Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#FF0000>Sengketa</font><br />Jokotole Masih di Genggaman Polisi

Pengadilan memenangkan gugatan sebuah keluarga pengusaha atas rumah yang sejak 1945 dikuasai polisi. Polisi tetap akan melawan putusan itu.

6 Desember 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sudah sebulan lebih papan berukuran sekitar 0,5 x 0,5 meter itu terpacak di dinding sebuah rumah tua di Jalan Jokotole 6, Pamekasan, Madura. Mereka yang melintas di depan rumah itu dengan jelas bisa membaca tulisan di papan tersebut: ”Rumah Dinas Kapolres”.

Rumah yang sebagian dindingnya berlumut itu sudah puluhan tahun menjadi tempat tinggal kepala kepolisian. Papan itu muncul sejak Pengadilan Negeri Pamekasan, Agustus lalu, mengirim surat kepada Ajun Komisaris Besar Andjar Gunadi, yang baru bertugas di daerah itu dua bulan, untuk mengosongkan rumah tersebut. Ini surat teguran ketiga yang dikirim pengadilan kepada penghuni rumah itu. Mahkamah Agung memutuskan pemilik sah rumah kuno itu Nyonya Radijah, istri Syekh Abdullah bin Saet Basyarahil.

Syahdan, pedagang dari Arab ini membangun rumah itu pada 1905. Ia memakai nama Radijah karena waktu itu orang asing tak boleh memiliki properti. Tanah seluas 1.380 meter persegi ini tercatat pada Eigendom Verponding (surat pajak tanah) nomor 133.

Di zaman revolusi, Basyarahil menyewakan rumahnya kepada tentara Belan­da. Awal kisruh kepemilikan rumah itu terjadi saat Belanda angkat kaki dari Pulau Madura menjelang 1945. ”Pemerintah Indonesia kemudian menyewa­nya,” kata U.R. Basyarahil, 50 tahun, salah satu anak keturunan Syekh Abdullah, dua pekan lalu.

Kendati rumah itu silih berganti menjadi rumah dinas kepala kepolisi­an­ yang bertugas di Pamekasan, uang sewa rumah tersebut tak dibayar. Salah­ seorang anak Basyarahil pernah menyurati pemerintah dan kepolisi­an mena­nya­kan soal sewa. Hasilnya ada. Panglima Komando Daerah Kepolisian Jawa Timur Brigadir Jenderal Koeswadi pada 1969 berkirim surat kepada Kepala Kepolisian RI menyarankan agar membeli rumah itu saja. Harga yang di­tawarkan­ Koeswadi Rp 15 juta. Surat­ ini tak pernah dibalas hingga keluar lagi surat da­ri Letnan Kolonel A. Badan, Kepala Kepolisian Antarresor Madura, yang setuju menyewa rumah itu Rp 1.000 per bulan.

Tapi sewa itu tetap tak terjadi. Keturunan Basyarahil makin resah. Mereka kemudian menghubungi Dinas Pertanahan setempat untuk meminta keterangan sekaligus mengukuhkan perihal kepemilikan tanah dan rumah mereka. Setelah dokumen lengkap, pada 2009 Zain Umar Basyarahil, salah seorang cucu Abdullah, mewakili keluarga besarnya, menggugat ”akuisisi” pemerintah itu ke pengadilan lewat pengacara top di Surabaya, Trimoelja D. Surjadi.

Dari tingkat pertama hingga pengadilan banding, gugatan mereka di­kabul­kan hakim. Demikian pula di tingkat majelis kasasi pada 2007. Hakim menolak alasan polisi bahwa tanah-tanah Eigendom sejak 1945 menjadi aset negara dengan bukti nomor registrasi rumah 61549006-00001 serta tanah 61549006-00002 atas nama Departemen Pertahanan dan Keamanan. Polisi menganggap perjanjian sewa sebagai kesepakatan tak mengikat. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, tanah dan bangunan Eigendom otomatis menjadi aset negara karena pemiliknya tak meminta konversi hingga 24 September 1980.

Hakim menyatakan tanah itu milik keluarga Basyarahil. ”Tanah dan bangunan itu terbukti atas nama Radijah yang dikuasai tergugat tanpa sewa,” kata hakim Miswari Ismijati dalam putusannya pada 8 April 2003. Menurut hakim, batas permohonan konversi hingga 24 September 1980 sudah diperbarui lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri pada 1979 yang menyatakan hak milik properti Eigendom tetap bisa diminta asal diajukan pemilik yang sah.

Keluarga Basyarahil mengajukan ganti rugi Rp 851.580.000 plus bunga 1,5 persen per bulan. Itu dihitung sejak gu­gatan diajukan dan mencakup nilai sewa 1945-2002. Mereka juga ­memin­ta biaya kerugian imateriil Rp 100 juta dan uang paksa Rp 1 juta per hari selama penghuni tak mengosongkan rumah itu. Tapi, soal uang paksa itu, hakim hanya menga­bulkan Rp 250 ribu per hari.

Namun putusan itu rupanya tak membuat polisi ”angkat tangan”. Selain memasang papan ”Rumah Dinas Kapolres”, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Badrodin Haiti menegaskan tak akan mengosong­kan rumah itu. ”Kalau masih ada upaya hukum lagi, kami akan tempuh itu,” katanya kepada Kukuh Wibowo dari Tempo. Pihaknya, ujar Badrodin, akan mengajukan permohonan peninjauan kembali dengan novum sejarah penempatan rumah tersebut.

Polisi memang bisa saja melakukan hal itu. Namun, menurut Ketua Pengadilan Negeri Pamekasan Aswan Nurcahyo, peninjauan kembali tak menghalangi eksekusi. Pengadilan, kata dia, siap melakukan eksekusi itu. ”Tinggal menunggu giliran,” ujar Aswan. ”Rumah Jokotole urutan kedelapan. Kami sedang mengeksekusi rumah kelima.”

Bagja Hidayat (Jakarta), Musthofa Bisri (Madura), Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus