Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Lompatan Besar Pemburu Teroris

Tito Karnavian dipilih sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian RI. Budi Waseso disebut-sebut menjadi wakil.

20 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASUK, TO," kata Jenderal Badrodin Haiti kepada Komisaris Jenderal Tito Karnavian. Kepala Kepolisian RI ini memanggil Tito yang sedang duduk di ruang tunggu, persis di luar ruang tamunya. Kamis tengah hari pekan lalu, Badrodin menerima kunjungan calon tunggal Kapolri pilihan Presiden Joko Widodo itu di kantornya di Jalan Trunojoyo 1, Jakarta Selatan. Badrodin, yang ketika itu sedang diwawancarai Tempo, menyambut hangat kedatangan Tito. "Ini dia datang," katanya.

Jenderal yang pensiun pada Juli mendatang itu selanjutnya berbincang dengan Tito. Badrodin menyatakan dekat dengan Tito. Menurut Badrodin, ketika ia menjadi Kepala Kepolisian Sektor Sawah Besar, Jakarta, Tito jadi Wakil Kapolsek. Tatkala dia jadi Kepala Kepolisian Daerah Banten, Tito adalah Kepala Kepolisian Sektor Kota Serang. Saat Badrodin bergeser jadi Kapolda Sulawesi Tengah, Tito mendapat tugas khusus menangani konflik Poso. "Pak Tito sudah teruji, jaringan bagus, diterima masyarakat dan kalangan internal kepolisian," kata Badrodin.

Munculnya nama Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme ini mengakhiri polemik tentang calon Kapolri pengganti Badrodin. Sebab, sebelumnya muncul kabar adanya ketegangan antara Presiden Joko Widodo dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam menentukan Kapolri pengganti Badrodin. Seorang pejabat Istana menyatakan desakan kepada Presiden agar memilih Komisaris Jenderal Budi Gunawan menjadi Kapolri sangat kuat. "Tapi ditolak karena Presiden tidak ingin menimbulkan kegaduhan di masyarakat," katanya.

Politikus PDI Perjuangan, Junimart Girsang, menyatakan partainya tidak mencampuri hak prerogatif Presiden dalam memilih calon Kapolri. "PDI Perjuangan kan pendukung utama Presiden," kata Junimart. Budi Gunawan, yang dikenal dekat dengan PDI Perjuangan, memang pernah menjadi calon Kapolri pilihan Jokowi pada Januari tahun lalu, menggantikan Sutarman. Belakangan, Jokowi membatalkan penunjukan itu karena Budi Gunawan menjadi tersangka dugaan suap dan gratifikasi di Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain itu, karena ada penolakan deras dari masyarakat. Sebagai gantinya, Jokowi memilih Badrodin.

Ketika masa jabatan Badrodin segera berakhir, ide memperpanjang masa jabatan Kapolri sempat muncul dari Jokowi. Rencana ini kemudian sempat menimbulkan polemik.

Adalah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Ade Komarudin yang pertama membocorkan isi surat pengajuan calon Kapolri dari Presiden ke DPR, Rabu pekan lalu. DPR pun telah menggelar rapat konsultasi menanggapi surat itu, dan mengumumkan secara resmi pencalonan Tito pada Kamis pekan lalu. Selanjutnya, perwira tinggi yang pernah menjadi Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri ini akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan di depan Komisi Hukum DPR pada Rabu, 22 Juni pekan ini.

Sebenarnya, sebelum terbit nama Tito, Komisi Kepolisian Nasional telah mengajukan tiga nama calon Kapolri. Mereka adalah Budi Gunawan, Kepala Badan Narkotika Nasional Komisaris Jenderal Budi Waseso, dan Inspektorat Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Dwi Priyatno. Sedangkan Tito lulusan tahun 1987. Ia melompat jauh, yakni empat angkatan di atasnya. Bagi Ketua Kompolnas Luhut Binsar Pandjaitan, terpilihnya Tito melalui pertimbangan matang. "Presiden juga mendapat masukan dari Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi Mabes Polri serta dari masyarakat," kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ini.

Kepada Tempo, Tito mengungkapkan detik-detik akhir di balik munculnya nama dia sebagai calon tunggal Kapolri. Menurut Tito, pada Senin pekan lalu, ia dipanggil Menteri-Sekretaris Negara Pratikno ke kantornya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Pratikno menyatakan Presiden telah memilihnya menjadi calon tunggal Kapolri. "Bagaimana, Pak Tito," kata Pratikno, seperti ditirukan Tito.

Menjawab Pratikno, Tito menyampaikan opsi yang ia nilai baik dan tidak akan membuat kalangan internal Polri goyah. Tito menawarkan usul agar Presiden memperpanjang masa jabatan Kapolri Badrodin Haiti dan Wakil Kapolri Budi Gunawan. Pratikno menjelaskan, opsi memperpanjang masa jabatan Badrodin memang sempat muncul. Tapi opsi ini telah menimbulkan polemik. Pratikno berkukuh bahwa Presiden menghendaki Tito sebagai Kapolri.

Pada Rabu pagi, dua hari setelah dipanggil Pratikno, Tito giliran dipanggil Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Dialog dengan muatan yang sama ketika berjumpa dengan Pratikno pun terjadi lagi dengan Pramono. Kepada Tito, Pramono berjanji menyampaikannya ke Presiden. Tito kemudian meninggalkan kantor Pramono di Kompleks Istana Kepresidenan menuju Markas Besar Kepolisian di Kebayoran dengan mobil dinasnya.

Mobil melaju sampai Monas, Tito mendapat panggilan telepon dari Pratikno, yang mengabari bahwa Presiden telah membuat keputusan mengajukannya sebagai Kapolri. "Ini perintah Presiden. Bismillah, laksanakan demi bangsa dan negara," kata Tito, menirukan Pratikno. Ketika Tempo menanyakan ihwal ini, Pramono berkomentar pendek, "Presiden telah mencalonkan Pak Tito." Pratikno tidak menjawab pertanyaan Tempo.

Penjelasan datang dari Jokowi. Menurut dia, pengajuan nama Tito sudah melewati masukan dari masyarakat, Kompolnas, dan Polri. Alasan memilih Tito karena kemampuan dan kecerdasannya. Ia menilai Tito bisa membangun jaringan dengan aparat penegak hukum lain. Ia berharap Tito meningkatkan profesionalisme kepolisian serta memberantas kejahatan narkotik, terorisme, dan korupsi. "Saya yakin beliau mempunyai kompetensi yang baik," kata Jokowi.

Seorang perwira tinggi polisi menyatakan Tito bakal disandingkan dengan Budi Waseso sebagai Wakil Kapolri, menggantikan Budi Gunawan yang akan pensiun pada akhir 2017. Sebenarnya, kata jenderal itu, Tito lebih nyaman jika Budi Waseso sebagai Kapolri dan ia wakilnya. Hanya, rekam jejak Budi Waseso yang kerap keras dalam bertindak membuat Presiden memilih Tito. "Presiden tak ingin Kapolri yang suka gaduh," katanya.

Menanggapi pencalonan Tito, Budi Waseso mengatakan koleganya itu pantas menduduki posisi Kapolri. Menurut dia, Tito merupakan salah satu putra terbaik Polri. "Saya yakin kepolisian akan lebih baik di bawah kepemimpinan Tito," katanya.

Sunudyantoro, Aditya Budiman, Yohanes Paskalis, Dewi Suci Rahayu, Vindry Florentin


Tito Karnavian :
Saya kenal Aguan dan Tomy Winata

KOMISARIS Jenderal Tito Karnavian menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian RI. Pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengajukan nama Tito ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang akan pensiun bulan depan.

Tito mengaku tak bisa menolak perintah Presiden, meski masih banyak seniornya yang berpangkat komisaris jenderal. Alumnus Akademi Kepolisian angkatan 1987 itu melompati empat angkatan di atasnya. "Tapi ini pilihan Presiden dan bagi saya perintah," ujarnya saat berkunjung ke kantor Tempo, Jumat pekan lalu.

Catatan karier penerima bintang Adhi Makayasa-penghargaan sebagai lulusan terbaik Akademi Kepolisian-ini sudah cemerlang sejak awal. Namanya mulai menjadi perhatian saat menangkap Hutomo Mandala Putra, anak Presiden Soeharto, dalam kasus pembunuhan hakim agung Syafiuddin Kartasasmita.

Dalam menangani terorisme, Tito sungguh moncer. Pada 2005, ia bersama tim Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri melumpuhkan teroris Dr Azahari dalam sebuah baku tembak di Batu, Jawa Timur. Empat tahun kemudian, lulusan University of Exeter, Inggris, ini juga berhasil menembak mati pemimpin jaringan teroris Noor Din Mohammad Top.

Dalam perbincangan dengan Tempo, ditemani mantan Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat yang kini menjadi staf ahli Kapolri, Brigadir Jenderal Arif Sulistyanto, Tito bercerita tentang banyak hal, dari hubungannya dengan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan, reformasi Polri, hingga kedekatannya dengan sejumlah taipan.

* * * *

Apa komentar Budi Gunawan setelah tahu Anda menjadi calon Kapolri?

Pak Budi Gunawan menilai keputusan ada di tangan Presiden.

Bagaimana hubungan Anda dengan dia?

Hubungan dengan Pak Budi Gunawan baik. Dengan semua senior, saya berkomunikasi dengan baik. Saya tidak memiliki konflik dengan senior, dengan Pak Badrodin sangat baik, Pak Budi Gunawan berkomunikasi baik, Pak Budi Waseso baik.

Kapan Anda bertemu dengan Budi Gunawan?

Pada saat awal bursa pencalonan Kapolri. Tapi, sejak saya di BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), saya tidak banyak ikut campur. Saya tidak ingin cawe-cawe. Tapi, dalam diskusi bersama Pak BG, saya sampaikan supaya senior-senior (yang maju). Tapi, setelah ada keputusan, ya, saya berdiskusi lagi bahwa ini keputusan Presiden.

Anda sudah bertemu dengan Presiden?

Saya sudah ketemu Presiden setelah diumumkan.

Apa kata Presiden?

Beliau menyampaikan yang utama adalah reformasi internal, supaya polisi lebih dipercaya publik, penegakan hukum yang profesional, dan konsolidasi internal.

Apakah Presiden meminta Anda menangani kegaduhan di lingkup internal Polri?

Berdasarkan survei yang saya baca sendiri, secara umum saya melihat masalah korupsi, sistem rekrutmen, pembinaan karier, pengadaan, dan peningkatan kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) yang lebih stabil.

Kabarnya Anda berbicara dulu tentang pencalonan sebagai Kapolri dengan Luhut Pandjaitan?

Saya sampaikan, lebih baik senior. Ke Pak Badrodin juga.

Kapan itu?

Mungkin tiga minggu sebelumnya. Tapi ini pilihan Presiden dan bagi saya perintah. Loyalitas kami di Polri dan TNI harus kepada presiden.

Untuk menjadi calon Kapolri, harus punya jaringan politik juga. Sebut saja BG. Itu bagaimana?

Pendapat saya obyektif dan kompetensi. Kedua, Polri harus berfokus pada reformasi, penegakan hukum, dan memiliki kedekatan dengan publik. Sepanjang dilakukan menurut kompetensi dan bukan pada kedekatan pribadi, lingkungan akan menerima.

Seberapa cepat perubahan itu dilakukan?

Saya pikir, supaya tidak menimbulkan gejolak yang besar, perubahan dilakukan secara gradual, sambil memperbaiki orang-orang reformis untuk mengisi posisi. Yang paling utama kriteria penilaian, kompetensi, dan keinginan orang untuk melakukan reformasi. Banyak problem juga, termasuk masalah kesejahteraan. Remunerasi Polri kan baru 57 persen, sebelumnya 33 persen pada 2004. Kemudian perumahan Polri 14 persen. Remunerasi Polri harus 100 persen.

Akankah ada perombakan di beberapa simpul, seperti polisi lalu lintas dan reserse kriminal?

Saya ingin, tapi ini organisasi besar. Tidak mungkin dilakukan cepat, revolusioner. Kami ingin perubahan tanpa kegaduhan luar biasa. Pimpinan akan berpengaruh ke bawah. Organisasi besar, begitu digoyang, gejolaknya akan besar.

Nanti jadi ada kasus Labora Sitorus kedua?

Ada aturan internal polisi yang tidak jelas mengenai mekanisme berbisnis. Saat di bawah ABRI, kami ada larangan berbisnis. Tapi, setelah keluar, ada definisi yang rancu mengenai mekanisme berbisnis. Pertama, tidak terlibat pengadaan barang jasa di kepolisian. Kedua, berbisnis yang berpotensi merugikan keuangan negara dan, ketiga, berbisnis tidak boleh bersinggungan dengan tugas dan kewenangannya. Hal ini membuka peluang untuk berbisnis, tapi aturan tidak begitu jelas. Seperti pada kasus Labora Sitorus yang punya dua bisnis, yaitu kayu dan bahan bakar minyak. Nantinya perlu peraturan Kapolri serta pengawasan profesi dan pengamanan untuk menilai boleh-tidaknya berbisnis.

Kapan mekanisme bisnis Polri akan direformasi?

Kalau langsung diubah secara revolusioner, akan timbul gejolak.

Para senior kan banyak yang bermain di tambang, batu bara, dan lain-lain.…

Iya, itu menurut saya yang harus disosialisasi.

Kapan Indonesia memiliki polisi yang revolusioner?

Menurut saya, hal ini harus kita lakukan secepat mungkin karena pemimpin negara sudah memiliki konsep revolusi mental yang perlu dicontoh. Beliau dengan kesederhanaannya menjadi figur. Ya, saya akan melakukan reformasi, tapi perlu waktu.

Bagaimana dengan struktur tunjangan polisi?

Hampir 60 persen porsi anggaran Polri itu untuk gaji. Sedangkan operasionalnya sekitar 20 persen dan 10 persennya untuk belanja modal. Dari komposisi ini, potensi pelanggaran penyalahgunaan wewenang pasti terjadi. Kalau mau ideal, belanja operasional minimal sama atau mendekati dengan belanja pegawai. Saya yakin sebetulnya teman-teman polisi ingin baik. Kalau saya boleh melihat polisi Singapura, gajinya cukup, hidup tenang. Kita juga mau seperti itu.

Reformasi cara berpikir, berkaitan dengan Front Pembela Islam dan Ahmadiyah, itu bagaimana?

Saya pikir ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, melakukan komunikasi dan pendekatan yang lebih banyak dengan kelompok-kelompok seperti ini. Kedua, kalau seandainya komunikasi sudah intens dan kemudian ada pelanggaran hukum, ya, harus kami tindak tegas dan proporsional.

Mengenai hubungan antarlembaga, selama ini ada ketegangan antara Polri dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bagaimana pendekatannya?

Ya, saya ingin membangun komunikasi. Berikan kesempatan kepada Polri untuk melakukan reformasi dan melakukan pembenahan internal. Ada mekanisme sistem pencegahan yang harus kami buat, seperti LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara) dan lainnya.

Soal penyidik, Polri juga akan mendukung KPK?

Pasti akan kami dukung.

Salah satu persoalan yang muncul adalah semacam polisi alergi, terutama menyangkut penyidik KPK, Novel Baswedan. Menurut Anda, seberapa berbahaya orang seperti Novel untuk KPK dan Polri?

Polri ini kan organisasi, korps. Harus dipahami betul di polisi dan TNI memiliki doktrin kebersamaan. Kalau memang tujuannya melakukan reformasi, khususnya budaya antikorupsi di lingkungan kepolisian, yang terbaik adalah memberikan kesempatan kepada polisi untuk mereformasi lingkup internalnya sendiri. Kalau nanti dari luar melakukan itu, resistansi dan soliditas akan menguat dan tinggi. Maka misalnya Pak Novel melakukan itu dan berusaha menargetkan orang di kepolisian, soliditas ini akan muncul. Apalagi sampai korps ini jadi malu dan jatuh wibawanya. Yang dikhawatirkan efeknya tidak terjadi reformasi, tapi malah soliditas untuk resistansi. Itu akan membuat kontraproduktif.

Kalau kasus Djoko Susilo, seberapa besar efeknya untuk pembenahan Polri?

Ada pengaruh pasti untuk melakukan reformasi. Tapi lebih banyak resistansi dan solidaritasnya.

Kalau kasus Djoko Susilo diserahkan ke polisi, apakah akan diusut seperti di KPK?

Pendapat saya, kalau memang ada, ya, harus tetap diproses.

Ke depan penuh dengan masalah. Kasus e-KTP, misalnya, melibatkan banyak tokoh yang berat-berat.…

Berarti ini PR saya. Saya tidak mengikuti kasus ini.

Perlu koordinasi dengan KPK, nih?

Harus, sangat perlu.

Anda sudah melakukan pertemuan dengan tokoh politik agar mulus di Dewan Perwakilan Rakyat?

Saya coba bangun komunikasi saja.

Sudah bertemu dengan Megawati Soekarnoputri ?

Sebagai orang tua, saya tentunya ketemu. Saya ketemu Rabu (15 Juni 2016).

Bagaimana reaksi Megawati?

Ya, ini keputusan Presiden, tentu harus diikuti. Kira-kira begitu.

Anda kan bukan orang lain, ya, buat Megawati?

Saya dengan Megawati tak begitu dekat, ya, tapi saya dekat dengan Pak Taufiq Kiemas. Saya sering menghadap beliau. Saya punya adik, dokter jantung, yang ikut merawat beliau. Orang tua juga memiliki hubungan baik dengan almarhum, teman baik waktu sekolah. Almamaternya sama, SMA 2 Palembang. Saya juga SMA 2.

Bagaimana rencana Anda untuk menjalin hubungan dengan Tentara Nasional Indonesia?

Selama saya di Papua, tidak pernah terjadi konflik antara TNI dan Polri. Di Polda Metro juga tidak ada pertikaian antaranggota karena hubungan (yang baik) dengan pimpinan TNI, pangdam (panglima komando daerah militer), pang armabar (panglima armada RI kawasan barat). Sebulan sekali kami ada pertemuan, apel bersama, makan bersama. Semua anggota dan pimpinan lapangan ketemu. Jadi saya kira mekanismenya adalah komunikasi yang baik, terutama komunikasi di tingkat pimpinan, panglima, KSAD, KSAU, KSAL.

Banyak yang bilang naiknya Anda sebagai calon Kapolri merusak sistem di Polri dan TNI. Tanggapan Anda?

Saya enggak ngerti, kalau itu kan pertimbangan Presiden. Itu adalah perintah dan saya harus melaksanakan.

Sebagai ahli terorisme, Anda akan memprioritaskan penangkapan Santoso?

Iya. Itu akan jadi fokus kami.

Anda yakin Santoso masih di Poso, Sulawesi Tengah?

Sangat yakin. Dia sebenarnya bukan ideolog atau pemikir. Dia petani yang hafal hutan di situ.

Santoso belum ditangkap karena targetnya ditangkap hidup-hidup?

Enggak, hidup atau mati.

Apakah operasi tentara di Poso efektif?

Menurut saya efektif. Jadi problemnya, pada waktu reformasi 1998, ada pemisahan Polri dan TNI. Ketika reformasi, tuntutannya polisi sipil. Semua yang berbau militer ditinggalkan, dikurangi. Kemudian, pada 2002, segala penanganan keamanan dalam negeri ditangani Polri. Padahal medan tidak hanya di kota, tapi juga hutan. Nah, ketika itu kemampuan Brimob jauh menurun untuk beroperasi di gunung.

Apa pengalaman yang paling mengancam nyawa Anda?

Saya diancam sewaktu berhadapan dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Pernah baku tembak selama dua jam di Pegunungan Lanny Jaya ketika saya menjabat kapolda. Dalam kasus teroris, saya menjadi target. Itu sudah kami baca di komunikasi Bahrun Naim (terduga bom Sarinah). Intinya, mereka ingin menangkap saya, terus dipenggal hidup-hidup. Kami langsung melakukan pengamanan masing-masing, cari safe house. Saya pindah-pindah, kecuali waktu jadi Kapolda Papua, rumah saya dekat PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Sewaktu jadi Kepala BNPT cari safe house lagi.

Masa pensiun Anda masih lama. Kalau Anda diganti nanti masih aktif. Bagaimana dengan penggantinya?

Saya berharap tidak akan menjabat sampai akhir masa pensiun. Pertimbangannya agar ada regenerasi. Yang penting harus reformis dan saya berharap usianya lebih muda satu-dua tahun dari saya.

Kalau bicara reformis, ada tidak perbedaan antara lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) dan non-Akpol?

Di Akpol kan ada kultur mempersiapkan yang Akpol jadi pemimpin dan non-Akpol supporting. Tapi tak tertutup kemungkinan non-Akpol memiliki kompetensi bagus. Mereka harus diberi ruang. Kalau bisa, kenapa tidak? Justru bisa untuk memacu lulusan Akpol supaya tak merasa ini hak milik mereka.

Tidak tertutup kemungkinan yang non-Akpol bisa jadi Kapolri?

Bisa, tapi memang ada semacam korsa dan klik. Nah, klik ini terjadi di mana-mana. Jadi di organisasi mana pun pasti ada politik, kepentingan, dan lain-lain. Tapi tak tertutup kemungkinan. Misalnya Pak Anton Soedjarwo kan bukan dari Akpol, bukan dari PTIK, bisa dipilih.

Bagaimana tinjauan Anda untuk kinerja reserse kriminal? Kasus "Cicak Versus Buaya" ramai lagi dengan kriminalisasi dan akhirnya kasusnya tak ke mana-mana karena ada seponering....

Karena itu keputusan politik, kan.

Ada juga kasus Denny Indrayana, yang kabarnya tidak ketemu mens rea-nya dan dilimpahkan ke KPK. Nah, yang begini-begini mau dibereskan?

Saya pikir yang penting membangun komunikasi dengan KPK. Saya juga enggak bisa mengambil keputusan sendiri sebelum mendengar masukan.

Lalu bagaimana problem utama di lingkup internal Polri tentang jenjang karier?

Harus kami benahi sistem jenjang karier. Kalau sistem rekrutmen sudah cukup baik dengan transparansi. Sekarang ini banyak titipan yang tidak lulus.

Tes masuk PTIK juga akan dibenahi?

Harus lebih terbuka. Ini target juga bagi saya untuk dibenahi, kalau saya terpilih.

Anda dianggap represif dan dekat dengan taipan, seperti Tomy Winata (TW) dan Aguan.

Menurut saya, bukan represif, tapi saya menegakkan hukum. Sebenarnya banyak juga langkah persuasif, tapi tak banyak menarik minat media.

Soal Tomy Winata dan Aguan?

Saya kenal ketika di Polda Metro. Sebenarnya bukan hanya TW dan Aguan. Banyak sekali yang lain. Persoalannya, sebagai polisi, saya harus membangun komunikasi dengan banyak komponen. Dengan taipan tadi enggak apa-apa asalkan saya enggak ikutan aneh-aneh.

Kalau polisi dekat dengan TW dan Aguan anggapannya berarti dipelihara?

Enggak. Boleh diceklah itu. Rumah saya rumah dinas sama ada satu rumah di Tulodong, saya masukkan ke LHKPN. Makanya kekayaan saya Rp 10 miliar karena rumah itu. Dulu ada yang mau jual murah, saya enggak punya uang. Saya pinjam Rp 1 miliar, dibayar sepuluh tahun. Tapi rumah itu produktif. Jadi saya bayar utang dari uang sewa Rp 120 juta setahun. Kalau ternyata di tengah jalan macet, saya jual saja karena saat itu nilainya sudah mencapai Rp 2,5 miliar.

Bagaimana kedekatan Anda dengan Gories Mere?

Hubungan dengan beliau lebih banyak hubungan profesional. Beliau menarik saya waktu bom Bali sebagai anggota Satuan Tugas Penanganan Teroris karena sebelumnya saya menangani berbagai kasus bom selama menjabat kasat reskrim di Jakarta, seperti bom di Kedutaan Besar Filipina, BEJ (Bursa Efek Jakarta), dan malam Natal. Saya dianggap pemikir, think tank, dalam satgas itu. Kecintaannya terhadap organisasi luar biasa. Beliau sangat dekat dengan bawahannya dan mau turun ke lapangan. Ini menurut saya positif, bisa jadi panutan.

Jadi Anda dianggap anak emas Gories Mere karena itu?

Saya enggak tahu, tapi saya merasa kedekatan dengan beliau sebatas profesional.

Tito Karnavian
Tempat dan tanggal lahir: Palembang, 26 Oktober 1963 Pendidikan: Sekolah Dasar Xaverius 4, Palembang | Sekolah Menengah Pertama Xaverius 2, Palembang | Sekolah Menengah Atas Negeri 2, Palembang | Akademi Kepolisian (1987) | Master Studi Kepolisian Universitas Exeter, Inggris (1993) l Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (1996) | Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut Selandia Baru (BA) Studi Strategis Universitas Massey, Selandia Baru (1998) | Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian RI, Palembang (2000) | Doktoral di S. Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University, Singapura (2008) Karier: Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri (2009-2010) | Deputi Penindakan dan Pembinaan Kemampuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) (2011-21 September 2012) l Kepala Kepolisian Daerah Papua (21 September 2012-16 Juli 2014) | Asisten Perencanaan dan Anggaran Polri (16 Juli 2014-5 Juni 2015) | Kepala Polda Metro Jaya (5 Juni 2015-Maret 2016) | Kepala BNPT (Maret 2016-sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus