Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Makelar Jabatan Kementerian Desa

Dugaan jual-beli jabatan di Kementerian Desa mencerminkan ada masalah dalam tata kelola pemerintahan. Penempatan politikus di kementerian kerap membawa masalah.

10 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Makelar Jabatan Kementerian Desa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR miring soal permainan makelar jabatan dalam pengisian posisi kunci di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi harus diperiksa dengan saksama. Aparat penegak hukum sebaiknya turun tangan menyelidiki kasus ini dengan segera menanyai para pejabat yang menjadi korban. Jika dibiarkan, kinerja Kementerian Desa bakal terus melorot dan ini jelas merugikan khalayak ramai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desas-desus soal praktik lancung di Kementerian Desa sebenarnya sudah lama berembus. Namun baru kali ini sejumlah pejabat di sana bersedia bicara blakblakan kepada majalah ini. Meski begitu, demi keberlangsungan karier mereka di birokrasi, identitas mereka disamarkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan pengakuan mereka, staf Menteri meminta setoran Rp 1-3 miliar untuk jabatan eselon I. Sedangkan posisi atau jabatan eselon II harus ditebus dengan setoran minimal Rp 500 juta. Mereka yang menolak menyuap demi jabatan masuk kotak. Sebagian “diparkir” sebagai staf ahli atau ditempatkan di posisi non-struktural lain.

Kabar semacam ini, sayangnya, bukan hal baru. Dua tahun lalu, kita ingat, Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan kala itu, Muhammad Romahurmuziy, tertangkap ketika sedang menerima suap dari calon pejabat kepala kantor wilayah di Jawa Timur. Pada 2017, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) pernah menghitung, dalam setahun ada sekitar Rp 35 triliun uang beredar untuk praktik dagang jabatan di berbagai level pemerintahan di negeri ini.

Menteri Desa Abdul Halim Iskandar mengaku tahu kabar miring soal praktik lancung ini beredar di kementeriannya. Tapi politikus Partai Kebangkitan Bangsa yang juga kakak kandung Ketua Umum PKB dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Muhaimin Iskandar, ini mengklaim tudingan itu tak berdasar. Abdul Halim juga menepis kabar bahwa anggota stafnya, Ahmad Iman Syukri, berperan menjadi makelar untuk pengisian posisi eselon I dan II di Kementerian Desa.

Adalah tugas Inspektorat Jenderal Kementerian Desa untuk memeriksa lebih lanjut dugaan dagang jabatan ini. Dia tak boleh sungkan atau ewuh pakewuh meski harus memeriksa orang-orang di lingkaran terdekat menterinya. KASN dan Komisi Ombudsman juga bisa memverifikasi berbagai pengaduan ini dan menindaklanjutinya. Jika sistem pengawasan internal dan eksternal tersebut tak bergerak, patut diduga ada masalah besar dalam tata kelola pemerintahan kita.

Selain tersangkut soal dagang jabatan, Kementerian Desa terbelit isu transparansi rekrutmen tenaga pendamping desa. Sejumlah pihak mempertanyakan dominannya kader PKB dalam pengisian posisi tersebut. Saat ini ada sekitar 35 ribu pendamping desa yang harus mengawasi akuntabilitas penyaluran Rp 72 triliun dana desa untuk hampir 75 ribu desa di seluruh Indonesia. Kementerian Desa dituntut bersikap transparan agar tak ada tudingan politisasi lembaga negara demi kepentingan partai politik.

Kekhawatiran semacam itu cukup beralasan. Kasus korupsi ekspor benur oleh politikus Partai Gerindra, Edhy Prabowo, ketika menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan serta bancakan bantuan sosial oleh politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Juliari Batubara, ketika menjabat Menteri Sosial membuat publik waswas. Keberadaan politikus di kementerian kerap diasosiasikan dengan karpet merah buat kepentingan partai.

Ada dua cara untuk memastikan penjarahan kementerian oleh politikus tak terus berulang. Pertama, presiden harus menunjuk menteri berdasarkan kapasitas dan rekam jejak di bidang tersebut. Afiliasi politik sang menteri seharusnya bukan pertimbangan nomor satu. Saat ini ada kesan Presiden Joko Widodo menyerahkan urusan pemilihan menteri ke tangan para ketua umum partai. Kompetensi sang politikus tak menjadi prasyarat utama.

Jika politik riil bagi-bagi kekuasaan di Indonesia membuat meritokrasi tak bisa diterapkan, ada cara kedua. Presiden harus memastikan ada sistem penegakan hukum yang mumpuni. Dengan begitu, setiap penyimpangan bisa dideteksi dan dijatuhi sanksi dengan segera. Masalahnya, setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir 2019, motor utama gerakan antikorupsi itu sudah tak bertaring lagi.

Walhasil, tanpa meritokrasi dan sistem penegakan hukum yang kuat, tak ada jaminan politikus mampu menahan diri tak menjarah kementerian yang dia kelola. Partai jelas membutuhkan sumber daya finansial untuk membiayai kegiatan politiknya. Kalau sudah begitu, publik hanya bisa gigit jari menyaksikan penyimpangan yang terus berulang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus