Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH melonggarkan ekspor konsentrat mentah dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Revisi peraturan ini akan menguntungkan buat perusahaan pemilik kontrak karya, di antaranya PT Freeport Indonesia, perusahaan tembaga dan emas yang beroperasi di Tembagapura, Papua.
Alasannya, izin ekspor konsentrat mentah PT Freeport berakhir pada Rabu pekan lalu. Setelah itu, jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010, Freeport hanya bisa mengekspor konsentrat dengan lebih dulu membangun pabrik pemurnian hasil tambang atau smelter di dalam negeri. Tapi, dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 23 ini, perusahaan pemilik kontrak karya diberi kelonggaran untuk mengekspor konsentrat mentah selama lima tahun ke depan walau belum mempunyai smelter.
Juru bicara Freeport, Riza Pratama, berharap pemerintah dapat segera memberi kepastian mengenai izin ekspor. Sebab, berhenti operasi—walau hanya satu hari—sangat berpengaruh terhadap penghasilan perusahaan.
Freeport Indonesia memiliki luas konsesi tambang mencapai 2,6 juta hektare dengan kapasitas produksi 300 ribu ton per hari. Pada 2014, Freeport mengekspor 666 ribu ton tembaga dan 33 ribu ton emas. Perusahaan ini pertama kali memperoleh konsesi kontrak kerja di selatan pegunungan Papua pada 1973, di masa Presiden Soeharto. Majalah Tempo edisi 1 Februari 1975 menulis mengenai produksi Freeport setelah dua tahun beroperasi dan masa depan perusahaan tersebut.
Pada awal 1975, prospek tembaga sedang suram karena harganya turun. "Masih jatuh harganya akibat resesi dunia," kata Menteri Pertambangan Mohammad Sadli, yang meninggal pada 2008, pada Januari 1975.
Sadli tidak menjelaskan berapa melorotnya harga tembaga itu. Hanya, menurut dia, "Tidak sampai merugikan PT Freeport Indonesia di Irian Jaya."
Presiden Direktur Freeport Indonesia Ali Budiardjo—meninggal pada 1999—dalam acara dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat saat itu menjelaskan bahwa kapasitas produksi Freeport sudah mencapai 90 persen (tahun 1973 baru 55 persen dengan laba US$ 16 juta). Pada 1975, kapasitasnya diperkirakan mencapai produksi penuh, yakni 225 ribu ton konsentrat tembaga berkadar 26-30 persen. Untuk mencapai sasaran itu, perlu ditambah 2 juta ton bijih tembaga dalam setahun.
Pertanyaannya, mengapa dalam pasaran tembaga dunia yang masih jatuh itu Freeport bertekad mencapai kapasitas produksi penuh? Dari Wisma Nusantara tingkat II, kantor pusatnya di Jakarta, sungguh sulit diperoleh keterangan. Namun, menurut sumber di luar negeri, di tengah resesi akibat naiknya harga minyak sampai empat kali, markas besar Freeport di New York, Amerika Serikat, selama semester pertama tahun lalu saja sudah mencatatkan keuntungan empat kali lipat: dari US$ 10 juta pada Juni 1973 menjadi US$ 40 juta.
Kenaikan laba yang begitu besar itu terjadi seiring dengan mulai dibukanya tambang tembaga Ertsberg di Irian Jaya, yang menelurkan dua pertiga dari pendapatan Freeport selama semester pertama 1973. Dengan kata lain, modal yang dibenamkan Freeport Indonesia sebesar US$ 20 juta dalam tambang itu praktis sudah tertebus dengan keuntungan US$ 27 juta selama enam bulan pertama pada 1974.
Dengan kecepatan produksi Freeport tersebut, dikhawatirkan endapan tembaga di Gunung Ertsberg itu habis dalam 13 tahun. Selama itu, berdasarkan taksiran harga US$ 0,40 per pon, Freeport telah memperhitungkan keuntungan kotor US$ 1 miliar. Tapi, dengan kenaikan harga tahun lalu saja, sasaran pendapatan US$ 1 miliar itu boleh jadi sudah akan tercapai dalam Pelita II—atau kurang dari separuh jangka waktu yang direncanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo