Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah Anda setuju pemberian telepon seluler kepada tenaga kerja Indonesia sebagai solusi agar penanganan masalah TKI tidak terhambat?
( 24 November—1 Desember 2010) |
||
Ya | ||
18,73% | 151 | |
Tidak | ||
78,66% | 634 | |
Tidak Tahu | ||
2,61% | 21 | |
Total | 100% | 783 |
PUBLIK tampaknya kecewa terhadap respons Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas insiden kekerasan yang menimpa buruh Indonesia di Arab Saudi. Ketika kabar penyiksaan atas Sumiati di Medinah dan tewasnya Kikim Komalasari di Jeddah mencuat dua pekan lalu, SBY menanggapinya dengan janji pembagian telepon genggam untuk semua tenaga kerja Indonesia di luar negeri. ”Ini supaya mereka bisa berkomunikasi instan,” katanya saat memimpin rapat kabinet.
Mayoritas pembaca Tempo yang mengikuti jajak pendapat di situs Tempo Interaktif pekan lalu tak sepakat dengan gagasan Yudhoyono. Sebanyak 78,67 persen responden menilai rencana pembagian telepon seluler itu tak bakal memecahkan persoalan.
Alasannya? Hesa Adrian Kaswanda, salah satu pembaca Tempo, menilai janji pemerintah bagi-bagi telepon itu hanya solusi jangka pendek. Seharusnya, kata Hesa, pemerintah mempersiapkan upaya hukum untuk menyeret pelaku penyiksaan buruh perempuan Indonesia ke pengadilan hak asasi manusia. Sayangnya, negara-negara di Asia belum memiliki peradilan hak asasi manusia regional. ”Indonesia harus menggagas pengadilan HAM Asia,” katanya.
Pembaca lain, Fatchur Rozi, mempertanyakan kegagapan pemerintah menangani isu ini. ”Mengapa baru mencari solusi ketika ada kasus?” katanya tak mengerti. Dia mendesak agar mekanisme pengiriman tenaga kerja Indonesia juga diperbaiki. Jangan sampai ada buruh yang dikirim ke Timur Tengah tapi tidak memahami bahasa Arab, misalnya.
Indikator Pekan Depan YOGYAKARTA bergolak. Sebagian rakyatnya menuntut referendum. Di Facebook bahkan beredar gambar jenaka sebuah paspor berlogo Keraton Yogya. Pangkal ribut-ribut ini adalah rencana pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Dalam naskah beleid ini, pemerintah mengusulkan agar jabatan Gubernur Yogyakarta dipilih langsung sebagaimana layaknya kepala daerah di semua provinsi lain. Usul itu langsung memantik kontroversi. Lebih-lebih setelah pekan lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melansir pernyataan yang bernada miring mengenai Kesultanan Yogyakarta. ”Tidak mungkin ada sistem monarki (di Indonesia—Red.), yang bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi,” katanya di awal rapat kabinet. Pernyataan SBY disambut pro dan kontra. Gubernur Yogyakarta saat ini, Sultan Hamengku Buwono X, dengan gaya halus khas keraton, langsung menawarkan pengunduran diri. Panasnya hubungan antara SBY dan Sultan tak lepas dari kompetisi politik mereka berdua dalam Pemilihan Presiden 2009. Belakangan, Sultan merapat ke Nasional Demokrat, sebuah organisasi massa yang didirikan konglomerat Surya Paloh. Setujukah Anda jika Gubernur Yogyakarta tidak lagi otomatis dijabat Sri Sultan Hamengku Buwono, tapi dipilih melalui pemilihan kepala daerah? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo