Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH ironis, Sungai Citarum kotor dan menjadi tempat pembuangan limbah pabrik-pabrik di sekitarnya sudah terjadi sejak 30 tahun lalu. Tak ada penanganan serius membersihkannya hingga kita semua tercengang ketika media-media asing menayangkannya dan menyebut sungai terpanjang di Jawa Barat itu sebagai sungai terkotor di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya, majalah Tempo edisi 18 Juli 1981 menulis artikel berjudul "Pabrik yang Membawa Musibah" yang berisi reportase kotornya Sungai Citarum akibat limbah pabrik. Ketika itu, penduduk Kampung Babakan Bandung, Lio, dan Rengas Condong di Kabupaten Karawang sudah tak bisa lagi menggunakan sumur mereka. Dasar sumur, walau dalamnya sampai 15 meter, tampak kering. Mereka juga tak bisa mengharapkan air dari SungaiCitarum. Soalnya, air sungai itu acap berganti warna kuning, putih, hijau, atau bercampur solar dan minyak disel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ayal lagi, penduduk menuding pabrik kertas PT Pindo Deli Pulp and Paper Mills sebagai biang keladi musibah itu. Pabrik itu terletak di Desa Adiarsa, tak jauh dari kampung-kampung tersebut. Perusahaan penanaman modal dalam negeri itu berproduksi sejak 1978 dan menghasilkan 2.170 ton kertas tulis dan cetak setiap tahun. Sebetulnya berkapasitas produksi sampai 7.020 ton setahun, pabrik itu mempergunakan berbagai jenis pulp dan bahan kimia sebagai bahan baku-hampir seluruhnya diimpor dari luar negeri.
Buat pembuangan air serta bekas solar dan minyak disel, pabrik itu membuat saluran sepanjang beberapa ratus meter. Saluran ini bertemu dengan saluran lain yang bermuara di SungaiCitarum. "Sejak pabrik kertas membuang kotorannya keCitarum, kami tidak dapat mencuci beras atau mandi seenaknya," ujar Jumsir, penduduk yang sudah 40 tahun tinggal di tepi sungai itu. "Badan akan terasa gatal-gatal dan lengket. Bila terminum, airnya terasa pahit dan tenggorokan kering."
Puluhan anak kampung sekitar tepiCitarumitu bahkan menderita penyakit kulit seperti kudis. "Kalaupun ada yang mencuci dan mandi diCitarumkarena terpaksa," tutur Sabih, penduduk lainnya. "Sumber air minum tak ada lagi, sedangkan kami tak mampu membeli air leding."
Keluhan penduduk rupanya terdengar juga di Pemerintah Kabupaten Karawang. Akhir Juni, sebuah tim Komisi Kelestarian Lingkungan Hidup-beranggotakan unsur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Dinas Pekerjaan Umum, Kepala Dinas Perindustrian, serta camat dan lurah setempat-dibentuk Bupati Karawang Opon Sopandji. Tim tadi bertugas memeriksa pabrik kertas itu. "Kalau ternyata pabrik itu tidak memenuhi syarat, akan saya tutup," kata Opon.
Setelah diperiksa, rupanya pabrik belum punya bak penampungan untuk mengolah air buangan sehingga dialirkan keCitarum. Padahal, menurut Ketua Bappeda Saleh Umar, sudah ada peraturan bahwa setiap pabrik diwajibkan mengolah air buangan sebelum dialirkan ke SungaiCitarum. "Kami memberi saran untuk segera membuat bangunan pengolah air buangan selambat-lambatnya akhir tahun," ujar Saleh.
PencemaranCitarummemang serius, tapi tim peneliti menarik kesimpulan bahwa air buangan pabrik kertas Pindo Deli belum membahayakan lingkungan. Namun kesimpulannya ini tanpa mengadakan penelitian laboratorium terhadap air buangan pabrik itu. "Untuk memeriksa air buangan itu di laboratorium tentunya memakan waktu lama dan biaya tidak sedikit," kata Saleh.
Tiga puluh-tujuh tahun kemudian problem itu tak kunjung terpecahkan. Citarum tetap kotor oleh limbah cair dan plastik yang jika dikumpulkan sebulan jumlahnya setara dengan dua kali volume Gedung Sate, pusat pemerintahan Jawa Barat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo