Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dengan mandat baru dan kabinet baru mandat baru

Pribadi dan kepemimpinan pak harto, yang untuk ketiga kalinya mendapat mandat dari dpr hasil pemilu, sebagai presiden. (nas)

19 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUABELAS kali tepuk tangan panjang terdengar di selang-seling pidato Presiden Soeharto yang pendek seusai pelantikan. Di dalam gedung MPR yan penuh, pekan lalu, hadirin bukan cuma nampak lega telah melakukan tugas memilih kepala negara dengan sangat lancar. Mereka juga nampak tergugah. Di depan pesawat televisi di seluruh Indonesia, perasaan yang sama nampaknya menjalar. Pak Harto mendapat mandat baru, dan telah mengucapkan pidato yang menggetarkan - justru karena merendah. Tanpa bantuan dan dukungan rakyat, menurut Presiden, ia tak akan dapat berbuat apa-apa. "Sebaliknya," katanya pula, "dengan dukungan dan bantuan darl semua golongan dan lapisan, maka tidak ada sungai yang tak dapat kita seberangi, tidak ada samudra yang tidak dapat kita arungi, tidak ada puncak gunung yang tidak dapat kita daki, tidak ada badai yang tidak dapat kita lewati." Hampir tiap kata diucapkan tanpa melambung, khas Pak Harto. Tapi berbeda dengan banyak pidato resminya, kali ini hampir seluruh kalimat seakan menJalarkan perasaan yang dalarn. Jarang orang menyambut pidato Presiden Indonesia yan telah bekerja sejak 1968 ini dengan tepuk tangan berkali-kali dan perasaan bergetar seperti di hari itu. Pak Harto, yang dikenal tak suka retorika, seorang pekerja pendiam dan peabat yang tekun, ternyata mampu menggugah, dengan caranya sendiri. Mungkin karena makin lama makm luas kalangan masyarakat yang memahami dan menghargai - gaya kepemimpinannya. Dan melalui proses itu, Pak Harto makin lama makin akrab dalam kesadaran seharihari banyak orang. Ia tak sekadar pejabat, yang mengelola seperangkat aparatur. Ia juga pemimpin seluruh bangsa, seorang "bapak". "Pak Harto," kata seorang anggota lembaga negara tertinggi yang mengikuti kepresidenan Soeharto sejak 1968, "tidak lagi pemimpin dari jenis administrator saja, namun juga telah jadi pembangun solidaritas." Memang, pemimpin dari jenis administrator, seperti Bung Hatta dulu, agaknya harus muncul di tahun-tahun awal Orde Baru. Setelah Presiden Soeharto - dengan kepribadiannya yang penuh warna-warni, dengan gaya kepemimpinannya yang sering kontroversial - Indonesia waktu itu sangat memerlukan gerak yang lebih tertib. Pak Harto dengan tepatnya memenuhi kebutuhan zaman yang seperti itu. Ucapan dan tindakannya tak pernah mengejutkan. Semua jalan seperti dengan teliti ditimbang-timbang. Setiap langkah dijaga akibat-akibatnya yang mungkin. Pada umumnya, garis yang diambil merupakan jalan tengah yang moderat. Bahkan di masa anti-Orde Lama meluap, tak semua hal dari Orde itu serta merta dicampakkan. Dalam politik luar negeri, umpamanya. Meskipun Orde Baru bersifat antikomunis, dan pekik antikomunisme di dalam masyarakat cukup keras, Indonesia di bawah Presiden Soeharto tetap memelihara hubungan baik dengan Hanoi. Meskipun gerakan Non-Blok menjengkelkan, ketika banyak dipengaruhi Kuba yang pro-Soviet, Indonesia toh tetap tak ambil langkah keluar. Untuk politik dalam negeri, pola yang sama terasa: ditinggalkannya "demokrasi terpimpin" tidak dengan serta merta diganti dengan kehidupan politik yang penuh kebebasan. Orde Baru, meniti suatu jembatan yang sulit antara perlunya ketertiban dan dinamika, justru selalu cenderung menyerukan hati-hati dengan kebebasan. Di suatu saat memang dinamika seperti mati angin. Tapi cocok dengan sikapnya yang moderat, di masa Orde Baru ini kebebasan nampaknya tak hendak ditekan sampai kering. Hanya tekanannya berbeda dari masa ke masa: kadang enak, kadang teramat berat. Yang banyak diakui sebagai contoh sukses gaya moderat ini ialah cara pemanfaatan uang minyak. Ketika hasil penjualan minyak bumi meningkatkan dengan cepat sumber keuangan negara, memang ada keinginan buat cepat-cepat membangun apa saja. Ini misalnya terjadi ketika Pertamina di bawah kepemimpinan Ibnu Sutowo. Tapi Ibnu dengan tanpa banyak keributan oleh Presiden diganti. Dan sekali lagi terbukti: cara berhati-hati dalam perkara ini telah menyelamatkan Indonesia, ketika harga minyak kemudian turun. Seperti kata seorang ahli ilmu politik tentang Indonesia, "kecuali krisis Pertamina dulu, Indonesia tidak sampai seperti Iran yang menggunakan minyak untuk pembangunan militer juga tidak seperti Meksiko yang akhirnya terjerat utang." Walhasil, dengan sikap serba tidak ekstrim atau radikal ini, Indonesia selama 15 tahun terakhir menyaksikan masa yang lain. Sulit untuk disangkal bahwa dalam masa 15 tahun itu pembangunan telah menghasilkan banyak hal dalam skala yang belum pernah terjadi selama sejarah Indonesia. Memang masih banyak kemiskinan, juga ketidakadilan - suatu hal yan disebut sendiri oleh Presiden ketika berpidato tanpa teks di saat perpisahan dengan Dewan Pertimbangan Agung dua pekan yang lalu. Tapi bagaimanapun kelak para ahli sejarah akan mencatat periode Soeharto sebagai salah satu periode yang paling sukses. Dan itu tak cuma terdapat dalam hal-hal fisik saja. Berapa pun, ada kaitan antara hal fisik seperti jembatan dan bendungan dengan hal-hal lain. Prasarana yang kian baik menghidupkan perekonomian. Dan perekonomian yang hidup menghasilkan suatu kemampuan, misalnya manajemen dan kepemimpinan di bidang usaha. Kemakmuran pula yang kini menyebabkan - untuk menyebut cuma satu hal - banyaknya buku ditulis dan diterbitkan, dan kreativitas diberi landasan berangkat. Tak kurang dari itu ialah dibangunnya lembaga-lembaga negara secara teratur. Ada hasilnya yang sangat penting sehubungan dengan itu. Meskipun beberapa kali terjadi kerusuhan besar, pada umumnya Indonesia di masa Orde Baru dapat dikatakan tak terancam berantakan. Tak ada lagi usaha kudeta atau penculikan bahkan Dembunuhan pemimpin. Tak ada pula usaha pemberontakan yang menjurus jadi perang saudara seperti di masa lampau. Seperti dikatakan oleh Prof. Dr. William Liddle, seorang guru besar Amerika yang banyak melakukan penelitian ilmu politik di Indonesia, "proses nation building memang telah berjalan di Indonesia sejak masa pergerakan nasional, tapi proses state-building baru dilakukan dengan seksama oleh Orde Baru." Dengan prestasi yang mengesankan selama 15 tahun, tidak berarti tak ada masalah tertinggal. Sebuah bangsa memang tak pernah ditakdirkan untuk berhenti menghadapi masalah. Pembangunan berhasil memecahkan sejumlah persoalan, menembus sederetan kebekuan, tapi pada gilirannya juga menimbulkan problem-problem baru. Kemakmuran yang mulai dicicipi secar? luas menyebabkan tuntutan semakin tingg pula. Terutama dari suatu generasi baru yang tak pernah bisa membandingkan zaman sulit Orde Lama dan sebelumhya. Dan dalam komposisi penduduk Indonesia, generasi muda itu merupakan kelompok yang terbesar. Mereka lebih banyak keininan, dan lebih deras pula tekanannya kebutuhan lapangan kerja. Sementara itu, sumber-sumber dana buat pembangunan yang datang dari minyak tidak dapat diharapkan akan semudah dulu. Ketidakpuasan, yang tak dapat dihapuskan oleh pemerintah mana sala dan di mana saja, dapat saja melonjak-lonjak. Dalam menghadapi keadaan seperti itu Indonesia masih beruntung: ada suatu pemerintah dan pemimpin yang berpengalaman dan telah menanamkan wibawanya ke bawah. Soalnya kemudian tinggal bagaimana yang di bawah itu bisa merasa ikut. Agaknya masalah ini banyak jadi perhatian, dan harapan, para peserta maupun analis kehidupan politik di Indonesia. Pokok pembicaraan yang utama ialah bagaimana, untuk memakai kata-kata Prof. Liddle, state-building yang berhasil dengan sistem hirarkis selama ini akan dikembangkan dengan "membuka kesempatan lebih luas bagi partisipasi masyarakat." Ada perkiraan, bahwa dengan berlakunya asas tunggal Pancasila, soal ideologi kemudian tak jadi issue politik - dan partisipasi yang lebih luas tak akan lagi merupakan bahaya. Ada juga perkiraan, bahwa bagaimanapun juga partisipasi seperti itu diperlukan untuk efektivitas pembangunan leblh lanjut. Pemerintah toh, seperti di negara berkembang mana pun juga, selalu terbukti gagal bila hanya mengandalkan birokrasinya sendiri. Birokrasi bagaimanapun juga memerlukan pengawasan, dan itu tak mudah untuk dilakukannya sendiri. Bagaimana nanti arahnya, Presiden Soeharto tentu tidak akan terburu-buru. Dan sampai pekan ini, perhatian khalayak politik di Indonesia tentu belum ke arah masa dua sampai lima tahun mendatang. Bisik-bisik terutama berkisar bagaimana susunan kabinet di masa jabatan 1983-1988 ini. Yang nampaknya kian jelas, menurut pelbagai sumber, ialah perbaikan struktur kabinet bakal diadakan. Tidak ada lagi jabatan "menteri muda", yang memang sering mengesankan adanya dualisme dalam beberapa departemen. Soal pengawasan pembangunan misalnya juga digabung daam tugas departemen yang lebih cocok untuk memeriksa anggaran - yakni departemen keuangan. Perubahan personalia tentu saja terjadi. Menurut informasi yang dikumpulkan sampai Senin malam pelsan ini - hanya beberapa janl sebelum Preside!l mengumumkannya secara resmi Rabu kemarin -- beberapa nama bam muncul, dan nama lama pergi. Namun barangkali khas Pak Harto juga bahwa perubahan ini masih menunjukkan kontinyuitas dari yang lama. Sebaiknya kita memang jangan mudah kaget.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus