Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kontroversi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung masih terus bergulir meski Presiden Joko Widodo telah meresmikannya pada 21 Januari lalu. Soalnya, analisis mengenai dampak lingkungan proyek ini terbilang cepat, tak sampai satu bulan. Apalagi, tak seperti yang dijanjikan, PT Kereta Cepat Indonesia-China meminta jaminan untuk proyek 60 tahun itu.
Kereta api sebagai angkutan umum di Jakarta telah dimulai sejak 1925 oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun kereta listrik atau trem itu tidak beroperasi lagi pada 1962. Baru pada 29 Agustus 1977 pemerintah lebih memperkenalkan kereta rel listerik (KRL) dan kereta rel diesel (KRD) sebagai angkutan umum yang menjangkau kawasan Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi. Kelahiran jenis angkutan ini merupakan hasil penelitian Mass Rapid Transit Study sejak 1972-1974.
Tempo edisi 12 Maret 1977 dan edisi 10 September 1977 menulis ihwal proyek kereta Jabotabek itu. Proyek ini terwujud awalnya karena kekhawatiran Gubernur Ali Sadikin memecahkan masalah angkutan umum. Pemerintah DKI Jakarta memang hanya berwenang mengurusi bus kota/mikrobus, taksi dan helicak/minicar, dan lainnya, sebagai angkutan umum di Ibu Kota. Meski diatur dan diperbanyak, daya angkutnya belum juga mencukupi.
Apalagi jika dihubungkan dengan pembangunan kota satelit seperti Depok dan Cengkareng. "Pembangunan kota satelit tanpa dibarengi peningkatan sistem angkutan di Ibu Kota tidak akan terasa mengurangi kepadatan arus lalu lintas, terutama di saat-saat jam kerja," kata Ir Ary Chayaridipura, Kepala Fisik/Prasarana Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta.
Menurut Ary, angkutan dengan kereta api perlu ditingkatkan karena daya angkutnya yang lebih besar daripada bus kota. Masalahnya, apakah Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) sudah siap? Tampaknya belum jika merujuk pendapat Oyet Ratma, Humas PJKA Exploitasi Barat. Menurut Oyet, meski sekarang sudah datang 20 buah KRL (1 set terdiri atas 4 buah) dan 24 KRD (satu set 2 buah), "Jangan dikacaukan bahwa semua itu untuk angkutan dalam Kota Jakarta."
Kedatangan semua kereta itu adalah dalam rangka komitmen bantuan Jepang tahun 1971-1972. Komitmen itu menyebutkan bahwa KRL akan dioperasikan pada lintas Jakarta-Bogor, karena di lintas itu sudah ada jalur kawat listriknya. Sedangkan KRD dioperasikan pada lintas Jakarta-Merak, Jakarta-Cirebon, dan Jakarta-Bandung.
Menteri Perhubungan Emil Salim kabarnya setuju dengan usulan itu. Kemudian dilakukan kajian dengan judul "The Jakarta Metropolitan Areal Transportation Study". Penelitian ini dilakukan bersama oleh pemerintah Jakarta dan Departemen Perhubungan pada 1972-1974. Kajian ini dipimpin R. Sukotjo dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan.
Setelah penelitian yang menghasilkan rencana induk transportasi di DKI Jakarta itu, menyusul kajian lanjutan, yaitu lintas timur, karena arus lalu lintasnya termasuk paling padat. Mass rapid transit study Jakarta Eastern Corridor berlangsung selama tiga bulan, melibatkan ahli-ahli dari Jerman Barat. Kedua kajian soal transportasi ini menghabiskan biaya sekitar US$ 1 juta. Implementasi dari kajian ini adalah proyek KRL dan KRD yang mulai beroperasi pada 29 Agustus 1977 untuk kawasan Jabotabek.
Dengan adanya KRL dan KRD, sekitar 100 ribu penumpang akan terangkut setiap hari. Meskipun jumlah ini belum memadai, paling tidak telah meringankan beban sekitar 2.500 angkutan umum yang selama ini harus memboyong 1,5 juta penumpang di Jakarta.
Setiap 15 menit sekali rangkaian kereta itu akan membelah lalu lintas Jakarta melewati jalur Jatinegara-Tanjung Priok, Jatinegara-Pasar Senen-Jakarta Kota, Jatinegara-Gambir-Jakarta Kota, dan Tangerang/Tanah Abang-Jatinegara. Plus jurusan Depok, Bogor, Karawang, Bekasi, dan Purwakarta dengan jadwal yang masih terbatas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo