LAPANGAN bola tanpa rumput itu riuh oleh anak-anak yang sedang
bermain sepakbola. Tapi satu suara dari seorang yang berada di
atas punggung seorang pemain, kadang-kadang terdengar leblh
keras, memberi perintah. Teriakan memberi komando itu sekaligus
berarti menentukan ke arah siapa bola harus diberikan. Tapi itu
juga akan berarti kemenangan bagi kesebelasan yang diberi
komando.
Si pengomando, Kusyadi, memang tak bermain bola. Tapi dari atas
punggung seorang pemain yang menggendongnya, dia selalu
berteriak-teriak menentukan arah bola. Bahkan bila bola telah
berada di depan gawang lawan, tak segan-segan ia menyuruh
kawannya mengoper bola ke pemain lain sebelum bola itu
dijebloskan ke gawang musuh.
Dengan petunjuk-petunjuk itulah Kusyadi, 12 tahun, selalu dapat
memastikan kemenangan bagi kesebelasannya--melawan teman sekelas
sendiri maupun kelas-kelas lain di sekolahnya. Karena itu
temanteman sekelasnya selalu berebut agar dapat bermain dalam
satu kesebelasan dengan pemain yang menggendong Kusyadi, si anak
lumpuh murid kelas 6 SD Tanggeung, Cianjur, Ja-Bar.
Meskipun selalu aktif mengomandoi teman-temannya, nilai olahraga
Kusyadi dalam rapor hanya 6. Angka inilah rupanya yang pernah
menjatuhkannya sehingga hanya menempatkan dia menjadi juara 11
di kelasnya. Padahal nilai untuk mata pelajaran lainnya adalah:
matematika 9, agama 8, IPS9, IPA 9 dan menggambar 7. Sewaktu
masih di kelas 1 dan 2, ia hanya juara II di kelasnya. Tapi
selanjutnya, ia selalu menjadi juara I -- meskipun dengan nilai
6 untuk pelajaran olahraga.
"Semua temannya sayang dan bangga pada Kusyadi--begitu pula
kami," kata Ny. Sartika, 49 tahun, kepala SD Tanggeung, "dia
murid yang pinur dan tidak rendah diri, walau tubuhnya cacat."
Ihwal cacat Kusyadi merupakan beban tersendiri yang ditanggung
dengan tabah oleh anak itu, tapi terasa pedih bagi kakek dan
nenek angkatnya, Oyo Darmaatmadja dan Maryam.
Diserang Polio
Orang tua Kusyadi bercerai (untuk pertama kali) tatkala ia baru
berumur 6 bulan. Rosiyanawati, sang ibu, hanya dapat megatakan:
"Saya selalu sedih bila mengingat semua itu." Terutama karena
ayah Kusyadi yang bernama Maslah Baehaqi, tidak pernah
menampakkan batang hidung sejak ia bercerai untuk kedua kali
dengan Rosiyanawati, 8 tahun yang lalu. Perceraian ini ternyata
ada juga hubungannya dengan kelumpuhan Kusyadi.
Menurut penuturan Oyo, 64 tahun, pada suatu hari di tahun 1973,
ia merundingkan rencana perawatan dan pendidikan Kusyadi di YPAC
(Yayasan Pendidikan Anak-Anak Cacat) Sala, dengan Rosiyanawati
dan Baehaqi. Mufakat ini belum apa-apa sudah buyar, tidak jelas
mengapa--sedangkan Kusyadi tidak jadi diberangkatkan ke Sala.
Dalam ketidakpastian seperti itu orang' tuanya malah bercerai
padahal Rita, adik Kusyadi, waktu itu baru berumur 2 bulan.
Rosiyanawati kini menetap di Bandung dengan suami barunya.
Adapun Oyo dan Maryam --adalah pasangan suami-istri yang
meskipun telah sekian tahun menikah, tidak dikaruniai anak.
Rosiyanawati adalah anak angkat mereka. Tatkala wanita itu
bercerai untuk pertama kali dengan Baehaqi, Kusyadi yang masih
bayi, diserahkan pada Oyo dan Maryam.
Anak yang malang ini terlahir sebagai anak yang sehat. Sehari
setelah ulang-tahunnya pertama, ia tiba-tiba terserang demam,
tubuhnya berkeringat, lalu menggigil, suhunya naik turun seperti
diserang malaria.
Keesokan harinya sang kakek membawa Kuskus, begitulah pangilan
kesayangan Kusyadi, ke seorang dokter di Bandung. Oleh dokter
Kusyadi disuntik. Panas Kuskus menurun, tangan dan kakinya yang
semula kejang-kejang, lemas dan lentur kembali. Tapi keadaan
lemas seperti ini melanjut, hingga anak itu tergolek terus
--sedangkan tangan dan kakinya tak dapat lagi digerakkan.
Tatkala 2 hari kemudian diperiksakan ke dokter lain, barulah
diketahui, bahwa Kusyadi terserang virus polio, satu benih
penyakit yang mengakibatkan penderitanya lumpuh. Perawatan
selama 25 hari di RS Advent, Bandung, tidak banyak menolong.
Selama bertahun-tahun kemudian kakek Oyo dan Maryam dengan tekun
merawat Kusyadi. "Entah berapa banyak selimut dan handuk yang
hancur karena direbus," ujar Oyo, pensiunan kepala perwakilan PN
Garam di Bandung. Sesuai dengan petunjuk dokter, bagian tubuh
Kusyadi yang melemas seperti leher dan kedua kaki, tiap hari
selama 2 jam dibalut selimut panas. Ini berlangsung 2 tahun.
Namun hanya leher Kusyadi yang pulih, bisa kuat dan tegak
kembali. Sebaliknya tangan kanan dan kaki kiri sulit digerakkan.
Untung tangan kiri dan kaki kanannya masih bisa bergerak.
Dalam kondisi seperti itulah Kusyadi berangkat besar. Sesudah
Oyo pensiun, ia pindah dan membawa sang cucu ke Desa Tanggeung.
Di sini Kusyadi merasa lebih bebas, serta mau menyesuaikan diri
dengan sekitarnya. Pada umur lima setengah tahun ia didaftarkan
ke SD. Pada mulanya Kusyadi enggan, karena malu. Melihat cucunya
demikian, Oyo memberi dorongan. "Kalau kau ingin maju, jangan
lihat cacat tubuhmu, tapi perlihatkan kemampuan otakmu," begitu
nasihat kakek yang ternyata tidak sia-sia.
Kusyadi membentuk dirinya sebagai murid yang bersemangat tinggi
dan pantang menyerah. Di sekolah ia tidak pernah diistimewakan.
Sampai kelas 3 SD, Kusyadi diantar dan dijemput oleh seorang
pembantu wanita. Bukan itu saja. Pembantu ini menunggu di
sekolah, khawatir kalau-kalau Kusyadi ingin buang air, misalnya.
Meskipun begitu, untuk masuk keluar kelas, Kusyadi menolak
digendong. Ia merasa lebih bebas kalau dibiarkan merangkak saja.
Dan itulah yang dilakukannya bertahun-tahun, hingga tak seorang
pun melihat perilaku seperti itu sebagai hal yang aneh. "Saya
tak mau cian tidak merasa rendah diri akan keadaan saya seperti
ini," ujar Kusyadi tegas. "Saya tetap bermain seperti biasa,
cuma saya tidak bisa berlari," ucapnya sambil memegang kedua
kakinya yang kurus-kurus itu.
Kusyadi hampir tak pernah menghafal pelajaran sekolah. "Saya
sudah tahu jadi tak perlu menghafal lagi," katanya ringan.
"Hanya saya kurang membaca," ucapnya mengakui. Di rumah ia lebih
banyak bermain. Malam hari ia rajin mendengarkan siaran tv dan
radio yang kata Kusyadi sangat membantunya menambah khazanah
pengetahuan.
Magnit
Dua bulan terakhir ini ia punya keslbukan baru, yaitu main
catur. Permainan otak ini diajarkan oleh guru agamanya yang kini
terpaksa mengakui keunggulan Kusyadi. Malah ia sekarang sudah
dijuluki jago catur di desanya.
Tapi lebih dari itu kepintaran Kusyadi telah merupakan magnit
yang menyebabkan banyak anak berkumpul di sekitarnya. "Memang
dia anak terpintar di kelas kami," ucap Henhen, 13 tahun, teman
sekelas Kusyadi. "Kami mengajaknya masuk dalam grup belajar
kami," ujar Henhen pula. "Biarpun dia kecil tapi dialah yang
menjadi guru belajar kami. Kami tidak melihat fisiknya, yang
penting kepintarannya. Jua dia tidak sombong." Karena itu ke
mana pun, teman-temannya secara sukarela rajin, bahkan berebut,
menggendongnya.
Di samping cerdas, daya ingatnya juga kuat. Hanya dengan
mendengar siaran tv, ia misalnya dapat mengingat hampir semua
nama pejabat Iran yang terbunuh, atau urut-urutan krisis
Polandia. Tapi kelebihan Kusyadi bukan itu saja. Tanpa
menghiraukan cacat badannya, ia ikut serta dalam sebuah
penelitian sosial. Seperti teman-temannya, ia pergi mewawancarai
penduduk dan meminta data ke balai desa. Dengan demikian Kusyadi
dikenal oleh seluruh penduduk Desa Tanggeung yang berjumlah
hampir 10.000 jiwa itu.
"Saya ingin jadi jaksa," kata Kusyadi sebab, lanjutnya, "jaksa
'kan bekerja di belakang meja saja. " Untuk cita-cita itu, ia
kini belajar giat, tanpa memikirkan cacat yang menghambatnya.
Setamat SD rencananya sudah jelas, melanjutkan ke YPAC. Sesudah
itu kalau mungkin ia akan melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi lagi, tentu saja dengan sokongan kakek Oyo yang selalu
membanggakan cucunya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini