Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Kusyadi dari atas gendongan

Kusyadi, 12, penderita polio, murid kelas vi sd tanggerang, cianjur, ja-bar, ternyata pintar dan cerdas. ia juga turut mengadakan penelitian sosial.

17 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Kusyadi dari atas gendongan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
LAPANGAN bola tanpa rumput itu riuh oleh anak-anak yang sedang bermain sepakbola. Tapi satu suara dari seorang yang berada di atas punggung seorang pemain, kadang-kadang terdengar leblh keras, memberi perintah. Teriakan memberi komando itu sekaligus berarti menentukan ke arah siapa bola harus diberikan. Tapi itu juga akan berarti kemenangan bagi kesebelasan yang diberi komando. Si pengomando, Kusyadi, memang tak bermain bola. Tapi dari atas punggung seorang pemain yang menggendongnya, dia selalu berteriak-teriak menentukan arah bola. Bahkan bila bola telah berada di depan gawang lawan, tak segan-segan ia menyuruh kawannya mengoper bola ke pemain lain sebelum bola itu dijebloskan ke gawang musuh. Dengan petunjuk-petunjuk itulah Kusyadi, 12 tahun, selalu dapat memastikan kemenangan bagi kesebelasannya--melawan teman sekelas sendiri maupun kelas-kelas lain di sekolahnya. Karena itu temanteman sekelasnya selalu berebut agar dapat bermain dalam satu kesebelasan dengan pemain yang menggendong Kusyadi, si anak lumpuh murid kelas 6 SD Tanggeung, Cianjur, Ja-Bar. Meskipun selalu aktif mengomandoi teman-temannya, nilai olahraga Kusyadi dalam rapor hanya 6. Angka inilah rupanya yang pernah menjatuhkannya sehingga hanya menempatkan dia menjadi juara 11 di kelasnya. Padahal nilai untuk mata pelajaran lainnya adalah: matematika 9, agama 8, IPS9, IPA 9 dan menggambar 7. Sewaktu masih di kelas 1 dan 2, ia hanya juara II di kelasnya. Tapi selanjutnya, ia selalu menjadi juara I -- meskipun dengan nilai 6 untuk pelajaran olahraga. "Semua temannya sayang dan bangga pada Kusyadi--begitu pula kami," kata Ny. Sartika, 49 tahun, kepala SD Tanggeung, "dia murid yang pinur dan tidak rendah diri, walau tubuhnya cacat." Ihwal cacat Kusyadi merupakan beban tersendiri yang ditanggung dengan tabah oleh anak itu, tapi terasa pedih bagi kakek dan nenek angkatnya, Oyo Darmaatmadja dan Maryam. Diserang Polio Orang tua Kusyadi bercerai (untuk pertama kali) tatkala ia baru berumur 6 bulan. Rosiyanawati, sang ibu, hanya dapat megatakan: "Saya selalu sedih bila mengingat semua itu." Terutama karena ayah Kusyadi yang bernama Maslah Baehaqi, tidak pernah menampakkan batang hidung sejak ia bercerai untuk kedua kali dengan Rosiyanawati, 8 tahun yang lalu. Perceraian ini ternyata ada juga hubungannya dengan kelumpuhan Kusyadi. Menurut penuturan Oyo, 64 tahun, pada suatu hari di tahun 1973, ia merundingkan rencana perawatan dan pendidikan Kusyadi di YPAC (Yayasan Pendidikan Anak-Anak Cacat) Sala, dengan Rosiyanawati dan Baehaqi. Mufakat ini belum apa-apa sudah buyar, tidak jelas mengapa--sedangkan Kusyadi tidak jadi diberangkatkan ke Sala. Dalam ketidakpastian seperti itu orang' tuanya malah bercerai padahal Rita, adik Kusyadi, waktu itu baru berumur 2 bulan. Rosiyanawati kini menetap di Bandung dengan suami barunya. Adapun Oyo dan Maryam --adalah pasangan suami-istri yang meskipun telah sekian tahun menikah, tidak dikaruniai anak. Rosiyanawati adalah anak angkat mereka. Tatkala wanita itu bercerai untuk pertama kali dengan Baehaqi, Kusyadi yang masih bayi, diserahkan pada Oyo dan Maryam. Anak yang malang ini terlahir sebagai anak yang sehat. Sehari setelah ulang-tahunnya pertama, ia tiba-tiba terserang demam, tubuhnya berkeringat, lalu menggigil, suhunya naik turun seperti diserang malaria. Keesokan harinya sang kakek membawa Kuskus, begitulah pangilan kesayangan Kusyadi, ke seorang dokter di Bandung. Oleh dokter Kusyadi disuntik. Panas Kuskus menurun, tangan dan kakinya yang semula kejang-kejang, lemas dan lentur kembali. Tapi keadaan lemas seperti ini melanjut, hingga anak itu tergolek terus --sedangkan tangan dan kakinya tak dapat lagi digerakkan. Tatkala 2 hari kemudian diperiksakan ke dokter lain, barulah diketahui, bahwa Kusyadi terserang virus polio, satu benih penyakit yang mengakibatkan penderitanya lumpuh. Perawatan selama 25 hari di RS Advent, Bandung, tidak banyak menolong. Selama bertahun-tahun kemudian kakek Oyo dan Maryam dengan tekun merawat Kusyadi. "Entah berapa banyak selimut dan handuk yang hancur karena direbus," ujar Oyo, pensiunan kepala perwakilan PN Garam di Bandung. Sesuai dengan petunjuk dokter, bagian tubuh Kusyadi yang melemas seperti leher dan kedua kaki, tiap hari selama 2 jam dibalut selimut panas. Ini berlangsung 2 tahun. Namun hanya leher Kusyadi yang pulih, bisa kuat dan tegak kembali. Sebaliknya tangan kanan dan kaki kiri sulit digerakkan. Untung tangan kiri dan kaki kanannya masih bisa bergerak. Dalam kondisi seperti itulah Kusyadi berangkat besar. Sesudah Oyo pensiun, ia pindah dan membawa sang cucu ke Desa Tanggeung. Di sini Kusyadi merasa lebih bebas, serta mau menyesuaikan diri dengan sekitarnya. Pada umur lima setengah tahun ia didaftarkan ke SD. Pada mulanya Kusyadi enggan, karena malu. Melihat cucunya demikian, Oyo memberi dorongan. "Kalau kau ingin maju, jangan lihat cacat tubuhmu, tapi perlihatkan kemampuan otakmu," begitu nasihat kakek yang ternyata tidak sia-sia. Kusyadi membentuk dirinya sebagai murid yang bersemangat tinggi dan pantang menyerah. Di sekolah ia tidak pernah diistimewakan. Sampai kelas 3 SD, Kusyadi diantar dan dijemput oleh seorang pembantu wanita. Bukan itu saja. Pembantu ini menunggu di sekolah, khawatir kalau-kalau Kusyadi ingin buang air, misalnya. Meskipun begitu, untuk masuk keluar kelas, Kusyadi menolak digendong. Ia merasa lebih bebas kalau dibiarkan merangkak saja. Dan itulah yang dilakukannya bertahun-tahun, hingga tak seorang pun melihat perilaku seperti itu sebagai hal yang aneh. "Saya tak mau cian tidak merasa rendah diri akan keadaan saya seperti ini," ujar Kusyadi tegas. "Saya tetap bermain seperti biasa, cuma saya tidak bisa berlari," ucapnya sambil memegang kedua kakinya yang kurus-kurus itu. Kusyadi hampir tak pernah menghafal pelajaran sekolah. "Saya sudah tahu jadi tak perlu menghafal lagi," katanya ringan. "Hanya saya kurang membaca," ucapnya mengakui. Di rumah ia lebih banyak bermain. Malam hari ia rajin mendengarkan siaran tv dan radio yang kata Kusyadi sangat membantunya menambah khazanah pengetahuan. Magnit Dua bulan terakhir ini ia punya keslbukan baru, yaitu main catur. Permainan otak ini diajarkan oleh guru agamanya yang kini terpaksa mengakui keunggulan Kusyadi. Malah ia sekarang sudah dijuluki jago catur di desanya. Tapi lebih dari itu kepintaran Kusyadi telah merupakan magnit yang menyebabkan banyak anak berkumpul di sekitarnya. "Memang dia anak terpintar di kelas kami," ucap Henhen, 13 tahun, teman sekelas Kusyadi. "Kami mengajaknya masuk dalam grup belajar kami," ujar Henhen pula. "Biarpun dia kecil tapi dialah yang menjadi guru belajar kami. Kami tidak melihat fisiknya, yang penting kepintarannya. Jua dia tidak sombong." Karena itu ke mana pun, teman-temannya secara sukarela rajin, bahkan berebut, menggendongnya. Di samping cerdas, daya ingatnya juga kuat. Hanya dengan mendengar siaran tv, ia misalnya dapat mengingat hampir semua nama pejabat Iran yang terbunuh, atau urut-urutan krisis Polandia. Tapi kelebihan Kusyadi bukan itu saja. Tanpa menghiraukan cacat badannya, ia ikut serta dalam sebuah penelitian sosial. Seperti teman-temannya, ia pergi mewawancarai penduduk dan meminta data ke balai desa. Dengan demikian Kusyadi dikenal oleh seluruh penduduk Desa Tanggeung yang berjumlah hampir 10.000 jiwa itu. "Saya ingin jadi jaksa," kata Kusyadi sebab, lanjutnya, "jaksa 'kan bekerja di belakang meja saja. " Untuk cita-cita itu, ia kini belajar giat, tanpa memikirkan cacat yang menghambatnya. Setamat SD rencananya sudah jelas, melanjutkan ke YPAC. Sesudah itu kalau mungkin ia akan melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi lagi, tentu saja dengan sokongan kakek Oyo yang selalu membanggakan cucunya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus