuningan Barat III Nomor 11, padahal yang benar 18.
Ketika menelusuri profil Persada Inti Energi, Tempo menemukan perusahaan ini pernah terlibat dalam konsorsium yang berhasil mendapatkan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 Tanjung Gundul, Bengkayang, Kalimantan Barat. Proyek senilai sekitar Rp 630 miliar yang menggunakan anggaran PT Perusahaan Listrik Negara itu merupakan amanat Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006 untuk percepatan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara.
April tahun ini, proyek tersebut masih tampak terbengkalai. Beberapa menara telah berdiri tapi besinya mulai berkarat. Rumput liar tumbuh berserak. General Manager PT PLN Unit Induk Pembangunan Kalimantan Bagian Barat Aji Sutrisno mengatakan PT Persada keluar dari konsorsium sejak 2012. Kata dia, proyek terbengkalai lantaran "ada masalah kontrak pembayaran dengan vendor".
Elizabeth tercatat memiliki 100 lembar saham PT Persada senilai Rp 100 juta. Sisanya, 9.900 lembar seharga Rp 9,9 miliar, dimiliki perusahaan lain, PT Pelita Buana Karya. Setelah dua bulan menghindar, pekan lalu dia akhirnya bersedia diwawancarai.
Dalam pertemuan sekitar satu jam di Mega Kuningan itu, Elizabeth membenarkan PT Persada sengaja mereka dirikan untuk mendapatkan proyek PLTU 2 di Bengkayang. Di Bengkayang, mereka terlibat dalam konsorsium bersama PT Indo Fuji Energi, PT Advance Technology Indonesia, dan Guangdong Machinery Imp & Exp Co Ltd. Menurut dia, mereka mundur pada 2012 karena kekurangan modal dan tak punya tenaga ahli. "Belakangan, kami sadar itu proyek tidak masuk akal," katanya.
DOKUMEN pendirian Mayfair International Ltd ditemukan Tempo di antara 11,5 juta file yang bocor dari firma hukum Mossack Fonseca di Panama. Menurut Dokumen Panama, Mayfair didirikan pada 29 Juni 2006 di kantor Mossack Fonseca cabang Singapura. Alamat perusahaan ini: Suite 13, First Floor, Oliaji Trade Centre, Francis Rachel Street, Victoria, Mahe, Republic of Seychelles, negara "surga" pajak bekas jajahan Inggris di Benua Afrika.
Selain oleh PT Persada Inti Energi, Mayfair dimiliki oleh PT Buana Inti Energi. Komposisi sahamnya, 10 ribu lembar dikuasai PT Persada, 40 ribu lembar PT Buana.
Pada akhir 2008, Mayfair dinyatakan struck off dan dinonaktifkan (inactivation) pada 9 Januari 2009. Tempo menemukan dokumen inaktifasi Mayfair ini belakangan.
Dalam kamus perusahaan cangkang, struck off merujuk pada penghentian aktivitas perusahaan oleh pengelola-dalam kasus Mayfair berarti Mossack Fonseca-biasanya karena tidak membayar biaya administrasi. Sedangkan inactivation date adalah tanggal ketika klien meminta pengelola menonaktifkan perusahaan mereka, dengan catatan bisa diaktifkan kembali di kemudian hari. Ini berarti Mayfair sudah tutup ketika Luhut mulai terlibat dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo pada Desember 2014.
Ditemui seusai rapat di kantornya pada Rabu sore pekan lalu, Luhut kembali membantah pernah mendirikan Mayfair. "Saya bahkan tak tahu perusahaan itu ada," katanya.
Elizabeth mengatakan hal yang sama, tak mengenal Mayfair. "Saya tidak pernah melihat dokumen ini," ucapnya saat diperlihatkan sertifikat pendirian Mayfair. Dia merasa tak pernah membayar uang jasa administrasi ke Mossack.
Hingga delapan tahun lalu, Elizabeth merupakan mitra bisnis sekaligus tangan kanan Luhut. Dia dipercaya mengelola keuangan perusahaan. Eli-panggilan akrab Elizabeth-mengklaim ikut membangun Toba Bara Sejahtra, yang dulu hanya berkantor di dalam mobil. Dia juga merancang dan mendirikan anak perusahaan untuk menopang bisnis Toba. Salah satunya PT Buana Inti Energi. "Saya yang memberi nama Buana Inti Energi itu," katanya. Ia mengaku ikut membangun Toba Sejahtra, induk kerajaan bisnis Luhut yang banyak bergerak dalam bisnis pertambangan dan pengadaan energi.
Ketika masih aktif di Toba, Elizabeth mengatakan, dia kerap didatangi pengacara. "Sudah biasa lawyer menawarkan membuka perusahaan di luar negeri," ujarnya bercerita. Toh, dia menegaskan tidak pernah terlibat pendirian perusahaan offshore dan membantah Mayfair ada kaitannya dengan proyek PLTU 2 di Bengkayang.
Lalu siapa pendiri Mayfair sebetulnya? Dengan bantahan dari Elizabeth, kini tinggal dua pihak yang seharusnya bisa menjelaskan teka-teki pendirian Mayfair. Pertama, PT Pelita Buana Karya yang bersama Elizabeth merupakan pemegang saham PT Persada. Kedua, Mossack Fonseca Singapura sebagai agen tempat Mayfair International Ltd didaftarkan untuk pertama kali.
Tempo mendapatkan alamat PT Pelita di Jakarta Barat, tak jauh dari rumah Elizabeth di kawasan Kedoya. Tapi, ketika didatangi, ternyata alamat tersebut fiktif. Sedangkan Elizabeth mengaku tidak tahu PT Pelita Buana Karya.
Jumat siang pekan lalu, Tempo menelepon Peter Tay, pemimpin Mossack Fonseca Singapura yang berkantor di TPS Corporate Services, Singapura. Peter telah menjadi perwakilan Mossack untuk Singapura, Malaysia, dan Indonesia sejak 1990-an. Dia tak merespons panggilan telepon.
Pertanyaan yang diajukan melalui e-mail pun tidak berjawab. Sekretaris Peter, Adelyn Lee, berjanji menyampaikan permintaan konfirmasi Tempo kepada Peter. Namun, hingga tenggat tiba, tak ada kabar dari Adelyn.
SETELAH International Consortium of Investigative Journalists membuka nama perusahaan serta pemilik yang ada dalam Panama Papers pada 9 Mei lalu lewat situs https://Offshoreleaks.icij.org, pemerintah Indonesia membentuk satuan tugas. Mereka diminta menelusuri kemungkinan penyelewengan pajak atau pelanggaran lain oleh para konglomerat, pejabat, dan mantan pejabat yang memiliki perusahaan cangkang di luar negeri.
Selain Luhut, pejabat dan mantan pejabat yang namanya ada dalam Dokumen Panama antara lain Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Airlangga Hartarto dan Johnny G. Plate. Kemudian ada juga Heru Lelono, anggota staf khusus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pekan lalu, tim ini sudah mendata 30 pengusaha dan mantan pejabat dalam daftar Dokumen Panama yang diduga melakukan akrobat pajak. Namun mereka masih menyimpan rapat nama-nama tersebut. Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Muhammad Yusuf, yang ditemui Tempo pada Rabu pekan lalu, pun menolak memberi informasi. "Saya tidak akan membuka nama-nama itu kepada Anda," katanya.
Mustafa Silalahi, Pramono, Rusman Paraqbueq, Yohanes Paskalis, Amirullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo