Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Di era Presiden Soeharto bencana banjir bandang kerap melanda wilayah Indonesia, salah satunya di Lumajang, Jawa Timur
Banjir bandang di Lumajang menewaskan 192 orang, 186 hilang, 39 luka berat, 370 rumah hancur, sekitar 2.500 penduduk diungsikan.
Ada 15 desa di 4 Kecamatan Candipuro, Pasirian, Tempeh dan Sendugo yang tersapu bah dari lereng Gunung Semeru itu
TANAH longsor dan banjir bandang melanda sebagian besar daerah di Nusa Tenggara Timur pada Ahad, 4 April 2021. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, per Kamis, 8 April, lebih dari 160 orang meninggal, 45 orang hilang, dan ribuan penduduk mengungsi karena bencana yang disebabkan oleh cuaca ekstrem itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bencana banjir bandang juga terjadi di era Presiden Soeharto. Di Lumajang, Jawa Timur, misalnya, 192 orang tewas karena terseret air bah yang datang dari lereng Gunung Semeru. Artikel majalah Tempo edisi 23 Mei 1981 berjudul “Seperti Diserbu Ratusan Tank” mereportasekan detik-detik bencana tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamis sore, 14 Mei, sekitar pukul 16.00, telepon di kantor Komandan Sektor Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, berdering. Peneleponnya Pos Sentral Pengawas Banjir Semeru di Gunung Sawur. “Mereka memberi tahu air Kali Besuksat naik setinggi 2 meter,” Komandan Sektor Letnan Satu A. Bastari mengisahkan.
Dua jam kemudian, datang berita lanjutan: hujan tetap deras dan air Kali Besuksat telah naik setinggi 4,5 meter. Bastari segera menghubungi Mansjur, Camat Candipuro. Keduanya kemudian berkeliling mengamati kemungkinan bahaya banjir. Tatkala pada sekitar pukul 19.00 mereka sampai di Dukuh Sumbersari, yang terletak di barat laut Candipuro, tampak banyak penduduk berlarian.
Camat Mansjur yang belum memahami situasi menghentikan dan menasihati mereka supaya tenang. “Tenang bagaimana, Pak, lha suara di atas bergemuruh begitu,” ucap sebagian penduduk, membantah dengan sengit. “Ya, suaranya seperti ratusan tank datang menyerbu,” ujar Bastari.
Suara itulah yang rupanya menyadarkan penduduk akan bahaya. Misdi, 50 tahun, penduduk Dukuh Sumbersari, salah satu yang pertama mengungsi. Misdi melihat bagaimana banjir lumpur itu dalam tiga gelombang menyerbu dan mengubur desanya. Sekitar pukul 01.00, tatkala keadaan dirasa sudah aman, barulah Misdi turun dan melintasi lumpur setinggi lehernya untuk tiba di daerah yang aman.
Akibat bencana itu dahsyat: sampai Senin siang, 192 orang dinyatakan tewas, 186 hilang, 39 luka berat; 370 rumah hancur; sekitar 2.500 penduduk diungsikan. Ada 15 desa di Kecamatan Candipuro, Pasirian, Tempeh, dan Sendugo yang tersapu bah.
Yang terparah Dukuh Sumbersari, Desa Penggal, Kecamatan Candipuro. Tanggul Leces dan Kertosari yang melindungi Kota Lumajang jebol dan sekitar 8,5 kilometer saluran tersier di daerah Kertosari teruruk lumpur.
Ratusan hektare sawah serta kebun kopi, kelapa, dan cengkih amblas. Banjir lumpur yang melanda lereng timur Gunung Semeru itu memang tak diduga lantaran biasanya yang terserang adalah lereng tenggara. Namun ini bukan bencana yang pertama. Banjir pernah pula melanda lereng timur.
Hujan lebat dituding sebagai penyebab bencana pekan lalu. “Curah hujan lokal di lereng timur Semeru yang mencapai 300 milimeter lebih setiap empat jam Kamis sore lalu itu merupakan penyebab banjir,” tutur Soeparman, pemimpin proyek Semeru.
Menurut Direktur Jenderal Pertambangan Umum J.A. Katili, bencana yang terjadi pekan lalu itu merupakan gejala alami yang tidak bisa dihindari. “Di Bukit Leker itu ada pohon-pohon yang lapuk akar-akarnya dalam periode 50-70 tahun dan bisa mengakibatkan longsoran,” tuturnya, Senin lalu.
Gubernur Jawa Timur Soenandar, Sabtu sore lalu, mendampingi Menteri Pekerjaan Umum Purnomosidi, yang sedang berada di Jawa Timur, meninjau daerah bencana. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi bencana dan menghindari bencana mendatang, antara lain pengosongan wilayah yang dianggap dalam bahaya.
Untuk itu, Suwandi, Bupati Lumajang, meminta Perhutani bersedia menukar tanah dengan lahan permukiman penduduk yang terancam. “Pada prinsipnya, pihak Perhutani sudah setuju,” kata Suwandi. Akan hal biayanya, menurut Menteri Purnomosidi, “Tak usah dipersoalkan. Sebab, yang harus diutamakan penyelamatan manusia. Jangan sampai pekerjaan gagal karena alasan tak ada uang.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo