Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPOLISIAN Daerah Metropolitan Jakarta Raya menetapkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan (korupsi) terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelumnya Anwar Usman dipecat dari jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi karena terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Seharusnya ia dipecat juga sebagai hakim konstitusi. Bahkan, jika MKMK benar-benar konsisten dalam penerapan hukum, Anwar juga harus diusulkan diproses pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Produk hukum yang melibatkan dia dalam perkara Nomor 90 Tahun 2023 dengan sendirinya cacat etik dan hukum. Ironisnya, produk hukum cacat tersebut tetap berlaku dan dimanfaatkan oleh orang atau pihak yang mendapat keuntungan darinya. Yang lebih parah, mereka berpotensi melanjutkan kepemimpinan bangsa dan negara ini.
Ketua KPK yang seharusnya menjadi orang terdepan dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi justru melakukan korupsi. Ketua MK yang seharusnya menjadi orang terdepan dalam menjaga konstitusi justru merusak konstitusi.
Dua peristiwa tragis tersebut terjadi di era Presiden Joko Widodo. Bahkan, dalam kasus Anwar Usman yang juga ipar Jokowi, diduga ada peran Jokowi dan Iriana Jokowi. Apakah dalam penetapan Firli sebagai tersangka juga demikian? Mengingat sudah menjadi rahasia umum bahwa Firli adalah orangnya Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang berpisah jalan dengan Jokowi.
Hukum dan lembaga (tinggi) penegakan hukum benar-benar dijadikan alat politik secara terstruktur, sistematis, dan masif. Hal-hal yang sungguh ironis dan kontradiktif tersebut merupakan tragedi yang sangat besar bagi bangsa dan negara ini.
Daniel H.T.
Surabaya
Korupsi di Mana-mana
PEPATAH zaman dulu sewaktu saya masih di Sekolah Rakyat tampaknya tidak lekang oleh waktu. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Makin lengkap gambaran kemerosotan akhlak serta tata nilai di negeri ini dengan diumumkannya Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Eddy Hiariej sebagai tersangka kasus korupsi. Satu menteri sudah divonis, satu menteri sedang menjalani sidang pengadilan, dan satu wakil menteri dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Jelas sudah, di mana-mana ada korupsi. Di cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga pajak, kantor advokat, kepolisian, kejaksaan, partai politik, dan hampir semua partai politik—berbasis agama atau nasionalis—sama saja, termasuk dunia akademis dan bisnis. Mahkamah Konstitusi yang menyandang atribut sangat terhormat tercoreng oleh pencopotan Ketua MK melalui putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi. “Tugas berat MK adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik ketika di dalam MK terdapat orang-orang yang pernah melanggar integritas dan kemandiriannya diragukan.” Putusan MKMK diharapkan memperbaiki citra MK.
William Liddle, ahli Indonesia dari Amerika Serikat, dalam wawancara dengan Tempo edisi 6-12 November 2023, menyatakan Presiden Joko Widodo di awal pemerintahannya menjanjikan banyak perubahan yang membawa harapan. Namun, di pengujung pemerintahannya, Liddle menambahkan, Jokowi merusak banyak sendi demokrasi.
Keteladanan dalam menjunjung tinggi etika serta sikap kesatria tak ditampilkan oleh para pejabat di tingkat yang paling tinggi hingga rendah. Pidato-pidato hanya pemanis bibir, ditambah dengan inkonsistensi sikap serta ucapan dengan perbuatan. Suatu tragedi bahwa perjuangan para pendiri bangsa menguap oleh tiadanya pembentukan watak bangsa. Masih ada waktu menyadari hal ini dan membangun suasana yang menampilkan demokrasi dewasa yang sehat serta pembentukan watak bangsa dengan kesungguhan serta kepedulian.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta Pusat
Dewasa dalam Berpolitik
PEMILIHAN umum belum berlangsung, bahkan masa kampanye saja belum dimulai, tapi para kandidat presiden dan timnya sudah saling melempar tuduhan telah terjadi kecurangan. Bahkan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI juga diserang karena dianggap tidak netral.
Para pengusung dan pendukung calon presiden seharusnya menyadari bahwa narasi negatif akan merugikan dan bisa menjadi pukulan balik. Sebagian besar rakyat Indonesia sudah mengerti dan paham politik, jadi jangan dianggap bodoh. Mereka bisa membedakan mana yang benar dan keliru. Karena itu, para kandidat presiden dan pendukungnya sebaiknya berhenti menebar kebencian dan kebohongan.
Untuk mengambil hati rakyat Indonesia, tim calon presiden sebaiknya menggelar sosialisasi secara terus-menerus mengenai program-program andalan secara jelas dengan bahasa yang sederhana. Biarkan para pemilik suara mempelajari serta mencerna apakah program-program tersebut memang masuk akal dan bisa dibuktikan sebelum mereka menentukan pilihan.
Pemilu merupakan pesta demokrasi yang harus dirayakan dengan penuh rasa gembira dan bahagia, bukan dengan rasa dengki dan benci, yang bisa mengakibatkan “perkelahian”. Pemilu 2014 dan 2019 menjadi pelajaran pahit yang tidak akan bisa dilupakan dan menjadi catatan hitam dalam sejarah. Sebaiknya kita tidak meninggalkan nilai-nilai negatif kepada generasi muda mendatang.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
RALAT
Dalam artikel “Tentara Masih Diperhitungkan” di rubrik Wawancara edisi 20-26 November 2023 tertulis “Jadi seperti itu, trust-oriented…”, seharusnya “Jadi seperti itu, task-oriented...”. Kami mohon maaf atas kekeliruan ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, surat pembaca ini terbit di bawah judul "Firli Bahuri Tersangka Pemerasan", "Korupsi di Mana-mana", "
Dewasa dalam Berpolitik"