Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN Bupati Bantul Suharsono mempertahankan Yulius Suharta sebagai Camat Pajangan sungguh merupakan langkah tepat. Penilaian layak-tidaknya Yulius, yang beragama Katolik, menjadi camat di wilayah barat Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu memang tak seharusnya didasarkan pada agama yang diyakininya, tapi pada prestasi dan kemampuannya dalam bekerja.
Yulius dilantik sebagai Camat Pajangan pada 30 Desember lalu. Beberapa hari kemudian, sejumlah warga Pajangan mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bantul, meminta Bupati Suharsono mengganti Yulius, yang tidak beragama Islam. Para pemrotes berdalih penetapan Yulius membuat masyarakat resah. Apalagi sebelumnya warga Pajangan sudah melarang pendirian patung kepala Yesus di Gereja St Yakobus Alfeus, Pajangan, pada Oktober 2016.
Suharsono menolak permintaan mengganti Yulius dengan alasan ia memilih Yulius karena kinerjanya, bukan agamanya. Sebagai pemimpin, sudah sepatutnya Suharsono menerapkan prinsip the right man on the right place. Penolakan pun hanya dilakukan oleh sekelompok orang, tidak mewakili aspirasi semua penduduk kecamatan itu.
Langkah Suharsono patut diapresiasi. Sudah semestinya seorang pejabat mengambil keputusan penting berdasarkan peraturan, bukan berdasarkan protes dan tekanan sekelompok orang atau organisasi kemasyarakatan. Suharsono, dan pemimpin daerah lain, harus berpegang pada konstitusi dalam mengambil keputusan. Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyebutkan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Persyaratan menjadi camat pun dengan gamblang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Menurut aturan itu, camat diangkat oleh bupati/wali kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tak ada syarat agama dalam aturan tersebut.
Bupati Bantul tidak perlu menuruti usul dari pelbagai pihak, termasuk dari sejumlah fraksi di DPRD, agar Yulius dipindahkan ke kecamatan lain. Tentu bukan pekerjaan sulit bagi Suharsono memindahkan Yulius. Ia dapat menggunakan pelbagai alasan, antara lain kecamatan itu memiliki banyak penduduk nonmuslim. Tapi masalah utamanya bukan sekadar soal Yulius, melainkan prinsip persamaan hak di depan hukum dan pemerintahan, yang dijamin oleh konstitusi.
Suharsono bisa belajar dari Presiden Joko Widodo. Ketika menjabat Gubernur DKI Jakarta pada 2013, Jokowi mempertahankan Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine Zulkifli, yang beragama Katolik, meski sebagian orang menolaknya. Para penentang itu beralasan penduduk yang mayoritas beragama Islam menolak dipimpin seorang nonmuslim. Kala itu Jokowi berdalih penempatan Lurah Susan sudah sesuai dengan aturan dan melalui proses seleksi terbuka lelang jabatan. Tidak ada undang-undang apa pun yang dilanggar.
Bila tunduk pada tuntutan sekelompok penduduk yang intoleran, Suharsono akan mencederai prinsip persamaan hak yang telah diatur konstitusi. Langkah itu akan berdampak luas. Penduduk atau kelompok yang tidak toleran dapat mempersoalkan semua jabatan publik yang dipegang oleh penganut agama minoritas. Menyerah pada tekanan kelompok intoleran hanya akan membuka peluang semakin maraknya aksi yang mengusung sentimen agama di masa mendatang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo