DUABELAS kali tepuk tangan panjang terdengar di selang-seling
pidato Presiden Soeharto yang pendek seusai pelantikan. Di dalam
gedung MPR yan penuh, pekan lalu, hadirin bukan cuma nampak
lega telah melakukan tugas memilih kepala negara dengan sangat
lancar. Mereka juga nampak tergugah.
Di depan pesawat televisi di seluruh Indonesia, perasaan yang
sama nampaknya menjalar. Pak Harto mendapat mandat baru, dan
telah mengucapkan pidato yang menggetarkan - justru karena
merendah.
Tanpa bantuan dan dukungan rakyat, menurut Presiden, ia tak akan
dapat berbuat apa-apa. "Sebaliknya," katanya pula, "dengan
dukungan dan bantuan darl semua golongan dan lapisan, maka tidak
ada sungai yang tak dapat kita seberangi, tidak ada samudra yang
tidak dapat kita arungi, tidak ada puncak gunung yang tidak
dapat kita daki, tidak ada badai yang tidak dapat kita lewati."
Hampir tiap kata diucapkan tanpa melambung, khas Pak Harto. Tapi
berbeda dengan banyak pidato resminya, kali ini hampir seluruh
kalimat seakan menJalarkan perasaan yang dalarn. Jarang orang
menyambut pidato Presiden Indonesia yan telah bekerja sejak
1968 ini dengan tepuk tangan berkali-kali dan perasaan bergetar
seperti di hari itu. Pak Harto, yang dikenal tak suka retorika,
seorang pekerja pendiam dan peabat yang tekun, ternyata mampu
menggugah, dengan caranya sendiri.
Mungkin karena makin lama makm luas kalangan masyarakat yang
memahami dan menghargai - gaya kepemimpinannya. Dan melalui
proses itu, Pak Harto makin lama makin akrab dalam kesadaran
seharihari banyak orang. Ia tak sekadar pejabat, yang mengelola
seperangkat aparatur. Ia juga pemimpin seluruh bangsa, seorang
"bapak".
"Pak Harto," kata seorang anggota lembaga negara tertinggi yang
mengikuti kepresidenan Soeharto sejak 1968, "tidak lagi pemimpin
dari jenis administrator saja, namun juga telah jadi pembangun
solidaritas."
Memang, pemimpin dari jenis administrator, seperti Bung Hatta
dulu, agaknya harus muncul di tahun-tahun awal Orde Baru.
Setelah Presiden Soeharto - dengan kepribadiannya yang penuh
warna-warni, dengan gaya kepemimpinannya yang sering
kontroversial - Indonesia waktu itu sangat memerlukan gerak yang
lebih tertib.
Pak Harto dengan tepatnya memenuhi kebutuhan zaman yang seperti
itu. Ucapan dan tindakannya tak pernah mengejutkan. Semua jalan
seperti dengan teliti ditimbang-timbang. Setiap langkah dijaga
akibat-akibatnya yang mungkin. Pada umumnya, garis yang diambil
merupakan jalan tengah yang moderat. Bahkan di masa anti-Orde
Lama meluap, tak semua hal dari Orde itu serta merta
dicampakkan.
Dalam politik luar negeri, umpamanya. Meskipun Orde Baru
bersifat antikomunis, dan pekik antikomunisme di dalam
masyarakat cukup keras, Indonesia di bawah Presiden Soeharto
tetap memelihara hubungan baik dengan Hanoi. Meskipun gerakan
Non-Blok menjengkelkan, ketika banyak dipengaruhi Kuba yang
pro-Soviet, Indonesia toh tetap tak ambil langkah keluar.
Untuk politik dalam negeri, pola yang sama terasa:
ditinggalkannya "demokrasi terpimpin" tidak dengan serta merta
diganti dengan kehidupan politik yang penuh kebebasan. Orde
Baru, meniti suatu jembatan yang sulit antara perlunya
ketertiban dan dinamika, justru selalu cenderung menyerukan
hati-hati dengan kebebasan.
Di suatu saat memang dinamika seperti mati angin. Tapi cocok
dengan sikapnya yang moderat, di masa Orde Baru ini kebebasan
nampaknya tak hendak ditekan sampai kering. Hanya tekanannya
berbeda dari masa ke masa: kadang enak, kadang teramat berat.
Yang banyak diakui sebagai contoh sukses gaya moderat ini ialah
cara pemanfaatan uang minyak. Ketika hasil penjualan minyak bumi
meningkatkan dengan cepat sumber keuangan negara, memang ada
keinginan buat cepat-cepat membangun apa saja. Ini misalnya
terjadi ketika Pertamina di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo.
Tapi Ibnu dengan tanpa banyak keributan oleh Presiden diganti.
Dan sekali lagi terbukti: cara berhati-hati dalam perkara ini
telah menyelamatkan Indonesia, ketika harga minyak kemudian
turun. Seperti kata seorang ahli ilmu politik tentang Indonesia,
"kecuali krisis Pertamina dulu, Indonesia tidak sampai seperti
Iran yang menggunakan minyak untuk pembangunan militer juga
tidak seperti Meksiko yang akhirnya terjerat utang."
Walhasil, dengan sikap serba tidak ekstrim atau radikal ini,
Indonesia selama 15 tahun terakhir menyaksikan masa yang lain.
Sulit untuk disangkal bahwa dalam masa 15 tahun itu pembangunan
telah menghasilkan banyak hal dalam skala yang belum pernah
terjadi selama sejarah Indonesia.
Memang masih banyak kemiskinan, juga ketidakadilan - suatu hal
yan disebut sendiri oleh Presiden ketika berpidato tanpa teks
di saat perpisahan dengan Dewan Pertimbangan Agung dua pekan
yang lalu. Tapi bagaimanapun kelak para ahli sejarah akan
mencatat periode Soeharto sebagai salah satu periode yang paling
sukses.
Dan itu tak cuma terdapat dalam hal-hal fisik saja. Berapa pun,
ada kaitan antara hal fisik seperti jembatan dan bendungan
dengan hal-hal lain. Prasarana yang kian baik menghidupkan
perekonomian. Dan perekonomian yang hidup menghasilkan suatu
kemampuan, misalnya manajemen dan kepemimpinan di bidang usaha.
Kemakmuran pula yang kini menyebabkan - untuk menyebut cuma satu
hal - banyaknya buku ditulis dan diterbitkan, dan kreativitas
diberi landasan berangkat.
Tak kurang dari itu ialah dibangunnya lembaga-lembaga negara
secara teratur. Ada hasilnya yang sangat penting sehubungan
dengan itu. Meskipun beberapa kali terjadi kerusuhan besar, pada
umumnya Indonesia di masa Orde Baru dapat dikatakan tak terancam
berantakan. Tak ada lagi usaha kudeta atau penculikan bahkan
Dembunuhan pemimpin. Tak ada pula usaha pemberontakan yang
menjurus jadi perang saudara seperti di masa lampau.
Seperti dikatakan oleh Prof. Dr. William Liddle, seorang guru
besar Amerika yang banyak melakukan penelitian ilmu politik di
Indonesia, "proses nation building memang telah berjalan di
Indonesia sejak masa pergerakan nasional, tapi proses
state-building baru dilakukan dengan seksama oleh Orde Baru."
Dengan prestasi yang mengesankan selama 15 tahun, tidak berarti
tak ada masalah tertinggal. Sebuah bangsa memang tak pernah
ditakdirkan untuk berhenti menghadapi masalah. Pembangunan
berhasil memecahkan sejumlah persoalan, menembus sederetan
kebekuan, tapi pada gilirannya juga menimbulkan problem-problem
baru.
Kemakmuran yang mulai dicicipi secar? luas menyebabkan tuntutan
semakin tingg pula. Terutama dari suatu generasi baru yang tak
pernah bisa membandingkan zaman sulit Orde Lama dan sebelumhya.
Dan dalam komposisi penduduk Indonesia, generasi muda itu
merupakan kelompok yang terbesar. Mereka lebih banyak keininan,
dan lebih deras pula tekanannya kebutuhan lapangan kerja.
Sementara itu, sumber-sumber dana buat pembangunan yang datang
dari minyak tidak dapat diharapkan akan semudah dulu.
Ketidakpuasan, yang tak dapat dihapuskan oleh pemerintah mana
sala dan di mana saja, dapat saja melonjak-lonjak. Dalam
menghadapi keadaan seperti itu Indonesia masih beruntung: ada
suatu pemerintah dan pemimpin yang berpengalaman dan telah
menanamkan wibawanya ke bawah.
Soalnya kemudian tinggal bagaimana yang di bawah itu bisa merasa
ikut. Agaknya masalah ini banyak jadi perhatian, dan harapan,
para peserta maupun analis kehidupan politik di Indonesia.
Pokok pembicaraan yang utama ialah bagaimana, untuk memakai
kata-kata Prof. Liddle, state-building yang berhasil dengan
sistem hirarkis selama ini akan dikembangkan dengan "membuka
kesempatan lebih luas bagi partisipasi masyarakat." Ada
perkiraan, bahwa dengan berlakunya asas tunggal Pancasila, soal
ideologi kemudian tak jadi issue politik - dan partisipasi yang
lebih luas tak akan lagi merupakan bahaya.
Ada juga perkiraan, bahwa bagaimanapun juga partisipasi seperti
itu diperlukan untuk efektivitas pembangunan leblh lanjut.
Pemerintah toh, seperti di negara berkembang mana pun juga,
selalu terbukti gagal bila hanya mengandalkan birokrasinya
sendiri. Birokrasi bagaimanapun juga memerlukan pengawasan, dan
itu tak mudah untuk dilakukannya sendiri.
Bagaimana nanti arahnya, Presiden Soeharto tentu tidak akan
terburu-buru. Dan sampai pekan ini, perhatian khalayak politik
di Indonesia tentu belum ke arah masa dua sampai lima tahun
mendatang. Bisik-bisik terutama berkisar bagaimana susunan
kabinet di masa jabatan 1983-1988 ini.
Yang nampaknya kian jelas, menurut pelbagai sumber, ialah
perbaikan struktur kabinet bakal diadakan. Tidak ada lagi
jabatan "menteri muda", yang memang sering mengesankan adanya
dualisme dalam beberapa departemen. Soal pengawasan pembangunan
misalnya juga digabung daam tugas departemen yang lebih cocok
untuk memeriksa anggaran - yakni departemen keuangan.
Perubahan personalia tentu saja terjadi. Menurut informasi yang
dikumpulkan sampai Senin malam pelsan ini - hanya beberapa janl
sebelum Preside!l mengumumkannya secara resmi Rabu kemarin --
beberapa nama bam muncul, dan nama lama pergi. Namun barangkali
khas Pak Harto juga bahwa perubahan ini masih menunjukkan
kontinyuitas dari yang lama. Sebaiknya kita memang jangan mudah
kaget.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini