Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI kejauhan ¡©tampak bagai kerumunan semut, puluhan ribu orang turun ke jalan di tiap daerah menggelar demo. Pada Rabu pekan lalu, mereka memperingati Hari Buruh Sedunia. Aksi yang tersimpul dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia itu mengajukan tujuh tuntutan, di antaranya penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak, perbaikan upah minimum, dan pelaksanaan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat mulai Januari 2014.
Relasi majikan-buruh selalu naik-turun sejak dulu. Tapi sebenarnya, sementara mereka bisa menuntut, berbeda dengan pekerja Indonesia di tanah seberang. Majalah Tempo edisi 2 Juni 1984 membuat laporan utama pro-kontra pengiriman buruh perempuan ke Arab Saudi. Kasus ini dipicu oleh informasi Lukman Harun. Lukman, yang baru kembali dari umrah, menyatakan 80 persen buruh wanita Indonesia di Saudi diperlakukan buruk.
Seorang kiai pengasuh pesantren di Jember memiliki cerita yang mendukung keterangan tokoh Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. Sang kiai menerima surat anaknya yang bekerja di Riyadh, ibu kota Saudi. "Ayah, saya minta tolong. Semua orang Indonesia menyesal, terutama yang membawa istri, dikarenakan pekerjaan yang tak terukur sukarnya." Si anak, 23 tahun, bercerita bagaimana mereka tak memperoleh perlindungan, bekerja dari subuh hingga pukul 24.00 tanpa istirahat selain untuk salat dan makan.
Seorang polisi di lapangan terbang Halim Perdanakusuma punya cerita. Tiap Selasa dan Jumat, hari pesawat dari Jeddah mendarat, dia kerap menjumpai sejumlah perempuan muda, berkerudung, tampak murung dan bingung.
Tampaknya pro-kontra pengiriman buruh wanita ke Saudi tidak mengurangi jumlah peminat. Tempo, yang meninjau beberapa penampungan tenaga kerja wanita, melihat umumnya mereka tampak ceria dan optimistis. Kabar buruk yang mereka dengar tak dipersoalkan benar. Rupanya, mereka tak memperhatikan surat perjanjian kerja yang diteken.
Surat perjanjian sebelas pasal itu melemahkan kedudukan mereka. Misalnya, tak ada rincian kerja. Hanya disebutkan calon harus menaati segala ketentuan. Karena itu, sulit menuntut si majikan. Sebaliknya, bila si pembantu bertingkah, ia diancam harus mengembalikan semua ongkos yang telah dikeluarkan majikan, termasuk harga tiket pulang-pergi dan biaya paspor.
Selain itu, mereka tidak mengetahui keadaan sosial dan budaya di Saudi. Seperti Karsiah, 20 tahun, dari Serang. Ia kembali ke Indonesia setelah lima bulan bekerja. Ketika berangkat, ia membayangkan rumah di Saudi dan di Indonesia sama. Ternyata rumah yang dikelolanya berhalaman luas dan bertingkat empat. "Tak kuat saya," katanya.
Menurut Syafiq Basri, yang beberapa kali ke Saudi, relasi sosial di negeri padang pasir itu memang kering. Hubungan antartetangga boleh dibilang tak lazim. Acara bertandang paling terjadi di antara sanak keluarga. Ditambah gaya bangunan rumah yang dikelilingi pagar tembok.
Itu sebabnya tiap rumah berusaha memenuhi segala kebutuhan sendiri: alat-alat rumah tangga yang serba listrik, kendaraan, radio, televisi, dan video. Bioskop dan pertunjukan hiburan lain di negeri itu memang dilarang. Untuk menampung semua itu, orang Saudi membutuhkan rumah besar. Maka diperlukan sejumlah pembantu rumah tangga.
Mereka yang membayangkan limpahan petrodolar boleh kecewa. Menurut Bambang Pranggono, arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung yang beberapa kali merencanakan sejumlah bangunan di negeri itu, "Orang Saudi tegar dalam bisnis." Mereka senang membayar mahal, tapi tak mau bila uangnya sia-sia. Mereka menuntut memperoleh yang terbaik. Dari sikap inilah, ketika membayar pembantu rumah tangga, orang Saudi menganggap para pembantu itu siap mengerjakan apa saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo