Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Wacana Pilkada Balik Lagi ke DPRD, Pengamat Unpad: Jangan Semata-mata Efisiensi Anggaran

Pengamat politik dari Unversitas Padjajaran Caroline Paskarina menyarankan pemerintah membuka ruang-ruang diskusi publik untuk meramu ide Pilkada.

20 Desember 2024 | 18.22 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Caroline Paskarina, mengatakan wacana pemilihan kepala daerah atau pilkada oleh DPRD jangan hanya didasari pertimbangan dari sisi efisiensi keuangan, tapi juga dari sisi kualitas demokrasinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Misalnya, apakah dengan biaya lebih hemat tersebut bisa menghasilkan pemerintahan yang lebih legitimate?,” kata Caroline kepada Tempo ketika dihubungi pada Kamis, 19 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Caroline menyinggung soal penerapan sistem pilkada tidak langsung yang pernah diterapkan pada masa orde lama dan orde baru. Dia menilai saat itu proses pilkada melalui DPRD tidak berdampak baik pada kualitas demokrasi. Hal ini karena sistem yang tertutup dan elitis menyebabkan publik tidak punya akses untuk mengontrol prosesnya maupun memilih kandidatnya.

Lebih lanjut, kata Caroline, semestinya wacana yang ada semestinya tidak terbatas soal mekanisme pemilihannya, tapi juga mencakup pembenahan sistem kepemiluannya secara menyeluruh. Dia mengungkap telah ada sejumlah studi yang dilakukan oleh akademisi maupun organisasi sipil yang membahas berbagai kemungkinan sistem pemilihan. Oleh karena itu, Caroline menyarankan pemerintah membuka ruang-ruang diskusi publik untuk meramu hal ini.

“Sebaiknya usulan Presiden Prabowo segera ditindaklanjuti oleh kementerian terkait dan KPU dengan membuka ruang-ruang diskusi publik dengan berbagai stakeholders agar muncul gagasan-gagasan terbaik untuk perbaikan penyelenggaraan pilkada dan pemilu,” jelas Kepala Departemen Ilmu Politik Unpad itu.

Dia menuturkan dampak dari mekanisme pemilihan perlu menjadi pertimbangan utama.  Misalnya soal legitimasi pemerintahan, kontrol DPRD terhadap pemerintah, kesesuaian dengan aspirasi publik, hingga sinergitas dengan kebijakan-kebijakan pusat dan daerah.  Selain itu, adanya ekses negatif saat pilkada dipilih DPRD seperti politik uang di kalangan anggota dewan, proses kandidasi yang cenderung tertutup, dan proses pemilihan yang elitis karena minimnya pelibatan publik juga penting untuk diperhatikan.

“Perlu dikaji dulu akar masalahnya, jika ekses negatif dari pilkada langsung yang dianggap menyebabkan biaya menjadi mahal itu adalah soal politik uang kepada pemilih, maka solusinya bisa pendidikan politik yang lebih baik untuk masyarakat, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan, dan seterusnya. Jika masalahnya beban anggaran penyelenggara yang tinggi, maka solusinya bisa berupa penyederhanaan mekanisme,” jelasnya.

Sebelumnya, Isu perubahan sistem pilkada dari pemilihan langsung ke pemilihan di DPRD disampaikan Prabowo saat berpidato dalam perayaan ulang tahun Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 12 Desember 2024. Acara ini dihadiri ketua umum partai politik pendukung pemerintahan Prabowo.

Prabowo mengeluhkan anggaran negara ataupun biaya politik pasangan calon yang dihabiskan dalam pilkada langsung. “Sekali memilih anggota DPR-DPRD, ya, sudah DPRD itulah (yang) memilih gubernur, bupati, wali kota,” kata Prabowo.

“Begitu banyak ketua umum partai malam ini (yang hadir), sebetulnya bisa kita putuskan malam ini juga,” tambahnya.

Hatta Muara Bagja berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Mahfud MD: Kepala Daerah alias Pilkada dipilih DPRD Membuat Korupsi Lebih Terbatas

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus