Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang murid nonmuslim di Padang diminta gurunya mengenakan jilbab.
Kasus pemaksaan berkerudung di SMKN 2 Padang disebut sebagai fenomena gunung es.
Guru mengklaim ada murid nonmuslim yang menolak melepaskan jilbab.
PERMINTAAN itu datang kepada Yohanna setelah masa pengenalan murid baru tahun 2015 di Sekolah Menengah Kejuruan Nasional Padang, Sumatera Barat, berakhir. Seorang guru mendatanginya dan meminta dia mengenakan jilbab. “Yohanna, mohon pakaiannya disamakan dengan teman-teman lain, ya,” kata Yohanna mengulangi ucapan guru itu kepada Tempo, Kamis, 18 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di antara 25 siswi di angkatannya, hanya Yohanna yang tak berkerudung. Perempuan beragama Kristen itu sebelumnya tak pernah memakai jilbab saat dia bersekolah di Sekolah Dasar Negeri 24 Parupuk Tabing dan Sekolah Menengah Pertama Angkasa Lanud Padang. Namun Yohanna enggan menolak permintaan gurunya itu. Sehari kemudian, dia mengikuti jejak lima murid nonmuslim di sekolah itu yang telah berjilbab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya dia merasa kikuk karena harus menutup rambut, telinga, dan lehernya dengan lembaran kain. “Tapi lama-lama terbiasa juga,” ujar Yohanna, yang kini berusia 22 tahun. Selama tiga tahun, dia selalu memakai tudung kepala. Barulah pada 2018, setamat sekolah, Yohanna melepas hijabnya.
Tempo belum mendapatkan tanggapan dari SMK Nasional Padang. Pada Kamis, 25 Februari lalu, pegawai tata usaha bernama Yuni meminta Tempo menghubungi sekolah itu lagi esoknya. Namun berkali-kali panggilan telepon ke sekolah itu tak direspons.
Devina Larosa, alumnus SMK Negeri 6 Padang, juga pernah mendapat permintaan serupa. Sejumlah gurunya meminta dia meniru teman-temannya yang hampir semua berkerudung. Gurunya mengatakan dia akan terlihat lebih cantik jika mengenakan jilbab. Tapi ia menganggap pernyataan itu hanya sebagai gurauan. Ia pun tak memenuhi permintaan gurunya.
Menurut Devina, kewajiban berkerudung bagi murid perempuan disampaikan pihak sekolah sejak dia diterima di SMKN 6 Padang. Namun aturan itu tak berlaku untuk mereka yang nonmuslim. Dari 24 siswi di angkatannya, hanya Devina dan seorang kawannya, juga nonmuslim, yang tak berkerudung. “Sejak awal masuk hingga lulus, saya tidak pernah memakai jilbab,” katanya. Walau tak berpenutup kepala, Devina yang pada 2020 lulus dari SMKN 6 Padang mengaku tak pernah mendapat perlakuan berbeda.
Menjelang akhir Januari lalu, mencuat kasus diskriminasi yang dialami Jeni Cahyani Hia, siswi jurusan otomatisasi dan tata kelola perkantoran SMKN 2 Padang. Sekolah itu mewajibkan semua siswinya, termasuk yang bukan muslim, berkerudung. Jeni yang baru mulai belajar tatap muka di sekolah ditegur oleh gurunya karena tak mengenakan jilbab.
Ayah Jeni, Elianu Hia, lalu merekam pembicaraannya dengan wakil kepala sekolah. Ia mencoba menjelaskan bahwa anaknya nonmuslim. Namun sekolah menyatakan kewajiban berkerudung harus dipenuhi semua siswi, baik muslim maupun yang bukan. Belakangan, video rekaman percakapan itu viral.
Kepala SMKN 2 Padang Rusmadi meminta maaf atas peristiwa tersebut. Ia mengklaim aturan penggunaan jilbab untuk siswi nonmuslim tidak bersifat wajib, melainkan imbauan. Guru Sekolah Menengah Atas Negeri 11 Padang, Asmi Yuriana Dewi, mengatakan, di sekolahnya, aturan berjilbab juga tidak wajib untuk mereka yang nonmuslim. Namun, di sekolah itu, tiga siswi yang beragama lain memilih mengenakan kerudung.
Komunitas Pembela Hak Asasi Manusia Sumatera Barat—terdiri atas berbagai organisasi, seperti Lembaga Bantuan Hukum Padang, Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, dan Gusdurian Padang—menilai aturan kewajiban siswi berjilbab ini bermula dari Instruksi Wali Kota Padang Nomor 451.442/BINSOS-III/2005. Isinya, mewajibkan semua murid, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, mengenakan pakaian yang islami. Sedangkan mereka yang nonmuslim diminta menyesuaikan diri dengan aturan tersebut.
Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum Padang Indira Suryani menilai aturan tersebut bermasalah lantaran kata “menyesuaikan” bisa diterjemahkan sebagai keharusan. “Berbeda halnya kalau pakaian itu dikenakan atas keinginan sendiri,” ujarnya.
Menurut Indira, kasus yang terjadi di SMKN 2 Padang dan sejumlah sekolah lain merupakan fenomena gunung es. Berdasarkan catatan LBH Padang, setidaknya ada enam siswi di kota itu yang mengaku terpaksa mengenakan kerudung karena terjerat aturan sekolah. Indira enggan menyebutkan nama murid dan sekolahnya. Ia khawatir terhadap keselamatan dan kesehatan mental murid-murid tersebut. Bahkan ada murid yang mengalami trauma dan enggan keluar dari rumah akibat pemaksaan itu.
Setelah muncul kasus di SMKN 2 Padang, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim serta dua menteri lain, yaitu Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, mengeluarkan surat keputusan bersama yang isinya mencabut aturan diskriminatif. “Esensi SKB ini, peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih seragam mereka,” ucap Nadiem. SKB itu mewajibkan kepala sekolah dan daerah mencabut aturan yang berbau diskriminatif paling lambat 30 hari sejak aturan tersebut diteken pada 3 Februari lalu.
Sekolah dan pemerintah daerah yang tak memenuhi aturan tersebut bakal dikenai sanksi. Sekolah akan mendapat pengurangan dana bantuan operasional sekolah. Sedangkan kepala daerah akan dijatuhi sanksi oleh gubernur atau Menteri Dalam Negeri. Kementerian Pendidikan bersama Komisi Nasional Hak Asasi Manusia serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia berencana melakukan pemantauan ke berbagai sekolah. “Awal Maret ini kami akan turun bersama-sama bagaimana penerapan SKB,” ujar Retno Listyarti, komisioner KPAI.
Namun Sekretaris Daerah Kota Padang Amasrul mengatakan telah mengkaji Instruksi Wali Kota Padang. Hasilnya, tidak ada masalah dalam aturan tersebut. “Tidak ada pemaksaan untuk mereka yang nonmuslim,” kata Amasrul. Ia pun menilai polemik di SMKN 2 Padang telah berakhir karena sekolah membebaskan siswi nonmuslim untuk tak berjilbab.
Pun SKB tiga menteri tak otomatis membuat mereka yang nonmuslim mencopot kerudungnya. Hodril Hamsir, guru SMK 2 Bukittinggi, bercerita, setelah surat keputusan itu keluar, sekolah mempersilakan para siswi nonmuslim mencopot hijab. “Namun mereka tidak mau membuka jilbabnya,” ujar Hodril.
Aktivis Pusat Studi Antar Komunitas, Sudarto Toto, mengatakan aturan yang mewajibkan atau melarang penggunaan jilbab tak boleh ada di negeri ini. Ia heran Provinsi Sumatera Barat seperti menjadikan jilbab sebagai adat istiadat yang harus ditaati. Ia berkaca pada sastrawan Abdul Malik Karim Amrullah atau Hamka dan ulama sekaligus pendiri Partai Masyumi, Mohammad Natsir, yang berasal dari provinsi itu. “Istri mereka hanya mengenakan baju kurung tanpa jilbab,” katanya.
DEVY ERNIS, ANDIKA DESTIKA KHAGEN (PADANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo