Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=1 color=#FF0000><B>TEMPO DOELOE</B></font><br /><font face=arial size=3><B>Buruh di Negeri tanpa Bioskop</B></font>

5 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI kejauhan ¡©tampak bagai kerumunan semut, puluhan ribu orang turun ke jalan di tiap daerah menggelar demo. Pada Rabu pekan lalu, mereka memperingati Hari Buruh Sedunia. Aksi yang tersimpul dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia itu mengajukan tujuh tuntutan, di antaranya penolakan kenaikan harga bahan bakar minyak, perbaikan upah minimum, dan pelaksanaan jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat mulai Januari 2014.

Relasi majikan-buruh selalu naik-turun sejak dulu. Tapi sebenarnya, sementara mereka bisa menuntut, berbeda dengan pekerja Indonesia di tanah seberang. Majalah Tempo edisi 2 Juni 1984 membuat laporan utama pro-kontra pengiriman buruh perempuan ke Arab Saudi. Kasus ini dipicu oleh informasi Lukman Harun. Lukman, yang baru kembali dari umrah, menyatakan 80 persen buruh wanita Indonesia di Saudi diperlakukan buruk.

Seorang kiai pengasuh pesantren di Jember memiliki cerita yang mendukung keterangan tokoh Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu. Sang kiai menerima surat anaknya yang bekerja di Riyadh, ibu kota Saudi. "Ayah, saya minta tolong. Semua orang Indonesia menyesal, terutama yang membawa istri, dikarenakan pekerjaan yang tak terukur sukarnya." Si anak, 23 tahun, bercerita bagaimana mereka tak memperoleh perlindungan, bekerja dari subuh hingga pukul 24.00 tanpa istirahat selain untuk salat dan makan.

Seorang polisi di lapang­­­an terbang Halim Perdana­kusuma punya cerita. Tiap Selasa dan Jumat, hari pesawat dari Jeddah mendarat, dia ke­rap menjumpai sejumlah perem­puan muda, berkeru­dung, tampak murung dan bingung.

Tampaknya pro-kontra pengiriman buruh wanita ke Saudi tidak mengurangi jumlah peminat. Tempo, yang meninjau beberapa penampungan tenaga kerja wanita, melihat umumnya mereka tampak ceria dan optimistis. Kabar buruk yang mereka dengar tak di­persoalkan benar. Rupa­nya, mereka tak memperhatikan surat perjanjian kerja yang diteken.

Surat perjanjian sebelas pa­sal itu melemahkan kedu­duk­an mereka. Mi­sal­nya, tak ada rincian ker­ja. Hanya disebutkan ca­lon harus menaati segala keten­tuan. Karena itu, sulit menuntut si majikan. Seba­liknya, bila si pembantu ber­tingkah, ia diancam harus mengembalikan semua ong­kos yang telah dikeluarkan majikan, termasuk harga tiket pulang-pergi dan biaya paspor.

Selain itu, mereka tidak mengetahui keadaan sosial dan budaya di Saudi. Seperti Karsiah, 20 tahun, dari Serang. Ia kembali ke Indonesia sete­lah lima bulan bekerja. Ketika ­berangkat, ia mem­bayangkan rumah di Saudi dan di Indonesia sama. Ternyata rumah yang dikelolanya berhalaman luas dan bertingkat empat. "Tak kuat saya," katanya.

Menurut Syafiq Basri, yang beberapa kali ke Saudi, relasi sosial di negeri padang pasir itu memang kering. Hu­bungan antartetangga boleh dibilang tak lazim. Acara bertandang paling terjadi di an­tara sanak keluarga. Ditambah gaya bangunan rumah yang dikelilingi pagar tembok.

Itu sebabnya tiap rumah berusaha memenuhi segala kebutuhan sendiri: alat-alat rumah tangga yang serba listrik, kendaraan, radio, televisi, dan video. Bioskop dan pertunjukan hiburan lain di negeri itu memang dilarang. Untuk menampung semua itu, orang Saudi membutuhkan rumah besar. Maka diperlukan sejumlah pembantu rumah tangga.

Mereka yang membayang­kan limpahan petrodolar ­bo­leh kecewa. Menurut Bam­bang Pranggono, arsitek lu­­lus­­an­ Institut Teknologi Ban­dung yang beberapa kali meren­canakan sejumlah bangun­an di negeri itu, "Orang Saudi tegar dalam bisnis." Me­reka senang membayar mahal, tapi tak mau bila uangnya sia-sia. Mereka me­nuntut memperoleh yang terbaik. Dari sikap inilah, ketika membayar pembantu ru­mah tangga, orang Saudi menganggap para pembantu itu siap mengerjakan apa saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus