Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Demokrat menolak pembahasan RUU Cipta Kerja dibawa ke rapat paripurna. Penolakan itu disampaikan dalam rapat Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Tingkat I dengan Pemerintah di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) pada Sabtu malam, 3 Oktober 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Fraksi Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, menilai masih banyak hal di dalam RUU Cipta Kerja yang perlu dibahas kembali secara mendalam dan komprehensif. “Kami menyarankan pembahasan yang lebih utuh melibatkan stakeholder yang berkepentingan,” ujar dia dalam rapat tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pidatonya, Hinca menyebutkan ada beberapa catatan yang mendasari penolakan fraksinya. Berikut adalah 5 catatan Partai Demokrat yang Tempo rangkum:
1. Tak ada nilai urgensi
Fraksi Partai Demokrat berpendapat RUU Cipta Kerja tak memiliki nilai urgensi di tengah krisis pandemi. Menurut Hinca, prioritas pemerintah saat ini harusnya adalah penanganan pandemi, khususnya menyelamatkan warganya, memutus penyebaran Covid-19, dan memulihkan ekonomi rakyat.
Ia mengutip survei yang dilakukan oleh World Economic Forum tahun 2017 yang menyatakan masalah ketenagakerjaan bukan persoalan utama yang menghalangi masuknya investasi asing ke Indonesia. Menurut Hinca, survei itu menyatakan tiga faktor utama adalah korupsi, birokrasi pemerintah yang tak efisien, dan akses keuangan. Masing-masing memiliki skor 13,8; 11,1; dan 9;2. “Masalah ketenagakerjaan ada pada peringkat 13 dari 16 persoalan dengan skor 4,0,” tutur dia.
Hal itu menunjukkan bahwa rumusan RUU Cipta kerja tak relevan dengan permasalahan investasi di Indonesia. Laporan Bank Dunia, kata Hinca, yang berjudul Indonesia Economic Prospects: The Long Road to Recovery pada Juli 2020 menyatakan RUU Cipta Kerja justru berpotensi merugikan perekonomian Indonesia. “Termasuk dari sisi ketenagakerjaan dan lingkungan,” kata Hinca.
2. RUU Cipta Kerja membahas beberapa perubahan UU sekaligus.
Karena cakupannya yang luas, pembahasan RUU Cipta Kerja, kata Hinca, perlu dicermati secara hati-hati dan mendalam, terutama terkait hal yang fundamental menyangkut kepentingan masyarakat. Terlebih, lanjut dia, masyarakat kini sangat membutuhkan keberpihakan dari negara dan pemerintah dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Menurut Hinca, bukannya menghasilkan aturan yang komprehensif, pembahasan yang terburu-buru justru dapat menghasilkan aturan yang serampangan, tumpang tindih, dan melawan logika akal sehat masyarakat. “Tidak bijak jika kita memaksakan proses perumusan aturan perundang-undangan yang sedemikian kompleks ini secara terburu-buru,” ucap dia.
3. Kepentingan pekerja tak boleh diabaikan
RUU Cipta kerja di satu sisi, kata Hinca, dapat mendorong investasi dan menggerakkan perekonomian nasional. Namun, di sisi lain, hak dan kepentingan pekerja menurut Hinca tak boleh diabaikan. Ia mengatakan bahwa RUU Cipta kerja berpotensi mengesampingkan hak dan kepentingan kaum pekerja.
Padahal, Hinca mengatakan masyarakat menghendaki hadirnya UU di bidang investasi dan ekonomi yang dapat memastikan kebaikan dan keuntungan yang mencerminkan keadilan, baik dunia usaha maupun kaum pekerja. Kaum penganggur, kata dia, juga diharapkan memiliki peluang untuk mendapatkan pekerjaan.
Namun, menurut Hinca, sejumlah pemangkasan aturan perizinan, penanaman modal, ketenagakerjaan, dan lain-lain yang diatasnamakan reformasi birokrasi dan peningkatan tata kelola pemerintahan justru berpotensi menjadi hambatan hadirnya pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
4.RUU Cipta Kerja mencerminkan bergesernya semangat pancasila
Munculnya RUU Cipta Kerja menurut Hinca justru menggeser semangat sila keadilan sosial pada Pancasila ke arah ekonomi yang cenderung kapitalis dan neo-liberalis. Negara, kata dia, wajib menghadirkan relasi antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah yang harmonis untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan sesuai amanah para pendiri bangsa.
“Seperti yang diamanahkan dalam konstitusi kita, di Bab 14 Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, ekonomi yang bernafaskan Pancasila menghendaki pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, prinsip efisiensi berkeadilan, atau sesungguhnya adalah ekonomi pasar yang berkeadilan,” tutur Hinca.
5.RUU Cipta kerja cacat prosedur
Partai Demokrat beranggapan selain cacat substansi, RUU Cipta Kerja juga cacat prosedur. Menurut Hinca, mereka menilai proses pembahasan hal krusial dalam RUU Cipta kerja ini kurang transparan dan akuntabel. Pembahasan RUU Cipta Kerja, kata dia, tak banyak melibatkan elemen masyarakat, pekerja, dan jaringan masyarakat sipil. “Yang akan menjaga ekosistem ekonomi dan keseimbangan relasi Tripartit, antara pengusaha, pekerja, dan pemerintah,” kata Hinca.
Selain Partai Demokrat, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menolak penetapan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Sisanya, tujuh fraksi lain, menyetujui pembahasan RUU Cipta Kerja dibawa ke rapat paripurna. Beberapa dengan catatan, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang hadir dalam rapat menerima catatan dan kritik dari Partai Demokrat dan PKS. Dirinya mengatakan terbuka untuk berdialog soal RUU Cipta Kerja. “Kami bisa menjelaskan. Apabila diperlukan, kami siap hadir di Fraksi PKS atau Partai Demokrat sambil kita menunggu rapat paripurna,” ujar dia.