Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETERLIBATAN perempuan dan keluarga dalam pengeboman di depan Gereja Katedral Makassar, Ahad, 28 Maret lalu, hendaknya menjadi alarm nyaring bagi kita semua. Aksi nekat pasangan suami-istri, Muhammad Lukman Alfarizi dan Yogi Safitri Fortuna, merupakan tanda bahwa ada perubahan pola rekrutmen dan gerakan teror. Perubahan itu selayaknya diikuti penyesuaian dalam penanganannya, termasuk dalam program deradikalisasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya bukan pasangan pertama. Di Surabaya pada 2018, pengeboman dilakukan suami-istri, Puji Kuswati dan Dita Upriyanto, beserta anak-anaknya. Pasangan ini merupakan bagian dari jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), organisasi teroris yang terafiliasi dengan kelompok Negara Islam Suriah dan Irak (ISIS). Berbeda dengan Jamaah Islamiyah yang berkhidmat kepada Al-Qaidah, JAD sering melibatkan perempuan dan anak-anak sebagai pelaku peledakan bom bunuh diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggunaan perempuan sebagai pelaku bom bunuh diri sudah dilakukan oleh Hizbullah di Libanon pada 1980-an saat menghadapi Israel, Amerika Serikat, dan Prancis. Menurut beberapa analis terorisme, efektivitas pelaku bom bunuh diri perempuan di Libanon menjadikan penerapannya meluas ke bagian lain dunia, termasuk Sri Lanka, Kuwait, Palestina, Irak, dan Afganistan.
Penggunaan perempuan dalam aksi teror dilakukan karena sejumlah alasan. Salah satunya: mereka cenderung tidak dicurigai saat masuk ke jantung pertahanan “musuh”. Di Indonesia, perempuan memberi keuntungan operasional bagi JAD. Perempuan dianggap lebih efektif dalam mempengaruhi anggota keluarga lain untuk terlibat dalam teror. Sekali perempuan bisa direkrut, tiga-empat anggota keluarga lainnya secara sukarela dapat diajak. Koordinasi di antara mereka pun relatif tak mudah dilacak karena dilakukan secara tatap muka.
Di luar itu, alasan bersedia menjadi pengebom tak mengenal jenis kelamin: mereka umumnya tak memiliki pengetahuan agama yang cukup, tertekan ekonomi yang sulit, atau marah akibat kehilangan keluarga di tangan aparat keamanan. Dalam banyak kasus, mereka mudah dimanipulasi dan menerima pembenaran bahwa misi bom bunuh diri adalah “kehendak Allah”. Mereka juga meyakini bahwa keluarga pengebom akan bertemu kembali di surga.
Salah satu akar dari penggunaan kekerasan, termasuk bom bunuh diri, yang tak boleh diabaikan adalah soal pemaknaan kata “jihad” dalam Al-Quran. Kelompok radikal seperti JAD menafikan hadis yang kerap dikutip adalah saat Nabi Muhammad pulang dari Perang Badar. Nabi mengatakan, “Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar.” Lalu sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar itu, wahai Rasulullah?” Rasul menjawab, “Jihad (memerangi) hawa nafsu.” Kata Jihad sendiri memiliki makna harfiah “berjuang dengan sungguh-sungguh”. Namun kelompok radikal mengambil tafsir yang meleset, yakni jihad sebagai aksi kekerasan terhadap mereka yang dianggap berbeda. Dengan kata lain, inti persoalannya adalah sikap beragama yang eksklusif.
Tak boleh dilupakan: perempuan pelaku terorisme adalah korban terorisme pula, yakni mereka yang sehari-hari dikungkung dominasi laki-laki, secara sosial dan budaya, termasuk lewat dogma dan pemahaman keagamaan yang keliru.
Program deradikalisasi hendaknya memberi perhatian besar pada aspek gender ini. Selain mengurangi faktor pemicu yang lain, penyegaran soal konsep keluarga sakinah perlu dilakukan. Keluarga ideal bukan hanya yang bisa berkumpul di surga kelak, tapi juga di kehidupan yang baik bagi mereka dan lingkungan saat ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo