Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BASUKI Wasis tak pernah menyangka keterangannya sebagai ahli perkara korupsi berujung pada gugatan ganti rugi Rp 3 triliun. Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ini sempat menghitung, seandainya gugatan dikabulkan pengadilan, nilai seluruh kekayaannya masih jauh dari angka tersebut. Dari mana duit sebanyak itu? ujar pria 52 tahun itu masygul, Selasa pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Basuki memang kerap menjadi saksi ahli dalam pelbagai kasus, bukan hanya perkara korupsi. Ia sudah dua kali digugat ke pengadilan atas kesaksiannya. Tapi, bagi Basuki, menghadapi gugatan ganti rugi Rp 3 triliun ini merupakan pengalaman pertamanya. Ia sering gelisah karena khawatir kalah di pengadilan. "Saya pusing," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Basuki pernah punya pengalaman buruk saat berurusan dengan gugatan semacam ini. Sebelumnya, PT Jatim Jaya Perkasa menggugat Basuki di Pengadilan Negeri Cibinong, Jawa Barat, Agustus 2017. Perusahaan itu menggugat Basuki karena ia menjadi saksi ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang menggugat PT Jatim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Negeri Rokan Hilir, Riau, karena kasus kebakaran hutan.
PT Jatim, yang menanam sawit di Pekanbaru, dihukum hakim membayar ongkos pemulihan lingkungan Rp 371 miliar dan denda Rp 1 miliar. Setelah putusan, perusahaan ini menggugat kesaksian Basuki dengan tudingan riset Basuki serampangan. Gugatan itu berakhir setelah dua pihak meneken akta perdamaian dengan kesepakatan Basuki menganulir keterangannya sebagai ahli kasus PT Jatim. "Psikologis saya tertekan saat itu," ujar Basuki.
Awal Maret lalu, Gubernur Sulawesi Tenggara (nonaktif) Nur Alam menggugat Basuki ke Pengadilan Negeri Cibinong. Politikus Partai Amanat Nasional itu melayangkan gugatan satu bulan setelah Basuki bersaksi di persidangan perkaranya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi mendakwa Nur Alam melakukan korupsi pemberian izin pertambangan kepada PT Anugrah Harisma Barakah sehingga merugikan negara Rp 1,59 triliun. Ia juga didakwa menerima gratifikasi Rp 40,268 miliar.
Dalam kesaksiannya sebagai ahli, Basuki mengatakan pemberian izin tambang kepada PT Anugrah Harisma di Pulau Kabaena, Bombana, Sulawesi Tenggara, merugikan negara Rp 2,7 triliun. Basuki mendapat nilai itu setelah menghitung jumlah kerugian dari aktivitas tambang perusahaan. "Total kerugian diperoleh setelah tim menghitung sembilan elemen biaya yang harus dibayar," katanya.
Menurut Basuki, kerugian akibat kerusakan ekologis mencapai Rp 1,45 triliun. Untuk total kerugian ekonomi lingkungan mencapai Rp 1,246 triliun dan kerugian akibat biaya pemulihan Rp 31 miliar.
Direktur Penyelesaian Sengketa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jasmin Ragil mengatakan lembaganya yang meminta Basuki menjadi ketua tim penghitungan kerusakan. Awalnya, KPK meminta bantuan kementerian itu menghitung kerugian ekologis tambang nikel PT Anugrah Harisma pada Mei 2016. Kementerian Lingkungan Hidup lantas menyurati IPB untuk meminta Basuki menjadi ketua tim. "Kami sudah sering bekerja sama dengan Pak Basuki dan kompetensinya tak perlu diragukan lagi," ujar Jasmin.
Begitu mengantongi surat tugas, Basuki langsung mengunjungi lokasi tambang pada Juni 2016 dan Februari 2017. Dalam dua kali penelitian lapangan, ia dan enam anggota timnya dikawal polisi dan didampingi peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, penyidik KPK, petugas Kementerian Lingkungan Hidup, pakar tambang Institut Teknologi Bandung, serta pegawai Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Sepulang dari lapangan, Basuki membawa sampel tanah untuk diuji di laboratorium. Dia juga mengkalkulasi nilai kerusakan lingkungan dengan berpedoman pada formula yang diatur Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Rugi Kerugian Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup. Hasilnya, kerugian ekologi akibat tambang nikel PT Anugrah mencapai Rp 2,7 triliun.
Jaksa memakai perhitungan Basuki ini untuk menuntut Nur Alam. Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan perbuatan Nur Alam merugikan keuangan negara Rp 4,3 triliun. Angka ini berasal dari kerugian ekologis yang dihitung Basuki dan timnya sebesar Rp 2,7 triliun dan kerugian atas hilangnya kekayaan nikel atas aktivitas pertambangan Rp 1,5 triliun.
Belakangan, dalam putusan yang menghukum Nur Alam 12 tahun penjara, hakim hanya menyetujui perhitungan kerugian Rp 1,5 triliun. Majelis tidak sependapat dengan jaksa tentang kerugian negara hasil perhitungan Basuki dan timnya. "Ahli Basuki Wasis tidak dapat membuktikan bahwa kegiatan pertambangan menimbulkan kerusakan tanah dan lingkungan yang merupakan kerugian keuangan negara," ucap Joko Subagyo, salah satu hakim saat membacakan putusan.
Nur Alam kemudian mempersoalkan kerugian negara versi Basuki ini. Menurut Maqdir Ismail, pengacara Nur Alam, laporan kerugian yang disusun Basuki tidak benar dan berpedoman pada aturan yang keliru. Menurut Maqdir, perhitungan Basuki merujuk pada keputusan Menteri Lingkungan Hidup bernomor KEP-43/MENLH/10/1996 untuk pengerukan nikel. Dia mengatakan aturan itu diperuntukkan bagi penambangan galian C yang meliputi tanah uruk, pasir, pasir dan batu, tras, serta batu apung. "Nikel itu galian strategis," katanya.
Tak hanya dituduh keliru menggolongkan nikel, hasil penelitian Basuki dengan berdasarkan kerusakan relief dasar galian bertentangan dengan waktu penelitian di lapangan. Dalam aturan itu, menurut Maqdir, kerusakan relief dasar galian baru bisa diputuskan di akhir masa tambang. "Basuki sudah memutuskan kriteria di tengah izin operasi yang masih aktif," ujarnya.
Atas dasar inilah tim Nur Alam menggugat Basuki. Menurut Maqdir, kredibilitas Basuki patut dipertanyakan karena rekam jejaknya yang pernah mencabut keterangan sebagai saksi ahli saat persidangan PT Jatim. "Rusak penegakan hukum kita kalau ada ahli yang ahli-ahli begini," katanya.
Basuki meyakini hasil perhitungannya sudah sesuai dengan ketentuan. Misalnya, ia mengatakan, ketentuan KEP-43/MENLH/10/1996 mencakup tiga kriteria kerusakan lingkungan: topografi, tanah, dan vegetasi. Adapun kerusakan relief dasar seperti yang disebut Maqdir, menurut Basuki, merupakan salah satu instrumen untuk menentukan kerusakan topografi. Basuki menyimpulkan berdasarkan pengamatan lapangan bahwa terjadi kerusakan lingkungan untuk kriteria tanah dan vegetasi, bukan topografi. "Pemantauan tanah dan vegetasi bisa dilakukan secara periodik, tak harus di akhir masa tambang," ujarnya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berjanji membela Basuki dalam perkara gugatan Nur Alam ini. Jasmin Ragil mengatakan Menteri Lingkungan sudah memerintahkan agar menyiapkan upaya pembelaan terhadap dia dari gugatan Nur Alam. "Kami akan membela total Pak Basuki," kata Jasmin. "Kalau tak melawan, akan jadi preseden buruk bagi ahli, khususnya di sektor lingkungan."
Terhadap gugatan Nur Alam ini, KPK berjanji memberikan bantuan hukum kepada Basuki. KPK akan menyediakan semua informasi yang dibutuhkan dalam pembuktian di persidangan nantinya. "Jangan sampai saksi terancam karena menyampaikan keterangan di persidangan," ujar juru bicara KPK, Febri Diansyah.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia juga akan turun membela Basuki. Ketua Bidang Advokasi YLBHI Muhammad Isnur optimistis Basuki bisa memenangi gugatan perdata. "Kami menemukan banyak kelemahan dalam berkas gugatan," katanya.
Posisi ahli, menurut Isnur, dilindungi undang-undang. Pasal 10 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur saksi, korban, dan pelapor tidak bisa dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas laporan atau kesaksiannya yang akan, sedang, atau telah diberikan.
Raymundus Rikang, Rooseno Aji (jakarta)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo