Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti ditulis Tempo edisi 17 Maret 1973, dalam artikel bertajuk ”Buntut Ronald”, Th. E. van Blijenburgh menulis surat -kepada kantor media di Jakarta bahwa anaknya, bernama Ronald itu, dianiaya polisi di selnya. Ronald, 14 tahun, dicokok polisi karena ia seorang morfinis. Ibunya mengabarkan bahwa Ronald disiksa karena mendalangi pemberontakan 560 -tahanan.
Mana yang benar tak jelas benar. Apakah Ronald disiksa karena ia morfinis atau karena mendalangi pemberontakan. ”Kata-katanya sulit dipegang,” ujar nyonya yang masih muda itu kepada Tempo.
Lain pengakuan ibunya, lain pula pernyataan Ronald. Kepada wartawan dan pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum, Albert Hasibuan, yang menjenguknya, Ronald mengatakan tak ada penyiksaan. Ia malah memprotes ulah ibunya. ”Apa sih maunya Mami? Ronald malu. Teman-teman yang tadinya tidak tahu sekarang tahu saya morfinis,” kata Ronald.
Pokoknya Ronald membantah semua berita tentang penganiayaan berat yang dideritanya itu. Albert Hasibuan pun kemudian, setelah menjenguk Ronald bersama Ny. Blijenburgh dan seorang paman si anak, mendapat kesan begitu juga: Ronald tak mengalami cedera apa pun!
Kabar penyiksaan Ronald menjadi heboh di tengah berita pengutukan kepada polisi karena kasus-kasus sadistis sekitar masalah tahanan. Maka kabar dari Ny. Blijenburgh langsung saja menyebar dan koran-koran siap menerbitkannya, dengan maksud supaya polisi jangan semena-mena lagi memeriksa orang yang belum tentu bersalah.
Sebenarnya kabar yang disiarkan Ny. Blijenburgh itu tak jelas benar. Benarkah anak sebaya Ronald menggerakkan 560 orang tahanan? Benarkah dia sudah terlibat gerakan politik 30 September 1965 padahal usianya waktu itu baru enam tahun?
Persoalan Ronald jadi bergelemak peak. Polisi tak kunjung memeriksa Ny. Blijenburgh itu untuk memeriksa motif menyebarkan kabar bohong tersebut. AKBP Ny. Mandagie, Kepala Binapta Komdak VII, hanya mengatakan belum berhasil memanggil ibu Ronald tersebut.
Tempo sendiri susah payah menemukan ibu Ronald di rumahnya dua pekan lalu. Di situ ia mengatakan tak pernah mendapat panggilan resmi dari polisi. Dan AKBP Ny. Mandagie juga tidak menyebutkan sampai berapa lama ia menunggu, sementara berita tentang penyiksaan itu sudah tersebar di masyarakat.
Sebaliknya, bagi ibu Ronald, kalau toh dia yakin anaknya yang hanya dititipkan di situ memang kena siksa, kenapa tak ditarik kembali dari Komdak? Padahal jalan sudah terbuka: dengan keluarnya Ketetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahwa Ronald, seperti yang dimohonkan ibunya, telah dinyatakan sebagai ”anak negara”. Jadi sang anak harus pindah ke LPK Tangerang.
Ronald menolak keduanya. Ia ingin bebas, tidak mau di Komdak, tidak juga di rumah perawatan anak negara di Tangerang.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 24 Oktober 1992. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo