RUANGAN itu berukuran kira-kira 3 x 2« meter. Gelap, tanpa
jendela, merupakan ruang belakang sebuah rumah, di sebuah lorong
Tanjung Duren Timur RT 005/009 di bilangan Tomang, Jakarta
Barat. Yosef Tokaya beserta isteri dan seorang anaknya
mengontrak ruang tersebut baru « tahun lalu.
Di bagian belakang -- ruang itu dibagi dua -- Yosef terbaring di
lantai beralaskan kain. Di atasnya menggantung kelambu Di
sebelahnya sebuah meja kayu kasar. Alat-alat dapur terletak tak
beraturan di meja itu juga di lantai. Ia masih susah berjalan
kaki kanannya masih dibalut. Tapi cerita dari mulutnya begitu
lancar. Mungkin karena "sudah beratus-ratus orang menanyai
saya."
Tahun 1976-77 ia bekerja di Sekretariat Dema Universitas
Atmajaya. Lalu pindah ke Trisakti di bagian penerbitan koran
mahasiswa. Tak lama. Koran itu ditutup pemerintah (akhir Januari
1978) dan ia pun keluar. Karena "ada mahasiswa yang hendak
menolong saya, tapi seolah-olah hanya mempermainkan saya."
Lebih setengah tahun ia menganggur Kemudian "ada lowongan saya
dengar di bagian Sekretariat Fakultas Teknik Atmajaya."
Maka tanggal 1 Agustus (dan seingatnya hari Senin) ia masukkan
lamaran ke Atmajaya di dekat bunderan Semanggi. Tanggal 2
ternyata belum ada jawaban. Jum'atnya dia datang lagi, pagi jam
09.00. Maksudnya menemui seorang temannya, mahasiswa Fakultas
Teknik. Tapi kebetulan di Atmajaya ada wisuda dan temannya itu
belum kelihatan. Ia pun menunggu di tempat parkir motor.
Dibawa Dalam Jip
Tak lama kemudian seorang petugas keamanan mendatanginya,
langsung bertanya kenapa ia ada di situ. "Sudah lapor di pos,
ya?" tanya petugas itu menurut Yosef. Merasa bukan orang asing
di Atmajaya, Yosef kalau masuk halaman Atmajaya hanya "main
mata" dengan petugas saja. Tapi tak urung ia dibawa ke pos dan
disuruh mengisi buku tamu.
Di situlah mungkin musibah itu bermula. "Bukan karena saya tak
mau mengatakan alamat saya yang sebenarnya, tapi waktu itu saya
pusing." Dan ditulislah alamat tempat tinggalnya beberapa waktu
yang lalu, ialah Karet Tengsin. Di pos itu ia ditahan sampai
sore tanpa diberi makan. Sorenya ia diperbolehkan pulang, dan
ada pesan dari keamanan kalau mau menemui temannya hari Senin
saja datang.
Tapi Senin dia tak datang. Anaknya sakit. Dan Senin sore itu, 7
Agustus lalu, ia kepergok dengan orang Atmajaya kira-kira
seratus meter dari gang rumahnya. Ada satu jip, di dalamnya ada
empat orang: kepala koordinator mahasiswa Yosef Nasoi, kepala
keamanan Thomas, seorang pegawai dan sopir.
"Apa kamu kenal anggota DPR yang tinggal di daerah ini?" tanya
Nasoi langsung. Di jawab Yosef, tidak. Dan Nasoi pun bertanya,
apakah dia sudah bekerja. Kalau belum apa mau bekerja. Dan kalau
mau bekerja ikut saja ke Atmajaya sore itu.
Karena senang mau diberi pekerjaan, Yosef minta mereka singgah
dulu di rumahnya -- yang memang tak jauh dari situ -- untuk
minum. Mereka mau. Dan di rumah itu, menurut Yosef, Nasoi
basa-basi bertanya tentang harga tanah sekitar situ.
Akhirnya mereka berangkat ke Atmajaya. Dan sesampai di sana,
bukan pekerjaan yang diberikan kepada Yosef tapi tuduhan. Dia
dituduh membawa sebuah tas berisi 12 juta rupiah dan
surat-surat penting. Menurut para mahasiswa ada dua saksi: dua
orang mahasiswa melihat Yosef membawa tas itu. Yosef minta
dihadapkan dengan mahasiswa itu. Tapi dijawab Nasoi, "kamu
jangan main-main." Menurut Nasoi, kalau saksi dibawa ke ruang
itu, Yosef bisa celaka.
Maka Yosef minta dibawa ke polisi saja. Tapi seorang mahasiswa
bernama Sitompul menyahut: "Tak ada urusan dengan polisi,"
sambil memukul mulut Yosef. Alamat yang tak benar pun diusut.
Yosef pun menjelaskan waktu itu lagi pusing. Sitompul makin
mengancam. Dia bercerita kalau pernah membakar orang dan kalau
Yosef tak mengaku ia akan membakarnya. "Bagi kami uang itu bukan
masalah, tapi surat-surat penting itu," kata Sitompul menurut
Yosef.
Lalu Diguyur Bensin
Akhirnya kakinya diguyur bensin, dan api pun menyala. Melihat
ada kolam dekat ruangan itu, dengan meronta kesakitan Yosef yang
tangannya diikat ke belakang berhasil memberontak dan mencebur
ke dalam kolam untuk memadamkan api.
Mahasiswa-mahasiswa itu mengambilnya dari kolam, menanyainya
lagi, sambil mengobati kaki yang barusan dibakar itu. Karena tak
tahan pukulan-pukulan, dan benar-benar mengira akan dibunuh, ia
mengaku saja. Disebutnya nama seorang temannya, Syafei Hadi,
pegawai maskapai penerbangan Malaysia -- MAS -- yang katanya
membawa tas itu sekarang. Syafei pun diambil. Ternyata dia tak
bersangkut paut dengan tas yang hilang itu, dan masih sempat
memaki Yosef: "Kamu jangan membawa-bawa saya." Demikian cerita
Yosef.
Dan karena ketakutan akan dibunuh pula yang menggerakkan tangan
Yosef menulis surat kepada isterinya, agar menyerahkan tas di
kolong tempat tidur sebenarnya di rumahnya hanya ada dipan kayu
kasar saja -- kepada pembawa surat itu. Sampai di situ ia tak
tahan lagi. Lalu pingsan.
Sementara itu dua mahasiswa, Selasa pagi itu juga, membawa surat
tersebut mendatangi isteri Yosef. "Ya, saya serahkan tas yang
kebetulan ada di kolong dipan," cerita isteri Yosef. Tapi
mahasiswa itu menolak, katanya bukan yang itu tasnya. Ia minta
ingin mencarinya sendiri. Tak susah memang, menggeledah ruang
yang hanya 3 x 2« meter itu, untuk mengetahui bahwa yang dicari
tak ada di situ. Siangnya, sekitar jam dua, karena Yosef tak
pulang-pulang, isterinya menyusul ke Atmajaya. Tapi hanya diberi
tahu kalau suaminya ada di Kodak. Menyusul ke Kodak, ternyata
suaminya sudah dibawa berobat ke RS Persahabatan.
Apa Kata Rektor
Di RS Persahabatan Yosef mendekam sampai tanggal 30 September.
Dia pulang karena mendapat surat dari Kodak kalau sudah bebas,
dan tak betah di rumah sakit. "Seperti di penjara saja,"
katanya. "Berak di kawal, kencing dikawal."
Yosef, yang lahir di Bogor, sejak kecil sudah yatim. Tapi baru
mengetahui masih punya ibu ketika berusia 15 tahun. Malang sang
ibu sakit jiwa dan sekarang, menurut Yosef, tinggal di Manado.
Dibesarkan di sekolah dan asrama Katolik, Yosef berhasil lepas
SMA, lalu menikah dengan gadis Kebumen 5 tahun silam, dan punya
seorang anak.
Kini Yosef jadi terkenal di mana-mana. "Kemarin mertua saya
datang, karena melihat gambar saya di Pos Kota," katanya sambil
menghembuskan asap rokoknya. Kini dia sangat berharap perkara
ini lekas selesai. Dengan kata lain, agar cepat disidangkan. Dia
tak akan menuntut yang aneh-aneh. Setelah dipukuli dan nyaris
terbakar tubuhnya cuma ini yang dituntutnya: ganti rugi berupa
uang sebesar yang dituduhkan dicurinya.
Adalah jalan pengadilan juga yang ditawarkan Dr K.S. Gani,
Rektor Atmajaya. "Saya tahu peristiwa ini telah merusak
Atmajaya, karena itu satu-satunya cara untuk menghadapinya
adalah ke pengadilan," kata Gani. Dia juga membantah kesan
seolah-olah pimpinan universitas tak mengambil tindakan apa-apa.
Tapi lain Rektor lain pula suara rektor mudanya: Dr Goris Keraf
-- orang yang kehilangan tas berisi duit setengah juta dan
dokumen-dokumen penting. Goris mengaku tidak mengetahui
peristiwa yang menimpa Josef Tokaya. Adapun tentang penganiayaan
itu, sang rektor muda berkomentar: "Saya toh tidak bisa menyebut
setuju atau tidak setuju atas perbuatan bagian keamanan dan para
mahasiswa itu. Sebab orang membunuh pun kan belum tentu
bersalah."
Dia juga menolak permintaan yayasan Atmajaya, agar
memberhentikan karyawan bagian keamanan yang main hakim sendiri
itu. "Tak mudah itu. Ini kan menyangkut masa depan orang,"
tangkisnya. Tapi belum diketahui apakah tindakan skorsing --
sebagaimana lazimnya berlaku untuk seorang atau lebih terdakwa
-- akan dikenakan terhadap para oknum Atmajaya itu. Tapi dia
mengakui telah melaporkan kehilangan tas itu pada bagian
keamanan. "Tapi saya tidak mencurigai siapa-siapa dan saya pun
tidak tahu kenapa keamanan mencurigai Yosef Tokaya," katanya.
Patut diketahui, adalah jip rektor muda itu yang antara lain
digunakan dalam pencarian Yosef yang malang itu. Dalam mobil
Goris itulah Yosef berhasil ditangkap mereka. Tapi, kata Goris
Keraf, "sore itu saya sedang memberi kuliah. Dan mobil itu kan
bukan milik pribadi . . . "
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini