Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Tim Advokasi Sebut 161 Pendemo Ditangkap saat Aksi Tolak RUU TNI

Pembahasan RUU TNI diwarnai unjuk rasa penolakan. Aparat dianggap melakukan kekerasan dalam menangani pengunjuk rasa.

10 April 2025 | 16.55 WIB

Mahasiswa bersama koalisi sipil melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Dalam aksinya mahasiswa dan koalisi sipil menyerukan tiga tuntutan yang berisi seruan Indonesia Gelap, tuntutan pencabutan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI, serta penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau RUU Polri. Tempo/Martin Yogi Pardamean
Perbesar
Mahasiswa bersama koalisi sipil melakukan aksi demonstrasi di depan gedung DPR RI, Jakarta, 27 Maret 2025. Dalam aksinya mahasiswa dan koalisi sipil menyerukan tiga tuntutan yang berisi seruan Indonesia Gelap, tuntutan pencabutan revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI, serta penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau RUU Polri. Tempo/Martin Yogi Pardamean

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyebut 83 orang luka-luka dan 161 orang ditangkap dalam aksi penolakan RUU TNI yang berlangsung pada dua periode, yakni 15-20 Maret dan 21-28 Maret 2025. TAUD juga melaporkan ada 18 jurnalis yang juga menjadi korban kekerasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Korban kekerasan tidak hanya dari kalangan demonstran, tapi juga jurnalis yang sedang menjalankan tugas peliputan,” kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI Zainal Arifin dalam konferensi pers di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Kamis, 10 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menyebut sebagian korban harus menanggung sendiri biaya pemulihan atas luka-luka yang dialami. “Beberapa bisa mengakses bantuan dari masyarakat sipil, tapi mayoritas tidak,” ujarnya.

Anggota Divisi Hukum KontraS Muhammad Yahya Ihyaroza mengatakan pola kekerasan ini bukan hal baru. Mereka juga telah berupaya mengadvokasi dan mendesak agar laporan tersebut ditindaklanjuti. Mereka berharap ada mekanisme hukum untuk aparat yang melakukan kekerasan terhadap massa yang menyuarakan aspirasi di jalan

“Sejak 2019 hingga 2024, kami sudah beberapa kali menyerahkan data pemantauan ke Komnas HAM dan Kompolnas, tapi belum pernah ditindaklanjuti secara serius,” ujarnya.

KontraS dan YLBHI, kata Yahya, berencana mendorong lembaga-lembaga negara seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, dan Kompolnas untuk segera menyelidiki dan mengambil tindakan atas pola kekerasan ini. Mereka juga tengah mempertimbangkan upaya hukum berupa litigasi strategis untuk memberi tekanan kepada aparat.

“Sudah waktunya kita bersuara tegas: hentikan kekerasan terhadap mahasiswa dan rakyat yang menyuarakan pendapatnya,” kata Zainal.

Selain kekerasan fisik, KontraS menyoroti penggunaan aparat berpakaian preman dalam penangkapan massa aksi, bahkan ada yang membawa senjata api ke tengah kerumunan. “Ini provokatif dan kerap jadi pemicu kekacauan,” ujar Yahya. Dalam beberapa kasus, kata dia, massa aksi ditangkap setelah demonstrasi berakhir, tanpa surat pemanggilan atau penangkapan.

Menurut Yahya, tindakan semacam itu merupakan bentuk maladministrasi dan malprosedural oleh aparat penegak hukum. “Kami akan membawa laporan ini ke Ombudsman RI untuk diuji sebagai bagian dari kegagalan pelayanan publik,” ujarnya.

Seperti diketahui, pembahasan Rancangan Undang-Undang TNI oleh DPR dan pemerintah diwarnai unjuk rasa penolakan oleh mahasiswa dan masyarakat sipil. Di antara alasan penolakan adalah RUU tersebut dianggap bisa mengembalikan dwifungsi TNI, layaknya era Orde Baru. Namun DPR tetap membahas RUU tersebut dan mengesahkannya dalam sidang paripurna yang digelar pada Kamis, 20 Maret 2025.

Dinda Shabrina

Lulusan Program Studi Jurnalistik Universitas Esa Unggul Jakarta pada 2019. Mengawali karier jurnalistik di Tempo sejak pertengahan 2024.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus