HANYA ada tiga tokoh Indonesia yang panggilan Bung tetap lekat
di depan nama mereka: Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Tomo. Rabu
lalu Bung Tomo menyusul Bung yang lain yang telah tiada. Ia
meninggal 7 Oktober siang ketika sedang wukuf di Padang Arafah
dalam rangka menunaikan ibadat haji, mungkin karena udara panas
yang menyengat.
Tokoh yang lahir di Surabaya pada 3 Oktober 1920 ini pernah
menduduki tempat cukup penting dalam sejarah Indonesia. Sebelum
kemerdekaan, ia tokoh pemuda Jawa Timur yang cukup menonjoh Ia
menjadi anggota Indonesia Muda, KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia)
dan juga sebagai sekretaris Parindra cabang Surabaya. Semasa
penjajahan Jepang ia bekerja sebagai wartawan di kantor berita
Domei. Ia merupakan satu-satunya tokoh luar Jakarta dari 80
pemuda yang terpilih sebagai anggou Gerakan Rakyat Baru pada
Juli 1945 di samping tokoh lain seperti B.M. Diah, Adam Malik,
Wikana, Sukardi, Asmara Hadi, dan S.K. Trimurti.
Pamor pemuda Sutomo meluncur tinggi tatkala pertempuran mulai
pecah di Surabaya pada awal Oktober 1945. Sutomo tiba di
Surabaya dari Jakaru pada 12 Oktober 1945 tatkala situasi
Surabaya makin bergolak. Ia tiba dengan suatu gagasan yang
brilyan yang segera dilaksanakannya. Ia mendirikan pei mancar
radio yang dinamakannya Radio Pemberontakan. Tujuannya untuk
mengobarkan semangat perjuangan rakyat. Suara Bung Tomo yang
bersemangat, menggelegar dan bergelora dengan segera
melambungkannya menjadi tokoh "pemberontak" yang termashyur.
Pidatonya selalu diawalinya dengan berulangkali meneriakkan
"Allahuakbar". I1ta-katanya keras, gampang dicerna ia segera
dikenal sebagai orator ulung setingkat Bung Karno. Berkat
himbauannya para warok dan jagoan mulai membentuk laskar-laskar
rakyat. Bahkan para kiai dari banyak pesantren seantero Jawa
Timur tergugah untuk mengerahkan pada santrinya ke Surabaya
untuk terjun dalam "perang sabil" elawan Belanda dan
antek-anteknya.
Bung Tomo kemudian juga membentuk risan Pemberontakan Republik
Indonesia.
"Waktu itu Bung Tomo berambut panjang, bersepatu lars, pistol di
kiri-kanan pinggang dan selalu dikawal beberapa pemuda yang
berselempangkan rentengan peluru di tubuh mereka," kenang
Soetarto sesepuh PPFN yang waktu itu membuat film dokumenter
perjuangan di Surabaya.
Ktut Tantri, waniu Amerika yang kemudian bergabung dengan para
pejuang RI, juga punya kesan mendalarn pada almarhum. "Waktu itu
saya lihat dia sebagai Robin Hood kecil yang gagah, baik hati,
dan penuh humor. Ini tercermin dalam sikapnya menghadapi para
tahanan kulit putih waktu itu. Ia sangat baik terhadap mereka,
padahal dalam pidat-pidatonya dia begitu berapi-api membenci
orang Eropa. Dapat dilihat ia tidak membenci orang Belanda
sebagai manusia Yang dibencinya pemerintahan Belanda," ceritanya
pekan lalu.
Bung Tomo kemudian ikut serta dalam persiapan pembentukan
Tentara Nasional Indonesia dan di sini ia pernah mencapai
pangkat letnan jenderal. Ia pernah menjadi anggota DPR pada
tahun 1950-an dan pada 1955 menjadi Menteri Negara Urusan Bekas
Pejuang pada Kabinet Burhanuddih Harahap.
Dia Milik Bangsa
Semangatnya belajar tak pernah henti. Ia meneruskan sekolah di
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, tapi terhenti karena
kesibukan dagang. Kuliahnya kemudian diteruskan di FE-UI.
Sekitar 1966 ia ikut dalam usaha penumbangan Orde Lama sebagai
anggota KAMI dan juga menjadi ketua Kesatuan Aksi Pengemudi
Becak Indonesia (KAPBl). Sebagai tokoh pejuang ia mempaoleh Hak
Pengusahaan Hutan seluas 115 ribu hektar di Kalimantan Barat
yang diusahakan lewat PT Ahyu Balapan.
Pada 1970-an ia sering memberi ceramah di hadapan para
mahasiswa. Bukunya Himbauan yang ditujukan pada pemerintah dan
kalangan agama dilarang beredar pada 1977. Berbagai pidatonya
waktu itu dinilai menghasut mahasiswa. Atas tuduhan subversi,
bersarna Mahbub Djunaidi dan Ismail Suny ia ditahan selama
setahun pada 1978.
Begitu meninggal di Padang Arafah kabarnya ia langsung
dirnakarnkan di sana. Belum jelas apakah makamnya akan
dipindahkan ke Indonesia. Namun menurut Ktut Tantri, sebaiknya
Bung Tomo dimakamkan di sini. "Kalian tidak dapat membiarkan dia
dikubur di sana. Dia milik bangsa Indonesia. Dia harus kembali
ke tanah tumpah darahnya," ujarnya penuh emosi pada Farida
Sendjaja dari TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini