Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANGZHOU bak milik Alibaba. Di tangan perusahaan e-commerce raksasa Cina itu, nyaris tak ada satu pun aktivitas penduduk ibu kota Provinsi Zhejiang ini yang luput dari pengamatannya. Alibaba menjadikan kota kelahiran pendirinya, Jack Ma, sebagai laboratorium raksasa pengembangan teknologi solusi digital. Kota ini terletak sekitar 150 kilometer sebelah barat daya Shanghai.
Selasa pagi pekan lalu, Tony Hwang membuka layar telepon selulernya begitu hendak menaiki bus yang akan mengantarnya kembali ke pusat kota dari Bandar Udara Internasional Xiaoshan, Hangzhou. Pria pemandu wisata lokal ini mengklik aplikasi Alipay. Ia lalu menghadapkan kode batang dua dimensi pada laman akun layanan mobile payment Alibaba miliknya itu ke mesin pemindai dekat sopir. Ongkos 20 renminbi-sekitar Rp 45 ribu-pun lunas terbayar.
Empat tahun menggunakan Alipay, pria 34 tahun ini masih merasa takjub oleh kenyataan bahwa ia kini nyaris tak pernah lagi mengeluarkan uang tunai untuk memenuhi segala kebutuhan-sesuatu yang dahulu ia pikir mustahil. Tony masih membawa dompet yang diisinya dengan uang 300 renminbi hanya untuk berjaga-jaga jika ada kebutuhan mendesak. "Tapi saya jarang menggunakannya, hampir tidak pernah," ujarnya.
Tony tak sendiri. Sebagian besar dari 9,2 juta jiwa warga Hangzhou sekarang praktis menggunakan layanan aplikasi di telepon pintar mereka untuk pembayaran.
Tak hanya untuk membeli barang atau membayar tarif layanan publik lain seperti jalan tol dan penyewaan sepeda, sumbangan penolak karma di kuil Buddha dapat dilakukan lewat ponsel. Di kota ini, setidaknya ada tiga kemungkinan seseorang tak menggunakan layanan tersebut: tidak punya ponsel, warga negara asing yang tak memiliki rekening bank di Cina, atau penduduk lanjut usia. Kedua orang tua dan mertua Tony termasuk di kelompok terakhir.
Itu sebabnya, mengunjungi kota dengan sejarah ribuan tahun ini seperti sedang berenang di lautan quick response code (QR code). Ke mana mata memandang, di situlah stiker putih kotak bergambar kode titik-titik hitam akan terlihat. Di banyak lokasi, kode pembayaran Alipay berdampingan dengan WeChat Pay, layanan mobile payment serupa dari Tencent Group, rival utama Alibaba.
Dua windu sejak diluncurkan, Alipay kini memiliki 520 juta pengguna aktif. Aplikasi yang kini dikelola anak perusahaan Alibaba, Ant Financial, tersebut terhubung dengan lebih dari 200 mitra lembaga keuangan. Nama perusahaan ini diambil dari filosofi semut yang tak pernah bekerja sendiri.
November tahun lalu, dalam satu event pesta belanja diskon 11.11, Ant Financial mengklaim sukses meladeni 256 ribu transaksi per detik di masa-masa puncak penjualan. Sehari itu saja, volume pembayaran via Alipay mencapai 168,2 miliar renminbi atau sekitar Rp 370 triliun-seperlima target pendapatan Indonesia tahun ini. "Transaksi sebanyak itu membutuhkan sistem komputasi awan yang mumpuni," kata juru bicara Ant Financial, Rabu dua pekan lalu.
SISTEM komputasi yang dimaksudkan dibangun oleh Aliyun atau Alibaba Cloud. Sembilan tahun berdiri, adik kandung Ant Financial ini menjadi provider Infrastructure as a Service (IaaS). Merujuk pada laporan lembaga riset Gartner, inilah komputasi awan terbesar ketiga di dunia di belakang Amazon dan Microsoft. Di sini, Alibaba mengembangkan Apsara, mesin pengelola data raksasa yang mereka lengkapi dengan program kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) bernama ET Brain.
Bagi Ant Financial, AI tak hanya membantu melancarkan transaksi pembayaran, tapi juga layanan lain dalam sistem keuangan inklusif lain, seperti asuransi dan pembiayaan untuk perorangan hingga usaha mikro. Besar-kecilnya pinjaman, termasuk tinggi-rendahnya bunga, ditentukan oleh hasil analisis rekam jejak pengguna semua layanan yang terekam dalam gudang data. "Risiko dapat dikelola karena kami tahu pendapatan, kebiasaan belanja mereka (pengguna)," kata pejabat Ant Financial mengklaim rasio kredit macet di lembaganya kurang dari 1 persen.
Komputasi awan yang sama mengintegrasikan semua layanan situs marketplace Alibaba, seperti Taobao, TMall, dan AliExpress, hingga platform khusus untuk operator industri logistik, Cainiao Network. Di Indonesia, ada Tokopedia, GTech Digital Asia, Dwidaya Tour, dan Yogrt yang memanfaatkan layanan solusi data Alibaba Cloud.
Kemampuan mengoleksi, mengolah, dan menganalisis data digital ini menjadi modal bagi Alibaba bermetamorfosis dari wujud awalnya sebagai perantara perdagangan lintas benua. Konglomerasi multinasional bidang teknologi ini pun menyasar pasar baru, membangun kota pintar yang dikendalikan lewat AI untuk menghubungkan pemerintah dan warganya.
Proyek ini bernama ET City Brain, yang diluncurkan Alibaba Cloud dua tahun lalu bekerja sama dengan Pemerintah Kota Hangzhou dan pengembang perangkat keras Foxconn. "Sederhananya, jika AI dapat menjadi solusi untuk bisnis, mengapa tidak untuk meningkatkan layanan publik," kata Kepala Peneliti Alibaba Cloud, Wanli Min.
Bip-big... ckrek....
DERETAN lampu light-emitting diode (LED) di langit jalanan Kota Hangzhou berkedip-kedip setiap kali mobil melintas di bawahnya. Malam itu, kamera pengawas yang tergantung melintang di atas lintasan tak henti bekerja sejak pagi merekam bulevar. Data visual real-time lalu lintas itu dikirim ke ET City Brain. Pada saat bersamaan, sistem komputasi awan menarik data kota-tak terhingga jumlahnya-dari beragam alat sensor gerak dan suara hingga telepon seluler penduduk kota.
Semua lalu lintas data ini bergerak otomatis via Internet dan dianalisis di City Brain. Dari sana, AI menganalisis beragam informasi, termasuk memprediksi, dan mengantisipasi apa yang terjadi di jalanan 10 menit ke depan dengan tingkat akurasi mencapai 90 persen.
Ketika terjadi kecelakaan di satu titik kota, misalnya, City Brain seketika akan mengkalkulasi rute tercepat bagi ambulans untuk segera menuju lokasi kejadian. Otak dalam sistem komputasi ini bahkan bisa mengatur lampu lalu lintas-di Hangzhou sekitar 120 unit terkoneksi-sehingga jalanan dapat diprioritaskan untuk kejadian genting. "ET City Brain dapat membuat rekomendasi untuk membantu pemerintah meningkatkan tata kota, seperti seperti meningkatkan manajemen lalu lintas dan pengelolaan sistem drainase," kata juru bicara Alibaba.
Alibaba mengklaim jalanan Hangzhou yang padat-data pemerintah setempat menunjukkan ada 1,2 juta kendaraan melintas setiap hari-kini semakin tertata. "Rata-rata waktu tempuh lalu lintas di area uji coba kini lebih cepat 15 persen," kata Deputy Direktur Subbagian Keamanan Umum Distrik Xiaoshan, Sun Shixiang, dilansir portal China Global Television Network. Xiaoshan merupakan wilayah Hangzhou yang menjadi lokasi pertama uji coba sistem ini.
Alibaba Cloud kini mulai ekspansif memasarkan otak pintarnya. Januari tahun lalu, mereka menggandeng Dewan Bandaraya Kuala Lumpur dan Malaysia Digital Economy Corporation untuk mengimplan City Brain ke sistem pengelolaan lalu lintas Kuala Lumpur. Kota-kota besar di Indonesia bisa jadi persinggahan berikutnya. "Kami sedang mencari peluang di pasar ini untuk membantu mengatasi tantangan kehidupan nyata dengan teknologi kami," kata juru bicara Alibaba.
Agoeng Wijaya (hangzhou)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo