DI sebuah jalan yang termasuk ramai di Kota Bandung, ada sebuah
salon dengan nama "Nina Salon Hair and Beauty". Merk itu
disertai dengan kata-kata "fisioterapi". Namun orang yang
memasuki salon itu segera mahfum, perawatan macam apa yang ada
di situ. Sebab di ruangan tamu salon itu segera akan terlihat
wanita-wanita berpakaian minim.
Suasana yang ada di salon itu tidak banyak beda dengan tempat
mandi uap biasa. Wanita-wanita itu ditempatkan di ruang berkaca
yang tembus pandang. Mereka bergaya macam-macam dengan
pakaian-pakaian yang membangkitkan gairah laki-laki. Tamu-tamu
yang masuk, bisa memilih dari balik kaca. Pemilik salon itu, Ny.
Atik Purwati yang dikenal dengan panggilan "mama", akan menanyai
tamunya "Ingin pijat sebenarnya atau pijat santai?
Kalau ingin santai, tamu dipersilakan memilih partnernya
sendiri. Jika meminta pijat untuk kesehatan, Ny. Atik akan
memilihkannya. Tarifnya: Rp 4.500 sekali pijat biasa untuk
pijat khusus: tamu berunding lngsung dengan wanita yang akan
memijatnya.
Di salon "Nina" itu memang tersedia 35 orang pemijat yang
bekerja dari pagi secara bergiliran sampai tengah malam. Di
tempat itu ada 20 kamar ukuran masing-masing 2,5 x 2 m, yang
dilengkapi sebuah tempat tidur dan alat pijat berupa cream.
Tidak ada sebuah alat pun yang menandakan tempat itu klinik
fisioterapi.
"Tetapi pijat yang kami lakukan adalah fisioterapi," bantah Ny.
Atik. Menurut ibu 6 orang anak ini, anura pijat dan fisioterapi
itu sulit dibedakan. Kalaupun ada perbedaan, katanya, itu hanya
dalam hal alat yang digunakan. Misalnya, untuk fisioterapi
umumnya dipakai alat-alat elektronis, sementara di "Nina Salon",
hanya tenaga manusia. "Tetapi kami juga belajar anatomi," kata
Ny. Atik.
Sebab itu ia merasa jengkel kalau IKAFI (Ikatan Ahli Fisioterapi
Indonesia) keberatan terhadap praktek-praktek yang dilakukan di
salon atau panti pijat yang mencantumkan kesanggupan perawatan
secara fisioterapi. "Apa karena kami tidak melewati sekolah
khusus?" tanyanya.
Ternyata perkara pendidikan khusus itu yang memang dicemaskan
para ahli fisioterapi. Sebab fisioterapi sebenarnya adalah
pengobatan dan perawatan tubuh yang hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang yang mendapat pendidikan formal untuk itu. "Pijat
hanya sebagian dari fisioterapi," ujar I Gede Samba, seorang
ahli fisioterapi di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung.
Samba yang juga Ketua Departemen Pendidikan IKAFI membenarkan
ada keluhan anggota IKAFI tentang munculnya klinik-klinik yang
mengatasnamakan fisioterapi. Sebab itu dalam penataran yang
dilakukan IKAFI akhir September lalu di Bandung, organisasi ini
meminta agar sebelum iin diberikan pemerintah untuk klinik
fisioterapi, harus ada rekomendasi IKAFI. "Sebab banyak klinik
yang tidak memenuhi syarat untuk merawat fisioterapi," ujar
Samba.
Kekhawatiran IKAFI memang beralasaln Selain banyak klinik yang
sebetulnya cuma panti pijat biasa dengan memakai nama
fisioterapi, juga tumbuh salon-salon fisioterapi. Di kompleks
Pasar Tunjungan Surabaya, misalnya, ada salon fisioterapi
"Yuliet".
Berbeda dengan "Nina Salon", "Yuliet" tidak memperlihatkan paha
mulus sebelum perawatan dimulai. Pengusahanya, Ny. Elia
Soesianty mewawancarai setiap pasien yang masuk, sebelum
melakukan pengobatan. Bak seorang dokter, wanita itu dengan
tekun mendengarkan seorang pelajar putri yang mengeluh:
bintik-bintik timbul di wajahnya. "Saya wawancarai untuk
mengetahui penyebab flek-flek itu," ujar Ny. Elia kepada TEMPO.
Mengaku murid ahli kecantikan Dr. Claude Jally di Paris, Ny.
Elia menyimpulkan penyebab bintik-bintik hitam di wajah
pasiennya itu karena ketegangan jiwa. Sebab itu, ia lebih banyak
memberikan nasihat untuk mengurangi ketegangan si gadis. "Kalau
saya anggap paSien perlu pengobatan, baru saya beri pil atau
kosmetik yang cocok," kata Ny. Elia yang mengaku sudah 20 tahun
bergulat dengan masalah kecantikan.
Bintik-bintik seperti yang diderita pasiennya hari itu, menurut
Ny. Elia bisa disembuhkan dengan perawatan yang teratur selama 2
tahun. Setiap perawatan pasien ia mengenakan tarif Rp 4.000.
"Asalkan tidak terlambat, pengobatan akan berhasil," Ny. Elia
meyakinkan.
Tetapi seorang ibu yang menjadi pasien salon "Yuliet" mengeluh,
keriput di wajahnya tidak pernah sembuh walau sudah berkali-kali
dirawat di salon itu. Ia akhirnya bosan dirawat di sana.
"Nasihatnya itu-itu saja misalnya jangan bicara ngotot, Jangan
suka marah, padahal semua itu sudah saya turuti," katanya.
Untuk menjadi ahli fisioterapi memang tidak gampang, kata Samba.
Seorang ahli fisioterapi harus menjalani pendidikan formal
selama 3 tahun, ditambah praktek sedikitnya 2 tahun.
Satu-satunya tempat pendidikan fisioterapi di Indonesia,
terdapat di Sala. "Dalam pendidikan, siswa tidak hanya belajar
fisioterapi, tapi juga ilmu-ilmu lain yang mendukung
fisioterapi," kata Samba.
Seorang ahli fisioterapi, harus bisa mendeteksi dan menganalisa
penyakit pasien. Untuk itu siswa diberi juga pelajaran-pelajaran
ilmu faal, anatomi, fathologi, bio kimia dan histologi. Karena
itu, tambah Samba, tak mudah mengaku-ngaku bisa melakukan
perawatan secara fisioterapis, seperti beberapa salondan panti
pijat tadi. "Sebab, kalau terjadi salah pijat, bisa merusak
jaringan tubuh dan mendatangkan penyakit encok," kata Samba.
Pendapat Samba ini dibenarkan Budoyo SMPH, seorang pendiri
Klinik Fisioterapi Sasana Hudaya, Kebayoran Baru, Jakarta.
Klinik Sasana Hudaya yang ber-AC itu, memang laris dikunjungi
pasien. Ruang tunggunya selalu penuh penderita yang antre
menunggu giliran, di antaranya orang asing. "Pijat itu hanya
salah satu dari sekian banyak terapi," ujat Budoyo, tanpa
mengaku banyaknya panti pijat yang memakai nama fisioterapi.
Tetapi rekannya, Paryono, menambahkan, tidak pantas sebuah salon
memakai nama fisioterapi." Bagaimana salon bisa menerima resep
dokter?" tanya Paryono. Sebab seorang ahli fisioterapi juga
menerima resep dokter dan merawat pasien menurut diagnosa resep
dokter.
Di Klinik Sasana Hudaya memang tersedia berbagai macam
peralatan, dari yang sederhana seperti lilin, bola, tangga,
sampai peralatan elektronis. Menurut Paryono penggunaan
alat-alat itu juga tidak sembarangan -- ada ketentuannya dan
jangka waktunya, tergantung penyakit pasien. "Penggunaan yang
salah, bisa berakibat fatal bagi pasien," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini